Walau jauh dari tanah air, sebagian warga Indonesia memilih tinggal menetap di Amerika Serikat. Sebagian dari mereka pindah bekerja dengan membawa keluarga dan membesarkan anak-anak.
Perjalanan hidup itu dialami Bambang Samudra, usia 67 tahun. Setelah bekerja 42 tahun dalam industri minyak dan gas, ia memutuskan mengisi hari tua di Texas, walaupun sangat ingin kembali ke Bandung, kota kelahirannya.
“Jadi, sejak dapat green card (kartu hijau), saya berkomitmen karena anak-anak mau sekolah di sini. Nah, setelah sampai saat pensiun juga anak-anak sudah di sini, kemudian anak-anak pindah menjadi warga negara sini juga. Jadi, saya pikir kalau saya pulang (ke Indonesia), kalau ingin ketemu anak, saya mesti pindah ke sini,” tuturnya.
Sementara, Elina Sihombing asal Sumatera Utara yang kini tinggal di Chandler, Arizona, mempunyai rencana berbeda. Bersama suami dan dua anak, Elina, usia 57 tahun, merencanakan pensiun dalam 3-5 tahun mendatang.
Beberapa lokasi di Bali telah mereka survei dalam tiga bulan sebelum pandemi virus corona. “Mereka ke Bali terus jalan-jalan di situ. Mereka tertarik di satu lokasi. Properti mahal sekali di sana, ya. Jadi, masih diskusi ke mana.”
Tingginya biaya hidup, sementara tidak lagi produktif bekerja, dan jumlah uang pensiun yang terbatas, menjadi pertimbangan utama Joseph Tobing di Maryland untuk pensiun di Indonesia. Kekuatan fisik juga memengaruhi keputusannya bersama istri, selain mengharapkan suasana yang lebih tenang dan memuaskan untuk mengisi akhir hayat.
“Karena masih banyak tempat yang bisa dijalani, juga banyak teman-teman yang sudah lama tidak ketemu. Biaya hidup juga jauh lebih memadai daripada di sini (AS),” tukas Joseph.
Bersama istri yang lahir dan besar di Amerika, Joseph membantu merawat ibu mertua yang tahun lalu genap berusia 100 tahun.
Pasangan yang aktif dalam lembaga swadaya masyarakat untuk kemanusiaan, "Adventist Development and Relief Agency" (ADRA) itu berpandangan pensiun sedini mungkin agar dapat menjelajahi daerah-daerah di Indonesia sekaligus menjadi sukarelawan dalam pendidikan dan layanan kesehatan masyarakat. Joseph, yang pindah ke AS tahun 1984, sudah berkonsultasi dengan penasihat keuangan terkait uang pensiunnya kelak.
“Kita lihat pendapatan dari pemerintah, juga dihitung simpanan, rumah atau investasi lainnya. Dari situ bisa dihitung kira-kira berapa pendapatan atau pengeluaran untuk 5 tahun dari sekarang. Dan juga, yang ada itu kira-kira bisa bertahan (berapa) lama,” ujarnya.
Berbekal dana pensiun dari pemerintah, dikenal sebagai social security, dan uang pensiun dari perusahaan, Bambang Samudra, yang telah 20 tahun menetap di AS, kini menikmati masa pensiun. Lulusan Teknik Geologi ITB itu juga sudah menyiapkan dana jika harus pindah ke fasilitas senior living.
“Sementara ini anak-anak komitmen mau mengurusi saya. Sementara saya masih bisa hidup sendiri bersama istri, saya juga hidup sendiri (independent living). Jadi, saya berdikari saja.”
Bambang kini mengisi hari dengan aktivitas yang ia gemari seperti mengerjakan pekerjaan rumah sebagai handyman, bersepeda bersama teman-teman, memancing, bermain golf, dan juga menjalani ibadah dengan khusyu'. Sementara itu, Joseph berencana pensiun tahun 2025 di Bandung di mana kedua adiknya tinggal.
Elina sudah menetap lebih dari 20 tahun di AS. Ia menikmati hidup di Arizona yang jauh dari keramaian dan polusi dengan berkebun di lahan seluas hampir satu hektar sambil beternak ayam. Rasa sepi tak dapat dipungkiri ketika merindukan keluarga dan banyak teman di Indonesia yang sudah ia kenal selama lebih dari 40 tahun.
“Jadi, sebagai orang Indonesia di Arizona, saya merindukan makanan dan persahabatan yang sama sekali tidak saya miliki disini, kecuali sahabat saya yang baru saja meninggal di Arizona.” [mg/ka]