Pemerintah India telah mengajukan rancangan undang-undang untuk menaikkan usia minimum pernikahan bagi perempuan, dari 18 menjadi 21 tahun, membuatnya setara dengan laki-laki, dengan tujuan untuk memberdayakan perempuan. Tetapi banyak pegiat perempuan yang menilai RUU itu tidak akan banyak menyelesaikan masalah sosial yang telah mengakar, yang menyebabkan jutaan anak perempuan menikah pada usia muda, bahkan, kurang dari 18 tahun.
“Kita melakukan ini agar mereka punya waktu untuk belajar dan berkembang. Negara mengambil keputusan ini demi anak-anak perempuannya,” kata Perdana Menteri India Narendra Modi setelah RUU Larangan Pernikahan Anak diajukan di parlemen hari Selasa (21/12).
Pengajuan RUU itu dilakukan setahun setelah dirinya mengatakan, dalam pidato peringatan hari kemerdekaan India, bahwa pemerintah tengah mempertimbangkan untuk menaikkan usia sah perempuan untuk menikah.
Pemerintah mengatakan, tujuannya adalah untuk memberikan kesempatan yang sama kepada perempuan dengan memberi mereka lebih banyak waktu untuk menyelesaikan pendidikan, mencari pekerjaan, mencapai kematangan psikologis sebelum menikah dan memastikan kesetaraan gender.
“Dalam sebuah demokrasi, kita sudah terlambat 75 tahun untuk memberikan hak yang sama bagi laki-laki dan perempuan untuk menikah,” kata Smriti Irani, menteri perkembangan perempuan dan anak, di parlemen (21/12).
RUU itu akan menandai perubahan besar bagi perempuan India, yang – menurut beberapa perkiraan – sekitar 50% menikah sebelum berusia 21 tahun.
Beberapa kelompok perempuan telah mendukung RUU tersebut. “Menyelesaikan pendidikan dan akses pendidikannya memastikan kehidupan yang lebih baik bagi seorang gadir, daripada bergantung pada suaminya seumur hidup,” tutur Ranjana Kumari, direktur Pusat Riset Sosial yang berkantor di New Delhi, kepada VOA.
Ia ingin usia menikah kedua gender sama. “Kenapa laki-laki harus lebih tua dari perempuan? Siapa yang membuat keputusan itu?,” tanyanya.
Pemerintah mengatakan rencana perubahan itu juga didorong oleh kekhawatiran terkait kesehatan perempuan yang menjadi ibu di usia muda. Pernikahan dini berkaitan dengan tingkat kematian bayi yang lebih tinggi dan tingkat harapan hidup yang rendah, terutama di kalangan perempuan pedesaan.
Menurut Irani, menaikkan usia menikah perempuan dapat membantu menurunkan angka kehamilan remaja.
Meski demikian, beberapa pakar memperingatkan bahwa RUU itu bisa menjadi boomerang, karena tidak membahas penyebab mendasar pernikahan dini, seperti kemiskinan, sikap patriarki dan kurangnya akses pendidikan. Para pakar juga takut perubahan usia pernikahan itu akan menyebabkan lebih banyak kerugian, apabila akar masalah itu tidak diselesaikan.
Mereka menjelaskan, meskipun perempuan berusia kurang dari 18 tahun saat ini ilegal, pernikahan anak masih menimbulkan tantangan besar di India. Seperempat perempuan usia 20-24 tahun di India mengaku menikah sebelum mencapai umur 18, menurut Survei Nasional Kesehatan Keluarga 2019-2021.
“Tujuan RUU itu baik, tapi tidak disusun dengan matang,” kata Mary John, dosen pada organisasi riset dan advokasi Pusat Studi Perkembangan Perempuan. Menurutnya, banyak isu yang coba diselesaikan pemerintah, seperti angka kematian ibu, tidak akan tuntas hanya dengan menaikkan usia perkawinan.
“Perempuan yang menderita anemia akan tetap anemia, terlepas dia menikah pada umur 18 atau 21. Ia hanya akan sembuh jika mendapatkan kesehatan dan nutrisi yang lebih baik,” kata John kepada VOA.
Ia juga menunjukkan, RUU itu akan menyebabkan terjadinya kriminalisasi banyak perempuan yang keluarganya menikahkan mereka pada usia dini. Ia berkata, “Ini menunjukkan kecerobohan dan kebalikan dari upaya pemberdayaan perempuan dan akan meninggalkan banyak perempuan tanpa perlindungan.”
Beberapa pegiat perempuan menyebut RUU itu hanya bersifat simbolis dan tidak akan memberdayakan perempuan. Mereka mengatakan, pemerintah seharusnya fokus meningkatkan akses fasilitas pendidikan bagi perempuan, yang kini masih kurang, terutama di daerah pedesaan yang luas di India; akses terhadap layanan kesehatan dan nutrisi yang lebih baik; serta memastikan keamanan dan keselamatan perempuan.
“Tidak akan ada perbaikan di sektor pendidikan, ekonomi maupun kesehatan melalui undang-undang (ini). Kecuali Anda mengalokasikan cukup dana untuk mengatasi masalah mendasar ini, bagaimana mungkin Anda menyelesaikan semua masalah ini?,” kata Annie Raja, sekretaris jenderal Federasi Nasional Perempuan India, kepada VOA.
Ia mengatakan, jika tujuannya untuk mewujudkan kesetaraan gendera, maka pemerintah seharusnya menurunkan usia menikah laki-laki menjadi 18 tahun.
Beberapa pihak lain berpendapat, jika seorang gadis berusia 18 tahun dianggap sudah cukup umur untuk punya hak pilih, atau diperlakukan sebagai orang dewasa saat ia melakukan tindak kejahatan, tidak ada alasan mengapa ia tidak boleh menikah pada usia tersebut.
Menanggapi kritik tersebut, para pihak yang mendukung RUU itu mengatakan bahwa langkah itu seharusnya dipandang sebagai sebuah kesempatan, bukan sebagai masalah. “Ada banyak rekomendasi lain yang dibuat pemerintah untuk menyediakan pendidikan bagi anak-anak perempuan hingga lulus, dan juga untuk memberikan hak-hak kesehatan reproduktif kepada seluruh anak perempuan,” kata Kumari.
Meski demikian, ia sepakat bahwa setiap lapisan masyarakat, seperti pemerintah, partai politik atau masyarakat sipil, harus berusaha membuat batas usia yang lebih tinggi bagi perempuan untuk menikah diterima masyarakat. “Hanya dengan mengubah undang-undang, bukan berarti Anda mengubah masyarakat dan institusi pernikahan, yang merupakan sebuah institusi sosial yang disertai dengan praktik budaya.”
RUU itu disambut hangat ratusan anak perempuan yang telah berkampanye di negara bagian Haryana di utara India untuk menaikkan batas usia menikah bagi perempuan.
“Ini adalah langkah maju yang besar,” kata Prachi Chauhan yang berusia 17 tahun, salah seorang juru kampanye. “RUU itu akan membantu menghilangkan tekanan masyarakat dan orang tua untuk segera menikah setelah berusia 18 tahun yang dihadapi banyak gadis.” [rd/jm]