Badan pengungsi PBB (UNHCR) telah mengimbau pihak berwenang Bangladesh agar mempercepat proses registrasi sekitar 15 ribu pengungsi Rohingya yang telantara di perbatasan negara itu dengan Myanmar. Lebih dari setengah juta warga Rohingya yang lari menghindari kekerasan di Myanmar dalam beberapa pekan belakangan ini telah berada di kamp-kamp pengungsi di Bangladesh, kebanyakan berada di kamp-kamp tak terdaftar, di mana makanan, tempat tinggal, air minum, dan sanitasi langka.
Rekaman terbaru dari udara yang disiapkan PBB memperlihatkan ribuan orang Rohingya berjalan kaki dari Myanmar menuju Bangladesh. Hari Senin lalu, sebuah perahu yang penuh sesak dengan pengungsi terbalik di Teluk Benggala, menewaskan 12 orang, termasuk anak-anak. Mereka dikuburkan di dekat sebuah desa nelayan Bangladesh.
Mereka yang berhasil menyeberangi perbatasan tampak kelelahan, dehidrasi dan kelaparan.
Seorang di antaranya adalah Mohammed Rafiq.
Rafiq mengatakan, "Sewaktu rumah kami dibakar, tidak ada lagi tempat untuk tinggal. Jadi kami mulai berjalan ke arah barat dan kami mencapai Pulau Dwip. Tidak ada perahu dan kami harus menunggu selama 10 hingga 15 hari tanpa makanan."
Kecelakaan perahu telah menewaskan sedikitnya 184 warga desa Rohingya yang berusaha mencapai Bangladesh sejak akhir Agustus, sewaktu serangan terpadu pemberontak Rohingya di negara bagian Rakhine memicu penindakan keras oleh militer terhadap desa-desa Rohingya.
Kekerasan telah memaksa lebih dari 530 ribu Muslim Rohingya meninggalkan rumah dan bisnis mereka dengan sedikit harapan mereka dapat kembali.
Mohammed Rafik, seorang pengungsi Rohingya lainnya, mengatakan, "Kami telah kehilangan segalanya, tapi kami masih memiliki anak-anak. Setiap hari saya memikirkan kehidupan lama saya. Saya merasa cemas siang dan malam."
Gelombang baru sekitar 15 ribu pengungsi terdampar di perbatasan Myanmar-Bangladesh hari Selasa, sehingga mendorong para pejabat PBB menyerukan agar mereka segera masuk ke daerah-daerah yang lebih aman.
Marixie Mercado, seorang juru bicara UNICEF mengatakan, "Sekarang ini prioritas menyelamatkan jiwa adalah yang paling penting. Anak-anak memerlukan air yang aman diminum, mereka perlu tinggal di lingkungan yang bersih, mereka perlu dilindungi dari penyakit dan mereka membutuhkan kita semua agar bersiap-siap jika ada sesuatu terjadi, misalnya wabah besar."
Seruan UNICEF itu disampaikan bersamaan dengan kunjungan seorang pejabat PBB ke Myanmar untuk membahas prospek memulihkan perdamaian di negara bagian Rakhine agar para pengungsi dapat kembali ke rumah mereka.
Penasihat Negara Myanmar Aung San Suu Kyi telah mendapat kecaman global karena tidak menyatakan sikap lebih bersimpati pada penderitaan Muslim Rohingya yang dianggap sebagai imigran gelap di negara berpenduduk mayoritas Buddhis itu. Liga Nasional bagi Demokrasi yang dipimpinnya membantu menyelenggarakan sebuah pertemuan lintasagama di kota pesisir Yangon hari Selasa, untuk menunjukkan dukungan bagi peraih Hadiah Nobel Perdamaian itu serta solidaritas di kalangan berbagai kelompok agama di Myanmar. [uh/gp]