Peraih Hadiah Nobel Perdamaian Jose Ramos-Horta memastikan memimpin dalam pemilihan presiden Timor Leste pada akhir pekan dengan dua per tiga suara telah dihitung, tetapi dengan kemungkinan ada pemilihan putaran kedua jika tidak ada kandidat yang meraih mayoritas.
Negara termuda di Asia itu mengadakan pemilihan presiden yang kelima sejak merdeka dari Indonesia pada tahun 2002. Tokoh perlawanan Ramos-Horta memimpin dengan 45,7% suara setelah 64% suara telah selesai dihitung, demikian menurut data dari badan pengelola pemilu negara itu.
Kandidat terdekat setelah Horta adalah presiden petahana dan mantan pejuang gerilya Fransisco “Lu Olo” Guterres, dengan 22.5%.
Gambaran lebih pasti mengenai hasil pemilu itu diperkirakan muncul hari Senin, tetapi jika tidak ada kandidat yang meraih lebih dari 50% suara, pemilu akan dilanjutkan ke putaran kedua pada 19 April antara dua kandidat peraih suara terbanyak.
Berbicara di ibu kota Dili pada hari Minggu, Ramos-Horta mengatakan ia yakin akan kemenangan awal.
“Terpilihnya saya pada putaran pertama … benar-benar akan menyebabkan gempa politik di parlemen nasional, yang akan menyebabkan terpecahnya aliansi yang sekarang ini,” ujarnya.
Lelaki berusia 72 tahun yang sebelumnya menjabat presiden dari 2007 hingga 2012 ini pekan lalu mengatakan bahwa ia merasa terdorong untuk mencalonkan diri lagi setelah ia menganggap tindakan presiden petahana telah melanggar konstitusi.
Di Timor Leste, presiden bertanggung jawab mengangkat pemerintah dan juga memiliki kewenangan untuk memveto menteri dan membubarkan parlemen.
Pada tahun 2018, presiden petahana Guterres menolak untuk mengambil sumpah tujuh menteri dengan alasan penyelidikan yudisial atas dugaan pelanggaran mereka, suatu langkah yang telah memicu kebuntuan politik yang terus berlangsung.
Hampir 20 tahun sejak merdeka setelah pendudukan brutal Indonesia, Timor Lest, negara berpenduduk 1,3 juta orang yang memiliki ketergantungan minyak dan gas, telah bergulat dengan masalah stabilitas politik dan pembangunan. [uh/ab]