Lembaga pemerhati hukum dan HAM Lokataru menyebut, setidaknya ada empat indikator penyempitan ruang kebebasan sipil dalam era Jokowi. Ke empat indikator: melemahnya kebebasan berpendapat dan berekspresi, kebebasan akademik, kekerasan terkait Papua dan aktivitas serikat buruh.
Padahal, menurut Deputi Bidang Riset Lokataru Mufti Makarim, kebebasan sipil merupakan hak-hak fundamental di dalam masyarakat demokrasi.
"Dalam 5 tahun kemarin ada kesan bahwa kritik sama dengan subversif, kritik sama dengan tindakan yang anti-negara, anti-pemerintah dan itu dijawab dengan jeratan hukum," jelas Mufti di Jakarta, Rabu (30/10).
Lokataru mencatat setidaknya ada 62 peristiwa yang menghilangkan kebebasan sipil di Papua dalam periode 19 Agustus - 10 September 2019. Selain itu, pasca-peristiwa ujaran rasial di Surabaya pada Agustus lalu, pendekatan keamanan di Papua mulai mengekang kebebasan sipil. Salah satunya yaitu pemutusan koneksi internet di Papua yang diklaim dalam rangka memerangi informasi bohong.
Dalam bidang akademik, Lokataru mencatat ada 57 kasus pembatasan kebebasan akademik, antara lain pelarangan dan pembubaran diskusi, serta intimidasi dosen dan mahasiswa. Dari sisi pelaku, mayoritas pelaku represi akademi adalah rektorat dan dosen.
Ketua YLBHI Bidang Advokasi Muhammad Isnur mengatakan ada upaya penyempitan ruang kebebasan sipil di Indonesia yang dilakukan DPR dan pemerintah melalui regulasi. Di antaranya, revisi KUHP, Undang-undang Sumber Daya Alam dan Undang-undang Pertanahan. Kata Isnur, ada kecenderungan juga untuk menggunakan aparat hukum untuk menakuti warga yang kritis terhadap pemerintah.
"Jadi ada upaya membuat dan merevisi undang-undang dalam rangka menutup ruang-ruang sipil dan mengancam sipil lebih kritis. Buktinya Revisi Undang-undang KUHP yang mengembalikan pasal-pasal kolonial yang dibatalkan MK (Mahkamah Konstitusi), mewujud kembali," jelas Isnur.
YLBHI juga mencatat ada 6 ribuan orang yang menjadi korban pelanggaran terhadap kebebasan berpendapat di muka umum sejak Januari hingga Oktober 2019, dengan 51 di antaranya meninggal dan 324 orang di antaranya masuk kategori anak.
Dari sisi pelaku, kepolisian menjadi pelaku tertinggi dengan persentase 69 persen, disusul universitas dan TNI dengan masing-masing 8 persen dan 7 persen, serta Ormas sebesar 5 persen. Sementara dari sisi wilayah, sebagian besar terjadi di Papua dan Papua Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan.
Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara mengatakan sebagai lembaga negara pihaknya telah memberi masukan kepada pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam pembuatan dan penerapan kebijakan yang ramah HAM. Ini dilakukan supaya ruang-ruang bagi kebebasan sipil tidak semakin menyempit. Komnas HAM juga mencontohkan sejumlah RUU yang berpotensi menyempitkan kebebasan sipil.
"Jadi pertama soal RKUHP, kami posisinya jelas meminta penundaan dari pengesahan sampai kemudian UU tersebut sejalan dengan standar HAM. UU Pertanahan kami juga memberi masukan, soal bagaimana negara harus bertindak ketika punya rencana kerja pemerintahan terhadap warga yang memiliki aset," jelas Beka Ulung saat dihubungi VOA.
Beka Ulung menambahkan lembaganya juga akan memberikan masukan kepada universitas-universitas yang ikut andil dalam penyempitan ruang kebebasan sipil. Sebab, menurutnya, pelarangan dan pembubaran diskusi di kampus-kampus serta bentuk pembatasan kebebasan akademisi merupakan kemunduran bagi demokrasi di Indonesia. [sm/ka]