Para pekerja di beberapa perkebunan kelapa sawit di Indonesia, yang memasok bahan baku untuk produsen makanan dunia, Pepsi dan Nestle, bekerja dalam kondisi tidak layak, termasuk dibayar dengan upah yang lebih rendah dari upah minimum, terpapar bahan kimia berbahaya pestisida, dan tidak ada serikat pekerja, menurut sebuah laporan baru dari Rainforest Action Network (RAN), pekan ini.
Laporan tersebut menyoroti kondisi kerja di tiga perkebunan kelapa sawit yang dioperasikan oleh Indofood, perusahaan makanan terbesar dan satu-satunya produsen makanan ringan merek PepsiCo di Indonesia. Laporan ini juga menindaklanjuti laporan sebelumnya dari beberapa kelompok pekerja perkebunan yang sama. Indofood masih memegang sertifikasi "berkelanjutan" dari Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), meski pelanggaran hak-hak tenaga kerja terus berlanjut. Hal ini menimbulkan pertanyaan di kalangan aktivis tentang insentif apa saja yang mungkin bisa diterapkan untuk korporasi besar agar mereka mengubah praktik ketenagakerjaannya.
"Sejak laporan pertama kami pada Juni 2016, yang mengungkap skandal tersebut, sampai laporan ini dikeluarkan hampir satu setengah tahun kemudian, hampir tidak ada yang berubah," kata Emma Lierley, Manajer Komunikasi RAN. "Pepsi bahkan belum mengeluarkan tanggapan secara publik."
Indofood, dan RSPO tidak bisa dihubungi untuk memberikan komentar.
Juru bicara PepsiCo mengatakan kepada VOA:
“PepsiCo menanggapi dengan sangat serius isu-isu berkaitan dengan minyak kelapa sawit dan laporan apapun mengenai ketidakpatuhan terhadap kebijakan-kebijakan hak asasi manusia dan lingkungan kami. Walaupun tidak ada hubungan kontrak dengan IndoAgri, kami telah melakukan upaya signifikan untuk menyelesaikan klaim-klaim dengan perusahaan bersangkutan. Kami telah membagikan (informasi) mengenai langkah-langkah itu dengan RAN. Jadi, tuduhan-tuduhan mereka (RAN) sangat mengejutkan. Bila RAN bersedia membuat klaim-klaim yang tidak benar tentang upaya yang ditempuh dengan IndoAgri, mereka menyembunyikan fakta bahwa mereka telah menolak untuk berpartisipasi dalam diskusi terbuka dengan RSPO dan IndoAgri untuk membahas tuduhan-tuduhan ini
Pada April 2016, PepsiCo mendapat informasi mengenai tuduhan hak-hak buruh terhadap IndoAgri. IndoAgri sendiri adalah anak perusahaan yang sama sekali terpisah dari Indofood, mitra perusahaan patungan kami di Indonesia. Seperti yang sudah kami jelaskan dalam berbagai kesempatan, PepsiCo tidak memiliki hubungan kontrak dengan IndoAgri. Walaupun begitu, kami menghubungi IndoAgri dengan harapan kami bisa membantu mendapatkan resolusi yang memadai.
Misalnya, Kepala PepsiCo dan CEO mengirimkan surat kepada IndoAgri untuk menyampaikan keprihatinan kami. Kami juga mengadakan beberapa pertemuan dengan IndoAgri untuk membahas tuduhan-tuduhan tersebut dan tindakan-tindakan untuk menanggapinya. Kami juga menulis surat kepada RSPO, yang menerima keluhan resmi dari RAN, untuk mendukung pertemuan antara IndoAgri dan RAN. Meski RSPO telah menawarkan untuk memfasilitasi pertemuan, RAN belum menyetujui pertemuan tersebut. Menanggapi keprihatinan mengenai standar-standar yang berlaku di sektor kelapa sawith membutuhkan kolaborasi lintas sector. Kami menyambut upaya-upaya tulus untuk berbagi informasi dan keahlian. Ada batasan sampai mana PepsiCo bisa mempengaruhi perubahan, jika RAN terus menolak untuk bertemu dengan para pemangku kepentingan.
Pelanggaran meluas
Pekerja di perkebunan kelapa sawit di pulau Kalimantan dan Sumatra melaporkan mereka masih mengalami hal yang sama, dengan yang mereka alami 17 bulan yang lalu, seperti paparan pestisida berbahaya karena bekerja tanpa peralatan pelindung yang memadai.
