Untuk pertama kalinya seorang remaja Indonesia terpilih sebagai delegasi anak untuk mengikuti rangkaian kegiatan Sidang Umum PBB di New York. Putri Gayatri, seorang pelajar SMA di Bandung, mengangkat isu pernikahan pada usia anak ke forum internasional itu.
Pada usianya yang baru 15 tahun, Putri Gayatri sudah mendapatkan pengalaman yang sangat berharga. Di kota New York, ia bersalaman dengan Sekjen PBB Ban Ki-Moon, berbagi panggung dengan artis Salma Hayek dan Ratu Rania, beraksi bersama aktivis Malala Yousafzai sampai berdiskusi dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Semua itu dilakukan untuk menyuarakan keprihatinannya, yaitu pernikahan pada usia anak. Berbicara kepada wartawan hari Minggu (27/9) di New York, Putri mengaku telah menyaksikan sendiri beberapa temannya yang memiliki masa depan suram karena menikah terlalu dini.
“Ketika menikah di usia anak, sekolah men-drop-out, mereka putus sekolah sehingga tidak mendapat pendidikan cukup. Itu berdampak juga pada ekonomi. Jika pendidikan kurang, ekonomi lemah. Saya melihat mereka masa depannya kurang baik karena menikah pada usia anak. Dampaknya sangat kompleks karena berdampak juga pada kesehatan reproduksi. Semakin muda usia menikah, semakin tinggi angka kematian ibu dan bayi,” paparnya.
Dia menentang anggapan bahwa lebih baik menikah pada usia anak daripada berzina.
"Menurut saya sebelum kita melakukan suatu tindakan, kita lihat dulu apa dampak dari tindakan tersebut. Bukan karena berkedok biar supaya tidak berzina, lalu dinikahin. Setelah dinikahkan apakah bisa menjamin masa depan yang jelas? Menurut saya untuk menghindarkan zina, ada banyak cara lain selain menikahkan anak pada usia anak," ujarnya.
Putri melihat pernikahan pada usia anak di daerahnya disebabkan oleh kemiskinan dan pergaulan bebas. Berangkat dari pengalaman beberapa temannya, dia ingin mengangkat isu ini supaya lebih diperhatikan oleh pemerintah.
Siswi SMA Negeri Banjaran I Bandung itu digandeng oleh organisasi Save the Children untuk membawa isu tersebut ke New York, kota tempat berlangsungnya Sidang Umum PBB ke-70. Di sini dia bertemu dan berdiskusi dengan delegasi Indonesia, para pejabat negara lain, para aktivis, dan delegasi anak lainnya.
Sebanyak 20 anak dari seluruh dunia mengikuti program delegasi anak ini. Penasihat Advokasi Save the Children Indonesia, Ratna Yunita, mengatakan Putri dipilih untuk mewakili Indonesia karena aktif dan konsisten dalam berbagai kegiatan organisasi itu.
“Kami melihat Putri sangat aktif, konsisten dan berani menyampaikan suaranya. Dari situ kami merasa Putri layak dan punya potensi untuk bisa menyuarakan apa yang menjadi keprihatinan teman-temannya,” kata Ratna.
Sejak SMP, Putri telah terorganisasi yang memusatkan perhatian pada kesejahteraan anak itu.
Selain pernikahan pada usia anak, Putri juga mengangkat isu pendidikan inklusif. Menurutnya pelajar dengan disabilitas juga berhak duduk di sekolah umum supaya nantinya lebih siap berbaur dan bersaing dalam masyarakat.
“Anak-anak yang menyandang disabilitas itu, jika dimasukkan ke SLB, mereka hanya bersaing dengan penyandang disabilitas, tapi nanti jika mereka sudah besar dan bekerja mereka akan berbaur dengan masyarakat dan mereka harus membiasakan itu di sekolah umum dan mereka disiapkan untuk memliki daya saing,” tambah Putri.
Sepulangnya ke Indonesia akhir September, Putri berencana untuk membentuk sebuah forum diskusi bagi para pelajar untuk mendorong agar lebih banyak anak Indonesia yang berpartsipasi dan menyuarakan sikap mereka.
Dia juga ingin mengupayakan agar batas usia pernikahan 16 tahun yang ditetapkan UU Perkawinan direvisi. Menurutnya, remaja 16 tahun seharusnya masih sekolah dan belum matang untuk berumahtangga. [vm/lt]