Tautan-tautan Akses

Pakar: Terorisme Masih Menjadi Tantangan Pemerintah Prabowo-Gibran


Presiden terpilih Indonesia Prabowo Subianto (Kiri) dan Wakil Presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka (kanan) di depan potret Presiden Indonesia Joko Widodo di Kantor KPU, Jakarta, usai pengumuman pemilihan presiden 2024 di Gedung DPR, 24 April 2024. (Yasuyoshi CHIBA / AFP)
Presiden terpilih Indonesia Prabowo Subianto (Kiri) dan Wakil Presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka (kanan) di depan potret Presiden Indonesia Joko Widodo di Kantor KPU, Jakarta, usai pengumuman pemilihan presiden 2024 di Gedung DPR, 24 April 2024. (Yasuyoshi CHIBA / AFP)

Prabowo dan Gibran sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia terpilih periode 2024-2029 akan dihadapkan berbagai tantangan terkait ekstremisme berkekerasan serta keberadaan ratusan WNI yang terasosiasi foreign terrorist fighter (FTF) atau teroris lintas batas di luar negeri.

Direktur The Habibie Center, Mohammad Hasan Ansori, mengatakan meskipun penanganan terorisme di Indonesia telah menunjukkan perkembangan signifikan dalam satu dekade terakhir, tetapi kelompok teror Jamaah Islamiyah (JI) dan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) masih tetap aktif dalam berbagai aktivitas termasuk rekrutmen, persiapan, dan pendanaan teror.

“Kita bisa melihat bahwa terdapat penurunan serangan terorisme yang cukup signifikan dan itu saya kira merupakan keberhasilan dan kesuksesan bangsa kita, BNPT yang perlu kita apresiasi,” kata Mohammad Hasan Ansori dalam diskusi publik bertema Tantangan Penanganan Terorisme di Masa Pemerintah Baru, Kamis (16/5).

“Tetapi ingat, itu bukan berarti kemudian selesai sepenuhnya. Jadi masih ada PR-PR (pekerjaan rumah-red) yang sebetulnya belum selesai dan harus kita teruskan proyek tersebut. Beberapa masih terdapat kelompok-kelompok, khususnya radikal, kelompok-kelompok radikal yang merupakan sumbu yang pada saat situasi tertentu juga akan berubah menjadi teroris yang tidak akan terduga,” imbuhnya.

Selain masih berkutat dengan kelompok JI dan JAD, pemerintah baru menurut Ansori, juga akan dihadapkan pada persoalan 562 warga negara Indonesia (WNI), termasuk anak-anak, yang terlibat dengan kelompok dan aksi terorisme di luar negeri seperti di Filipina, Irak, dan Suriah. Penelitian oleh The Habibie Center menemukan belum adanya aturan terkait repatriasi WNI yang terafiliasi dengan kelompok teror di luar negeri menjadi hambatan dalam pemulangan mereka.

“Habibie Center berkeyakinan bahwa masalah terorisme itu bukan eksklusif pemerintah, itu adalah masalah bangsa bersama. Terlalu besar masalah ini hanya ditangani oleh pemerintah,” kata Ansori.

Dijelaskannya, perlu keterlibatan semua pihak untuk ikut menangani permasalahan terkait terorisme di Indonesia.

BNPT Usulkan Repatriasi WNI Terasosiasi FTF

Dalam kesempatan yang sama, Deputi Bidang Penindakan dan Pembinaan Kemampuan, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Irjen Pol Ibnu Suhendra mengungkapkan pemerintah terus melaksanakan berbagai langkah dan proses dalam kebijakan penanganan terhadap ratusan WNI yang terasosiasi dengan FTF.

“Nah, rencana kita untuk melakukan repatriasi, melakukan penjemputan, karena seluruh dunia sudah melakukan penjemputan warga negaranya, Uzbekistan, Kyrgyzstan kemudian Rusia, Inggris, Amerika, Australia, Malaysia sudah melakukan penjemputan warganya,” kata Irjen Pol Ibnu Suhendra, Kamis (16/5).

Ia menambahkan, berdasarkan hasil dari verifikasi dan identifikasi, jumlah WNI yang terasosiasi dengan teroris lintas batas itu berumlah 375 orang. Mereka kini berada di kamp Al-Hawl dan kamp Al-Roj di Suriah timur laut.

“Dari sekian negara yang warganya berangkat ke Suriah gabung dengan ISIS, kemudian masuk ditahan di kamp-kamp di Al-Hawl dan Al-Roj, Tiga negara belum –menjemput- salah satunya Indonesia. Nah, kita sedang mengusulkan kepada Bapak Presiden Republik Indonesia untuk kita lakukan kebijakan repatriasi,” jelas Irjen Pol Ibu Suhendra.

Repatriasi atau pemulangan WNI yang terasosiasi dengan teroris lintas batas itu merupakan bentuk perlindungan negara terhadap warganya. Sampai saat ini pemerintah belum mengambil keputusan mengenai pemulangan WNI di luar negeri yang terasosiasi dengan FTF.

“Harapannya kita bisa menjemput warga negara kita yang ada di kamp-kamp itu untuk dilakukan, kalau pernah bergabung dengan ISIS punya pemahaman radikal, kita lakukan deradikalisasi di sini, kita sudah siapkan program deradikalisasi di Sentra Handayani bekerja sama dengan Kementerian Sosial,”papar Irjen Pol Ibnu Suhendra.

Menunggu Langkah Pemerintah

Ali Abdullah Wibisono, Dosen Departemen Hubungan Internasional Universitas Indonesia berpandangan dunia sedang menantikan sikap Indonesia apakah akan mengikuti negara lainnya yang sudah memulangkan warga negara yang terasosiasi dengan teroris lintas batas.

Pakar: Terorisme Masih Menjadi Tantangan Pemerintah Prabowo-Gibran
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:03:06 0:00

“Kalau saya mikirnya kita perlu sesuatu yang lebih serius tentang pemulangan repatriasi WNI, kita under pressure untuk melakukan repatriasi. Malaysia sudah melakukannya, dunia bertanya-tanya, apa Indonesia melakukannya? Sekarang masih ada ribuan saya kira WNI yang terasosiasi dengan FTF, baik itu di Suriah, di Irak, Filipina, di Afghanistan,” kata Ali Abdullah Wibisono

Menurut Ali, WNI menempati kamp-kamp pengungsi yang tidak layak sebagai tempat tinggal sehingga cepat atau lambat akan menjadi tempat radikalisasi.

Selain penanganan WNI yang terasosiasi dengan teroris lintas batas, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengidentifikasi tren ancaman terorisme lainnya yang perlu diwaspadai pemerintah mendatang, yaitu pendanaan terorisme, residivis terorisme, dinamika kekerasan di Papua, penggunaan teknologi pada terorisme, serta pelibatan perempuan dan anak dalam tindak terorisme. [yl/ah]

Forum

Recommended

XS
SM
MD
LG