Para pekerja juga mengeluhkan pemotongan upah, lembur yang tidak dibayar, serta mempekerjakan pekerja kontrak harian dan buruh tanpa bayaran. Buruh yang dipekerjakan tanpa bayaran, biasanya istri para pekerja. Menurut para penulis studi, kondisi-kondisi itu adalah faktor risiko untuk pekerja anak.
"Kami meminta Indofood untuk segera memperbaiki praktik-praktik perburuhan di perkebunan-perkebunan mereka," kata Lierley. "PepsiCo punya pengaruh yang signifikan. Indofood juga tentunya bisa membuat perubahan besar," kata dia.
Namun RSPO tampaknya tidak memiliki langkah yang jelas, menurut Robin Averbeck, juru kampanye RAN.
"RSPO telah gagal memasukkan para pekerja sebagai pemangku kepentingan dalam sistemnya sejak awal pembentukkan hingga hari ini," kata Averbeck. "Secara fundamental, dia (RSPO) tidak akan pernah menanggapi isu hak-hak buruh dengan cara yang berarti, kecuali para buruh sendiri terintegrasi sebagai konstituen kunci di dalam sistem dan memainkan peran aktif dalam memonitor dan menerapkan standar."
RSPO tidak pernah mencabut sertifikasi berkelanjutan sebuah perusahaan untuk pelanggaran-pelanggaran ketenagakerjaan.
Setelah satu setengah tahun sejak memasukkan keluhan resmi dengan bukti-bukti yang tak terbantahkan mengenai meluasnya pelanggaran-pelanggaran perburuhan di berbagai perkebunan Indofood, RSPO gagak memberikan sanksi atau menskors Indofood," kata Averbeck. Dia mengatakan tidak adanya tindakan adalah "kegagalan fundamental" dan menyarankan agar RSPO segera menskors Indofood.
Masalah Minyak Sawit
Pelanggaran hak-hak buruh di Indonesia, tidak hanya terjadi di industri kelapa sawit Indonesia. Namun telah meluas di beberapa sektor, antara lain garmen, pekerjaan rumah tangga, dan pertambangan. Namun eksploitasi buruh makin marak di industri minyak kelapa sawit dalam beberapa tahun terakhir.
Minyak kelapa sawit adalah bahan baku pembuatan berbagai produk rumah tangga dan makanan yang tak terhitung jumlahnya, mulai dari lipstik sampai keripik kentang. Tanaman ini tumbuh dengan sangat baik di hutan hujan tropis Asia Tenggara. Selain itu juga murah dan mudah ditanam pada skala besar. Hamparan hutan hujan Kalimantan di Indonesia dan Malaysia telah berubah dalam beberapa tahun terakhir, dengan alur-alur hijau perkebunan kelapa sawit.
Namun pengembangan kelapa sawit telah menyingkirkan puluhan masyarakat adat dan mempekerjakan ribuan pekerja anak dan pekerja tanpa bayaran, dibayar rendah, dan disalahgunakan. Permintaan minyak kelapa sawit global tidak menunjukkan tanda perlambatan - industri ini diperkirakan bernilai 93 miliar dolar pada 2021.
Reformasi Perburuhan
Serikat pekerja masih merupakan mekanisme terbaik untuk hak-hak pekerja. Namun ada sejumlah hambatan untuk mengorganisasi pekerja perkebunan kelapa sawit secara efektif, menurut Andriko Otang dari Komisi Hak-hak Serikat Buruh Indonesia.
"Untuk satu hal, ada kesulitan untuk mengorganisasi," kata Otang. "Seorang pekerja harus mengeluarkan 400.000 rupiah (sekitar 28 dolar) membeli tiket sekali jalan ke ibu kota daerah." Perjalanan pulang-pergi dari dan ke ibu kota, bisa menghabiskan setengah gaji bulanan mereka, katanya.
Faktor lainnya adalah hambatan logistik untuk mengorganisasi serikat pekerja di pedesaan Kalimantan adalah sinyal komunikasi ponsel yang kurang baik dan akses informasi yang rendah. "Merencanakan satu mogok kerja saja sulit sekali," kata Otang.
Terlepas dari segala kesulitan, kata Otang, ada kisah sukses untuk pekerja kelapa sawit: di Kalimantan Selatan dan Palembang. Para pekerja di dua wilayah itu telah mengupayakan kesepakatan tawar menawar kolektif dengan beberapa perusahaan dan menghapus kerja lepas.
"Selama anda memiliki serikat pekerja independen yang kuat dan solidaritas antara pejabat and para anggota, reformasi buruh dimungkinkan," kata dia.[fw/aa]