Dalam sepekan ini, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah membahas dan menyetujui revisi terhadap sejumlah undang-undang (UU) yang dinilai strategis untuk dibawa ke sidang paripurna. Sejumlah UU yang sudah rampung dibahas itu antara lain revisi Undang-Undang Kementerian Negara dan revisi keempat Undang-Undang Mahkamah Konstitusi.
Badan Legislatif (Baleg) DPR merampungkan penyusunan draf revisi UU tentang Kementerian Negara hanya dalam waktu tiga hari.
DPR juga sedang membahas revisi UU penyiaran yang isinya dinilai dapat mengancam kebebasan pers. Selain itu, DPR juga berencana membahas revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia dan Undang-Undang tentang Tentara Nasional Indonesia.
Perubahan UU Kepolisian dan UU TNI itu hanya memperpanjang usia pensiun dari 58 tahun menjadi 60 tahun, bahkan hingga 65 tahun untuk personel yang menduduki jabatan. Hal ini dinilai tidak urgensi dan berdampak pada proses regenerasi di lingkup internal.
Pengamat Hukum Tata Negara dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah menilai apa yang dilakukan oleh DPR merupakan upaya untuk menyelundupkan kepentingan politik kekuasaan. Pasalnya, semua undang-undang yang direvisi DPR saat ini tidak masuk dalam daftar prioritas proses legislasi yang semestinya dilakukan DPR.
“Kalau kita baca politik hukum pembentuk undang-undang semestinya yang didahulukan adalah yang sudah ditetapkan sebagai proritas legislasinya. Sebagai contoh, mengapa bukan RUU perampasan aset, itu kan prioritas. Dari dulu bahkan sudah didorong untuk dibahas dan disyahkan oleh masyarakat sipil, sudah masuk Prolegnas tetapi itu justru diturunkan dan dinaikan RUU yang justru memiliki dampak luas dan strategis,” ungkapnya kepada VOA.
Selain itu, tambah Herdiansyah, saat ini DPR juga tidak diperbolehkan mengeluarkan aturan-aturan yang berdampak strategis karena hasil pemilu presiden dan legislatif sudah ditetapkan. Untuk itu dia menilai penyusunan undang-undang atau revisi undang-undang yang dilakukan DPR lebih kental nuansa politiknya ketimbang dibandingkan kepentingan hukumnya.
Lebih dari 20 pakar hukum tata negara dan pakar hukum administrasi yang tergabung dalam Contitutional and Administration Law Society (CALS) mengirimkan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo dan Ketua DPR Puan Maharani, berisi penolakan keras atas revisi keempat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Pemimpin lembaga eksekutif dan legislatif itu diharapkan tidak meninggalkan warisan buruk dengan mengesahkan revisi UU MK yang substansinya mengancam prinsip-prinsip negara hukum, demokrasi dan independensi MK.
Melalui surat itu, CALS menyebutkan adanya masalah prosedural dan materiil yang berbahaya dalam draf revisi UU MK tersebut. Persoalan terkait prosedur di antaranya adalah perubahan UU MK bersifat reaksioner dan tidak dilakukan dengan perencanaan yang matang. Selain itu, pembicaraan tingkat satu dilakukan secara senyap, tertutup dan tergesa-gesa serta tanpa melibatkan partisipasi publik.
Herdiansyah yang merupakan salah satu anggota CALS mengatakan jika revisi UU MK itu tetap disahkan, judicial review ke Mahkamah Konstitusi akan dilakukan. Namun saat ini dia berharap surat yang disampaikan itu bisa memberikan edukasi kepada publik bahwa ada yang salah dengan proses pembentukan UU tersebut.
“Jadi kita berharap proses itu juga meluas jadi pada dasarnya semacam opini alternatif terhadap apa yang dilakukan DPR,” ungkapnya.
Merujuk pada draf revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang disetujui DPR dan pemerintah disebutkan pasal 23A, masa jabatan hakim konstitusi diatur menjadi 10 tahun. Namun pada ayat 2 Pasal 23A, hakim konstitusi wajib dikembalikan ke lembaga pengusul (DPR, pemerintah dan Mahkamah Agung) setelah lima tahun menjabat guna memperoleh persetujuan untuk melanjutkan atau menanggalkan jabatannya.
Perlawanan menolak revisi undang-undang tidak hanya dilakukan CALS. Koalisi masyarakat sipil juga berencana menggugat revisi undang-undang yang dinilai bermasalah ini apabila DPR dan pemerintah tetap mengesahkannya. Perwakilan perhimpunan, Muhammad Isnur menilai revisi UU Kementerian Negara merupakan bagian dari kepentingan politik.
“Sarana atau kompromi untuk memfasilitasi gemuknya koalisi. Ini bagian dari konsolidasi untuk melancarkan kepentingan Prabowo dan partai-partai itu untuk memberikan posisi yang sangat gemuk. Makanya pertimbangannya sangat buruk kan?” ujar Isnur.
Menurutnya apabila revisi UU tersebut tidak berubah, pemerintahan Prabowo Subianto_Gibran Rakabuming Raka memiliki keleluasaan untuk membentuk kabinet besar dengan menambah jumlah kementerian atau lembaga dari semula 34 menjadi kurang atau lebih.
Dengan ada keleluasaan dari DPR kata Isnur, pemerintahan Prabowo-Gibran diberikan “jalan yang luas” membentuk kabinet besar sebagai upaya akomodasi kepentingan politik para pendukungnya.
Badan Legislasi DPR Guspardi Gaus membantah bahwa proses legislasi DPR itu hanya untuk kepentingan politik kekuasaan. [fw/ft]
Forum