Apakah segala sesuatu yang secara teknis bisa dibuat oleh manusia harus dijadikan kenyataan? Kebanyakan pakar etika akan menjawab “tidak.” Tapi yang jadi persoalan adalah, apakah hal itu bisa dicegah?
Klaim yang diumumkan seorang pakar biologi China bahwa ia berhasil menciptakan bayi kembar yang DNA-nya telah direkayasa, membuat perdebatan tentang etika kedokteran dan kemajuan teknologi sesuatu yang mendesak untuk dibahas.
Cynthia Fleury, anggota Komite Etika Kedokteran Perancis mengatakan, “Jelas tidak semua yang bisa dibuat, bisa dipertanggung-jawabkan secara etika.”
Tapi kalau kita berusaha menolak hal itu, kata Fleury, yang dikutip kantor berita Perancis AFP, pastilah kita akan gagal, karena dalam bidang sains ada persaingan bebas yang tidak bisa dikendalikan oleh peraturan.
Komisi Kesehatan Nasional China telah memerintahkan diadakan penyelidikan seputar rekayasa gen bayi kembar yang lahir di China itu. Kata Dr. He Jiankui, yang mengklaim berhasil melakukannya belum lama ini, ia melakukan hal itu untuk mencegah kedua bayi tadi tertular virus HIV, karena ayah mereka adalah penderita AIDS.
Kata Dr. He, “Kalau bukan saya, pastilah akan ada orang lain yang akan melakukan hal ini.”
Setelah timbul kegaduhan, pemerintah China mengatakan menentang eksperimen itu, sementara masyarakat ilmiah gempar karena khawatir akan kemungkinan dampak jangka panjang eksperimen seperti itu. Kata mereka kedua anak perempuan kembar itu nantinya akan menghasilkan keturunan yang gen-nya sudah diubah. Kalau dampaknya adalah tercegahnya penularan virus HIV, itu baik, tapi yang dipertanyakan adalah perubahan genetika lainnya yang mungkin terjadi akibat rekayasa itu.
Klaim Dr. He Jiankui tentang suksesnya itu belum bisa dikukuhkan, karena ia merahasiakan identitas kedua anak perempuan tadi serta orang tuanya. Dr. He mengatakan, untuk saat ini eksperimennya telah dihentikan dan ia sendiri menghilang dari sorotan publik.
Walaupun banyak pihak marah dan mengajukan protes berdasarkan pertimbangan etika, sebagian besar keberatan diajukan karena eksperimen itu dilakukan secara rahasia. Kata Thierry Magnin, rektor pada Universitas Katolik di Lyon, Perancis: “aspek etika harus diintegrasikan sejak semula ketika kita mengembangkan teknologi baru, dan bukan dirumuskan setelah hal itu terjadi.” [ii]