Kematian tokoh oposisi Alexey Navalny di penjara Rusia telah mempertajam retorika politik Amerika seputar Presiden Rusia Vladimir Putin dan invasinya ke Ukraina.
Reaksi terhadap kematian itu juga mengungkapkan perbedaan yang jelas antara Presiden Joe Biden dan penantang utamanya, Donald Trump.
Presiden Biden dengan cepat menyalahkan dan mengancam akan memberlakukan sanksi keras atas kematian Navalny di koloni penjara di Kutub Utara, yang oleh para pejabat Rusia dikaitkan dengan “sindrom kematian mendadak.”
Hanya mereka yang dituduh melakukan kejahatan terburuk yang dikirim ke IK-3, yang dijuluki “polar wolf” atau “serigala kutub,” sebuah pulau yang terletak di wilayah Yamalo-Nenets, jauh di atas Lingkaran Arktik, yang kondisi alamnya dikenal sangat keras.
“Faktanya adalah Putin bertanggung jawab. Apakah dia yang memerintahkannya (atau tidak), dia bertanggung jawab atas kondisi yang mereka ciptakan pada pria itu. Dan itu mencerminkan siapa dia (Putin). Hal ini tidak bisa ditoleransi. Saya katakan akan ada harga yang harus dibayar," ujar Biden.
Kremlin mengatakan tuduhan itu “tidak berdasar” dan “kurang ajar,” dan pihak berwenang telah menolak akses ibu Navalny untuk mengambil jenazahnya.
Donald Trump dan Partai Republik yang dipimpinnya mengambil sikap berbeda. Trump mengatakan dia tidak akan mendukung NATO sekuat Biden.
Ketika berbicara dalam sebuah acara jaringan di televisi Fox News pada Selasa (20/2) malam, dia menjadikan dirinya sebagai korban penganiayaan politik, seperti Navalny.
Kepada pemandu acara Laura Ingraham mantan presiden AS itu mengatakan: “Ini adalah hal yang mengerikan, namun hal ini juga terjadi di negara kita. Dalam banyak hal, kita sedang berubah menjadi negara komunis, dan jika Anda melihatnya, saya adalah kandidat utama. Saya mengerti... Saya belum pernah mendengar tentang tuduhan sebelumnya. ... Saya didakwa empat kali, saya menjalani delapan atau sembilan persidangan, semua karena fakta bahwa — dan Anda tahu ini — semua karena fakta bahwa saya terjun dalam politik.”
Trump tidak menjelaskan secara jelas bagaimana dia akan mengakhiri perang Rusia terhadap Ukraina. Sebaliknya, dia mengatakan bahwa jika saja dia menjadi presiden, Putin tidak akan pernah melakukan invasi.
Partai Republik mempertanyakan mengapa mereka harus mendanai konflik tersebut.
Pasukan Rusia baru-baru ini merebut sebuah kota penting, yang menurut Gedung Putih sebagai bukti bahwa pasukan Ukraina membutuhkan bantuan segera.
Beberapa anggota Partai Republik yakin mereka dapat meloloskan paket bantuan senilai $95 miliar yang terhenti. Sebagian besar ditujukan untuk Ukraina.
Brian Fitzpatrick adalah anggota Kongres dari Partai Republik yang mendukung pengiriman bantuan ke Ukraina. Dalam kunjungannya baru-baru ini ke negara yang dilanda perang itu,
“Saya pikir lambatnya tanggapan Eropa dan Amerika Serikat tentu saja merugikan Ukraina, dan itulah mengapa kita tidak bisa membiarkan hal ini terjadi, mengapa kita harus menyelesaikannya," kata Fitzpatrick.
Sementara itu, invasi Rusia ke Ukraina menjadi semakin signifikan.
“Ini sudah menjadi masalah Amerika. Akankah Amerika terus memainkan peran sebagai negara yang menepati janjinya, menghormati aliansinya, dan mampu menunjukkan kekuatan? Atau apakah Amerika sudah tidak lagi menjadi kekuatan yang serius? Itulah pertanyaannya sekarang. Ini bukan lagi tentang Rusia atau Ukraina," kata Peter Pomerantsev, seorang jurnalis, penulis dan peneliti senior di Universitas Johns Hopkins kepada VOA melalui Skype.
Jarak Moskow dan Washington hampir 8.000 kilometer. Namun, sementara AS bergerak cepat menuju pemilu pada bulan November, nasib kedua negara semakin saling berkaitan dibandingkan sebelumnya. [lt/em]
Forum