Indonesia menolak resolusi Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang tanggung jawab untuk melindungi dan mencegah genosida, kejahatan perang, pembantaian etnis, dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Dalam pemungutan suara yang berlangsung di markas besar PBB di Kota New York, Amerika Serikat, Selasa lalu, 115 negara menyatakan mendukung, 15 negara menolak, dan 28 negara lainnya memilih abstain.
Selain Indonesia, yang juga menolak resolusi itu adalah Korea Utara, Kirgistan, Nikaragua, Zimbabwe, Venezuela, Burundi, Belarusia, Eritrea, Bolivia, Rusia, Cina, Mesir, Kuba, dan Suriah.
Dalam penjelasannya, Kamis (20/5), Direktur Jenderal Multilateral Kementerian Luar Negeri Febrian Alphyanto Ruddyard, menegaskan Indonesia bukannya menolak pembahasan isu pencegahan genosida dan kejahatan perang, melainkan menentang isu yang bersifat prosedural.
Menurut Febrian, resolusi R2P (Responsibility to Protect) yang dihasilkan pada KTT Dunia 2005 sudah dibahas dalam Sidang Majelis Umum PBB sejak 2009 di bawah mata agenda bernama Hasil dari KTT Dunia 2005.
Kemudian pada 2017, Australia dan Ghana meminta supaya R2P dimasukkan dalam agenda tambahan secara khusus dengan komitmen hanya berlaku setahun namun diperpanjang sampai tahun lalu.
Hingga akhirnya, tahun ini muncul permintaan R2P dijadikan agenda tetap tersendiri, terlepas dari agenda Hasil dari KTT Dunia 2005.
"Di titik ini ada perbedaan pandangan dengan kita. Karena bagi Indonesia, sudah jelas yang namanya R2P adalah mandat atau amanah KTT Dunia tahun 2005 di mana harus dibahas dan agendanya sudah ada. Jadi kita merasa lebih baik dibahas di agenda yang sudah ada seperti sejak tahun 2009," kata Febrian.
Menanggapi keputusan Indonesia tersebut, Direktur Eksekutif Human Rights Working Group Rafendi Djamin, menjelaskan penolakan itu bukan menunjukkan kekhawatiran Indonesia soal adanya peristiwa pelanggaran HAM di tanah air yang berpotensi untuk dikatagorikan sebagai genosida atau kejahatan perang.
Rafendi mencontohkan, peristiwa pembantaian anggota dan simpatisan PKI selama 1965-1966 pernah dituding sebagai genosida, tapi tudingan itu belum pernah terbukti.
Yang sudah jelas termasuk genosida sesuai putusan pengadilan, katanya, adalah pembantaian orang Yahudi oleh Nazi Jerman pada Perang Dua Kedua, pembantaian minoritas muslim di Yugoslavia, dan pembantaian etnis di Rwanda.
Menurut Refendi penolakan oleh Indonesia sangat tepat, termasuk dalam upaya penyelesaian krisis politik di Myanmar yang telah berlangsung sejak kudeta militer pada 1 Februari lalu.
"Kalau saya berpandangan dalam upaya strategi Indonesia untuk melibatkan siapapun yang berada di Myanmar untuk menyelesaikan masalah, maka pandangan saya inilah jalan yang sudah benar. Kalau kemudian kita mengambil dua strategi yang bertabrakan, kan jadi kontraproduktif," ujar Rafendi.
Rafendi pada intinya menyatakan bahwa Indonesia khawatir R2P bisa mengganggu proses penyelesaian krisis di Myanmar. Indonesia , menurutnya, lebih memilih penyelesaian dengan mekanisme ASEAN.
Rafendi tidak secara khusus menyebut Rohingya. Namun pada intinya, ia berpendapat, R2P akan mendorong negara-negara besar untuk meminta PBB mengirim pasukan khusus ke Myanmar dan ini akan mengganggu mekanisme yg sedang ditempuh ASEAN. Apalagi, menurut Rafendi, resolusi itu bisa diveto di DK PBB oleh salah satu dari lima negara yg memiliki hak veto, yang tidak mengganggap apa yang terjadi di Myanmar sebagai genosida.
Resolusi R2P bertujuan untuk mewujudkan komitmen politik guna mengakhiri bentuk-bentuk kekerasan dan penganiayaan. Resolusi R2P disahkan oleh semua negara anggota PBB pada KTT Dunia 2005 dalam rangka mencegah genosida, kejahatan perang, pembersihan etnis dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Dengan diadopsinya resolusi ini, negara-negara anggota PBB memutuskan untuk memasukkan R2P dalam agenda tahunan Majelis Umum PBB. Selain itu, resolusi R2P juga secara resmi meminta agar Sekretaris Jenderal PBB melaporkan setiap tahun tentang topik tersebut. [fw/ab]