Pembacaan putusan gugatan yang diajukan PDIP itu dijadwalkan berlangsung secara elektronik melalui E-Court PTUN Jakarta, Kamis (10/9), namun karena ketua majelis yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut, Joko Setiono, sakit maka pembacaan putusan ditunda hingga 24 Oktober 2024.
Juru Bicara PTUN Jakarta, Irvan Mawardi mengatakan penundaan pembacaan putusan sesuai dengan aturan. Menurutnya dalam persidangan ketua majelis hakim tidak bisa digantikan oleh siapapun baik kondisi sakit atau dinas di luar kota, sehingga putusannya harus ditunda.
Ketika ditanya kenapa pembacaan putusan tersebut dilakukan setelah pelantikan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai presiden dan wakil presiden, Irvan mengatakan, “Saya sebagai juru bicara tidak mendapatkan adanya kaitan dengan pelantikan tanggal 20 Oktober. Orang sakit kan tidak bisa dipastikan kapan sembuhnya. Itu hak prerogatif majelis hakim, kami hanya menyampaikan. Tapi kami bisa pastikan tidak ada kaitan apapun dengan agenda-agenda di luar persidangan,” ujarnya kepada wartawan, Kamis (10/10).
Merespons hal itu, Ketua DPP PDIP Perjuangan Bidang Reformasi Sistem Hukum Nasional, Ronny Talapessy, menyatakan partainya tidak mempersoalkan penundaan tersebut, asalkan majelis hakim tetap independen dan berpegang pada keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan dalam mengambil keputusan.
Ketiga hal ini, lanjutnya, menjadi satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.PDIP tegasnya yakin sekali gugatannya memiliki fakta-fakta hukum yang kuat.
Pengamat Hukum Tata Negara Herdiansyah Hamzah mengatakan penundaan putusan pembacaan permohonan PDIP tersebut tidak akan berdampak pada proses pelantikan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sebagai presiden dan wakil presiden pada tanggal 20 Oktober mendatang.
“Kalaupun dibacakan hari ini pun di tanggal 10 Oktober dan permohonan PDIP dikabulkan itu juga tidak dapat mencegah proses pelantikan Gibran karena masih ada upaya hukum berikutnya . Masih bisa banding ke PTUN bahkan kalau kalah pun masih bisa kasasi ke Mahkamah Agung. Jadi prosesnya masih panjang,” jelas Herdiansyah kepada VOA.
Meski demikian, dia menekankan akan ada implikasi politik apabila PTUN mengabulkan permohonan PDIP dan menyatakan pencalonan anak pertama Presiden Jokowi itu tidak sah sementara Gibran terlanjur dilantik. Menurutnya pasti akan ada pertaruhan soal legitimasi Gibran sebagai wakil presiden yang cacat secara administratif.
Jika kondisi seperti itu, lanjut Herdiansyah, upaya politik juga dapat diambil oleh para anggota DPR melalui hak interpelasi, hak angket hingga hak menyatakan pendapat.
PDIP melayangkan gugatan kepada KPU karena dianggap melakukan perbuatan melawan hukum dengan menerima pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres. Partai berlambang banteng itu menilai, KPU melakukan pelanggaran dengan menerbitkan Peraturan KPU (PKPU) yang menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia calon presiden dan wakil presiden.
PKPU itu tidak dibahas dengan komisi II DPR sebagaimana ketentuan perundang-undangan maka putusan MK tersebut seharusnya tidak dapat dieksekusi.
Sementara itu sejumlah advokat dari Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) dan Perekat Nusantara, Kamis (10/10), yang dilaporkan berencana untuk berdialog dengan Wakil Ketua MPR dari Fraksi DPD terkait aspirasi masyarakat yang menuntut pembatalan Gibran sebagai wapres terpilih, harus menemui kekecewaan. Mereka tidak tidak diizinkan masuk ke gedung MPR.
Koordinator TPDI, Petrus Selestinus, mengungkapkan, sikap MPR dan kesekjenan MPR sangat memalukan karena menerapkan sikap diskriminatif terhadap advokat Perekat Nusantara dan TPDI yang hendak menyampaikan aspirasi kepada MPR.
Dia mengatakan 20 anggota Polri menghalangi mereka tanpa mengungkapkan alasan. Sikap ini, lanjutnya, sungguh menunjukan bahwa MPR yang baru 10 hari bekerja sudah mengabaikan kewajibannya untuk berdialog dengan masyarakat. [fw/ab]
Forum