Bagi Hadiiq Abdulle Mohamed dan keluarganya, menu buka puasa dan sahur malam ini hanyalah air putih dan makanan apa pun yang tersedia.
Mohamed sebelumnya mengantre berjam-jam di bawah terik matahari untuk mendapatkan makanan bagi keluarganya.
Pertama-tama, mereka berbuka puasa dengan air dan potongan kurma. Kemudian, mereka menikmati seporsi kecil makanan berisi nasi yang dimasak dengan daging campur, pisang yang diremas, dan sekantong plastik kecil berisi jus.
“Ramadan lalu kita sejahtera, tapi Ramadan kali ini kita harus menghadapi banyak kesulitan, termasuk melambungnya harga-harga. Kita saat ini masih di hari-hari pertama Ramadan. Makanan bagi kami hanya sekadar untuk bertahan hidup. Kami hanya mampu bertahan hidup dengan sedikit makanan panas yang kami terima dari kamp; bersama dengan sedikit uang yang diperoleh suami saya yang bekerja dengan gerobak dorongnya,” kata Mohamed.
Mohamed termasuk di antara lebih dari 1 juta warga Somalia yang mengungsi karena konflik bersenjata di wilayah mereka. Ia, suaminya, dan enam anak mereka sekarang berlindung di salah satu kamp pengungsi di sekitar ibu kota, Mogadishu. Namun, kehidupan yang ia dan keluarganya jalani tidak lebih baik daripada kehidupan di kampung halamannya.
Lima musim hujan yang gagal berturut-turut telah membuat banyak lahan pertanian mengalami gagal panen dan jutaan ternak mati. Harga-harga pangan membubung tak terkendali karena pemerintah juga sedang kesulitan membendung inflasi yang sebagian disebabkan oleh invasi Rusia ke Ukraina. Somalia mengimpor lebih dari 30 persen kebutuhan pangannya dari Ukraina.
Bantuan makanan yang diterima Mohamed dan keluarganya hanya satu kali sehari. Walhasil, Ramadan atau bukan Ramadan, asupan makanan mereka terbatas.
Keluarga Mohamed dulunya makmur dan memiliki lahan pertanian dan peternakan kambing di sebuah desa sekitar 140 kilometer di sebelah barat ibu kota.
Sekarang, mereka berusaha bertahan dari sedikit uang yang dihasilkan suaminya yang bekerja sebagai kuli angkut. Karena harga sembako yang melambung tinggi, pendapatan suaminya per minggu tidak cukup untuk membeli sekilo beras.
“Saya ingat Ramadan di masa lalu, ketika kami makmur; kami akan memerah susu kambing kami, memasak Ugali dan sawi, dan minum air sesukanya. Namun, tahun ini, kami tinggal di kamp, tanpa plastik untuk melindungi kami dari hujan, tanpa makanan untuk dimakan, merasa haus, dan mengalami kekeringan. Bantuan makanan untuk kami dan enam anak kami tidak memadai,” lanjutnya.
Inflasi di Somalia juga memengaruhi keluarga yang terbilang berkecukupan. Karena harga-harga makanan yang melonjak, banyak di antara mereka yang terpaksa menahan diri selama Ramadan untuk tidak berbelanja makanan secara berlebihan.
Makanan berbuka puasa khas Ramadan di Somalia di antaranya samosa dan makanan ringan lainnya. Hidangan utamanya berupa nasi, spageti atau roti pipih dengan daging unta, kambing, ayam atau ikan. Minumannya bisa berupa jus buah, teh atau kopi.
Daging mengalami kenaikan harga yang paling mencolok. Satu kilogram daging unta sebelum bulan suci harganya sekitar $4, tapi sekarang sekitar $6.
Dengan meningkatnya jumlah pengungsi Somalia akibat kekeringan, para imam di masjid-masjid di Mogadishu memimpin upaya untuk mendorong orang-orang kaya untuk bersimpati terhadap orang miskin. Abdikarim Isse Ali termasuk salah satu dari para imam itu.
“Kita harus membantu saudara-saudara yang miskin dan terkena dampak kekeringan dengan memberi mereka makanan agar mereka bisa berbuka puasa. Mari kita perbanyak sedekah dan amal saleh selama Ramadan. Beberapa orang tidak mampu berbuka puasa karena kekurangan makanan. Tolong bantu mereka. Selain itu, saya juga ingin mengimbau, bahwa ketika kita menyelesaikan Ramadan, kita harus membantu membahagiakan mereka dan membelikan pakaian untuk keluarga mereka untuk Idul Fitri," jelas Ali. [ab/uh]
Forum