Sebuah rencana pemerintah AS untuk mengklasifikasi milisi Houthi pro-Iran di Yaman sebagai organisasi teroris telah memicu keprihatinan di kalangan pengamat dan organisasi bantuan. Mereka mengkhawatirkan langkah itu akan berdampak pada perundingan perdamaian dan proses penyaluran bantuan ke warga sipil yang tinggal di bawah kendali kelompok itu di wilayah utara negara itu.
Kelompok pemberontak itu telah dilarang keberadaannya oleh Arab Saudi dan Uni Emirat Arab pada 2014, dan AS telah mempertimbangkan akan mengambil langkah serupa sejak 2018.
Majalah Foreign Policy melaporkan pekan lalu, pihaknya mendengar dari para pejabat AS yang tak disebutkan namanya, bahwa Departemen Luar Negeri AS kini sedang bersiap untuk memasukkan organisasi itu ke dalam daftar teroris, sebagai bagian dari kebijakan pemerintahan Trump untuk memberi "tekanan maksimum" kepada Iran.
Pengumuman itu diperkirakan akan terjadi pada Desember, menurut The Washington Post.
Gerald Feierstein, seorang mantan duta besar AS untuk Yaman dan wakil presiden senior pada Middle East Institute (MEI), mengatakan kepada VOA bahwa label itu akan semakin menyulitkan PBB untuk mengupayakan resolusia perang antara para pemberontak dan pemerintah yang didukung Saudi.
“Houthi telah dikenai sanksi oleh PBB, ada embargo senjata dan tidak ada perdagangan senjata yang sah bagi Houthi. Jadi, ini tidak akan berdampak apapun pada posisi mereka di lapangan," kata Feierstein.
Langkah semacam itu, tambahnya, "akan dilihat sebagai gestur politik, bukan gestur yang bertujuan memperkuat strategi kontra-terorisme atau mengidentifikasi organisasi teroris."
Label teroris itu, berdasarkan panduan Departemen Luar Negeri, bertujuan untuk mencegah donasi dan transaksi ekonomi dengan kelompok itu. Klasifikasi itu juga akan melarang segala bentuk bantuan materi atau sumber daya kepada entitas tersebut. [vm/ft]