Renni Yuliana bernapas lega ketika ia dan anggota keluarga intinya dinyatakan negatif Covid-19 setelah menjalani swab test atau uji usap. Pasalnya, tiga anggota keluarga yang rutin ia temui, dibawa ke rumah sakit setelah hasil uji usap mereka menunjukkan hasil positif.
Padahal, hasil rapid test atau uji cepat yang mereka lakukan bersama-sama sebelumnya menunjukkan hasil “non-reaktif.”
“Sejak tante saya di (isolasi) di RS, saya langsung panggil rapid home service. Jadi eyang, om, keluarga inti saya, tante, dan sepupu-sepupu yang tidak serumah pun dites rapid karena semuanya tinggal di Bekasi. Itu 14 orang semuanya non-reaktif,” ujar perempuan berusia 29 tahun ini..
Namun hasil rapid test tersebut tidak menggambarkan kondisi tubuh sesungguhnya. Selang satu hari, eyang Reni dinyatakan positif Covid-19 setelah jalani tes usap, diikuti oleh omnya di hari berikutnya.
Keluarga membawa kakek Reni ke rumah sakit karena mengeluh merasa lemas. Di rumah sakit, kakek Reni kembali dites menggunakan metode rapid test dan hasilnya tetap “non-reaktif.”
“Karena ada riwayat (sakit) jantung, tetap harus di-swab dan hasilnya positif. Om saya (mengeluh) sesak. Dites rapid lagi dan (hasilnya) non-reaktif. Karena masih sesak kemudian dites swab, eh positif (Covid),” tuturnya.
Sepuluh hari kemudian, Reni kehilangan kakek, om, dan tantenya akibat Covid-19. Sang tante yang sempat membaik, ternyata mengalami komplikasi infeksi akibat pengobatan Covid-19.
“Dia ada pembengkakan jantung dan infeksi paru. Dulunya ngga pernah sakit. Akibat pengobatan Covid, jadinya komplikasi infeksi dan harus masuk ICU lagi dan pakai ventilator. Beberapa hari kemudian meninggal karena ngga bisa bertahan juga,” cerita Reni.
Rapid Test Tak Direkomendasikan
Badan Kesehatan Dunia PBB (World Health Organization/WHO), sebenarnya tidak merekomendasikan rapid test antibodi selain untuk kepentingan riset. Hal ini diamini oleh Ahmad Utomo, pakar biologi molekuler independen.
Dalam wawancaranya dengan VOA, Ahmad menyatakan metode ini baik jika digunakan untuk keperluan surveilans atau riset penyebaran virus dalam sebuah komunitas. Misalnya, imbuh Ahmad, untuk mengetahui seberapa banyak orang dalam satu kecamatan yang sudah terpapar.
“Apalagi kalau kita bicara soal herd immunity (imunitas kelompok). Idenya adalah semakin banyak orang yang sudah terpapar, antibodi sudah semakin banyak terbentuk,“ ujarnya.
Ia menambahkan secara teoritis suatu populasi dianggap sudah kebal jika minimal 70% populasinya sudah memiliki antibodi terhadap Covid-19
Bagaimana cara kerja rapid test?
Uji Covid-19 dengan metode ini bekerja dengan mengambil sampel darah dari jari atau lengan. Disebut ‘rapid test’ karena hasilnya yang dapat dilihat secara cepat, kurang dari 30 menit. Sampel darah diambil untuk melihat apakah sudah ada antibodi dalam darah yang terbentuk akibat infeksi Covid-19. Antibodi tubuh dimiliki manusia untuk melindungi dari serangan virus dari luar tubuh.
Meski cepat, metode ini paling tidak akurat dibandingkan metode-metode uji Covid-19 lainnya yang tersedia saat ini. Pasalnya, tubuh tidak langsung membentuk antibodi ketika virus baru menginfeksi.
“Kapan antibodi terbentuk? Dari hari 0 (terinfeksi) sampai menunjukkan gejala, itu bisa 5-7 hari. Ada yang mengatakan tiga hari. Katakan kita ambil angka tengah antara 3-5 hari virus berinkubasi dan di hari ke-6 mulai menunjukkan gejala,” jelas Ahmad Utomo.
Lebih lanjut, Ahmad mengatakan, antibodi justru mulai terbentuk 7-10 hari pasca gejala. Sehingga hasil reaktif menunjukkan bahwa tubuh sebenarnya sudah membangun pelindung dari virus ini.
Bagaimana jika non-reaktif? Ahmad menekankan hasil non-reaktif bukan berarti bebas dari Covid-19. “Bisa jadi belum terpapar virus atau malah bisa jadi Anda sudah terpapar, tapi antibodi belum terbentuk,” tuturnya
Opsi Uji Covid-19
Setidaknya selain rapid test antibodi, terdapat dua metode tes lainnya di Indonesia untuk menguji keberadaan virus dalam tubuh, yakni rapid test antigen dan swab test PCR. Rapid test antigen, meski belum sepopuler rapid test antibody, diyakini mampu memberikan akurasi lebih baik.
Seperti halnya swab test PCR, metode ini juga menggunakan teknik usap untuk mengambil sampel dari rongga pernapasan. Sampel kemudian diuji melalui senyawa protein yang dibawa virus. Metode ini disebut rapid test antigen karena hasilnya diperoleh dalam waktu kurang dari 30 menit melalui uji antigen.
Sementara Swab test PCR adalah metode pengambilan sampel dengan cara mengusap rongga pernapasan dan kemudian dibawa ke laboratorium untuk pengujian.
“Yang dilakukan dari tes PCR adalah mengamplifikasi ada atau tidaknya virus yang bersembunyi mungkin di dalam rongga pernapasan kita. Itu biasanya berasosiasi dengan banyak atau tidaknya virus,” jelas Ahmad.
Meski swab test PCR dianggap metode paling sensitif hingga kini, Ahmad mengingatkan metode ini tetap memiliki peluang terjadi kesalahan.
“Misalnya, petugas agak khawatir, atau pasiennya terlalu takut, akhirnya si tungkai tidak bisa maksimal (ambil sampel),” tuturnya.
Saat ini Kementerian Kesehatan telah menentukan harga maksimal untuk pelayanan swab test mandiri sebesar Rp 900 ribu. Harga ini masih terpaut jauh dengan rapid test yang dipatok di kisaran RP 100 ribu - Rp 150 ribu.
Meski tidak cerminkan akurasi 100%, rapid test masih lazim digunakan sebagai surat keterangan sehat untuk berbagai keperluan, termasuk untuk penerbangan.
Ahmad Utomo menjelaskan diperlukan kehati-hatian jika menggunakan metode rapid test selain untuk keperluan pengawasan atau riset.
“Di sini harus hati-hati. Misalnya kita mau terbang. Yang dikhawatirkan itu sebenarnya apa? Apakah (untuk periksa) kita punya virus yang berpotensi menularkan, atau kita ingin menolak orang yang sudah terbentuk antibodi. Ini adalah dua hal yang berbeda,” tukasnya. [rw/fw]