Enam puluh empat ribu anak perempuan Indonesia di bawah umur dikawinkan pada masa pandemi lalu. Mereka tidak diberi pilihan. VOA menemui Rasminah, salah seorang korban kawin anak yang kini menjadi tokoh gerakan menghapus perkawinan anak.
“Saya bingung Mbak... Saya kira orang-orang sudah belajar dari kasus saya, dikawinin masih kecil. Eh sekarang masih banyak aja yang mengawinkan anaknya. Alasan pandemi. Kita tuh, jadi orang tua harus bisa jaga anak-anak kita. Biar sekolah tinggi dulu,” tuturnya.
Demikian pernyataan Rasminah yang tidak habis pikir ketika diberitahu bahwa ada sedikitnya 64.000 permohonan dispensasi kawin yang diajukan mempelai di bawah usia 19 tahun, atau berarti kawin ketika masih anak-anak pada masa pandemi tahun 2020 lalu. Angka ini disampaikan Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Lenny N. Rosalin dalam wawancara dengan VOA hari Minggu (7/3) dan juga dalam Catatan Tahunan Komnas Perempuan yang dirilis hari Jumat (5/3). Angka ini jauh lebih tinggi dari yang disampaikan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak KemenPPPA Bintang Puspayoga dalam satu diskusi November 2020 lalu, yang ketika itu masih di kisaran 34.000 kasus.
Rasminah, yang tinggal di salah satu desa terpencil di Indramayu, bersama dua perempuan korban kawin anak lainnya – Endang Wasrinah dan Maryati – dibantu Koalisi Perempuan Indonesia KPI berjuang selama bertahun-tahun untuk membuat Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan revisi UU Perkawinan No.1/1974 soal usia kawin perempuan. Permohonan itu baru dikabulkan setelah diajukan untuk kedua kalinya, dan setelah perdebatan alot di DPR akhirnya disetujui untuk mengubah pasal soal usia kawin perempuan dari 16 tahun menjadi 19 tahun.
Selepas revisi UU Perkawinan itu, semua elemen bergerak cepat melakukan beragam upaya untuk mencegah terus terjadinya perkawinan anak di bawah umur, lewat penyusunan kebijakan “Perlindungan Khusus Anak Terpadu Berbasis Masyarakat” PATBM – termasuk di dalamnya strategi penurunan kekerasan terhadap anak dan pekerja anak, penguatan kelembagaan, penyediaan layanan hingga ke tingkat akar rumput dan tentunya kampanye.
Ada Penurunan Perkawinan Anak, Tapi Lambat
Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Lenny N. Rosalin mengatakan sinergi itu membuat kasus baru kawin anak mulai turun. “Memang perlu waktu dan kalau dilihat dari trend angkanya, memang terjadi penurunan tapi tidak tajam sekali.”
Pada tahun 2017 angka perkawinan anak di Indonesia mencapai 11,54 persen dan secara perlahan mulai turun menjadi 11,21 persen pada tahun 2018, 10,82 persen pada tahun 2019 dan 10,19 persen pada tahun 2020. Kemen PPPA menargetkan angka perkawinan anak akan mencapai 8,74 persen pada tahun 2024.
Namun, ia juga memaparkan 22 provinsi di Indonesia di mana kasus perkawinan anak masih tinggi.
“Ada 22 provinsi yang memiliki angka di atas angka nasional. Mulai dari Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Sulawesi Barat, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Barat, Bangka Belitung, Jambi, Maluku Utara, Sulawesi Utara, Sumatera Selatan, Bengkulu, Papua Barat, Gorontalo, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Lampung, Papua dan Jawa Timur. Ini semua berada di atas angka nasional. Jadi perlu ekstra tindakan, ekstra regulasi, ekstra program dan kegiatan untuk masing-masing provinsi ini agar bisa melakukan upaya yang konkrit untuk menurunkan perkawinan anak,” ujar Lenny.
Rasminah: Perempuan Harus Ambil Alih Peran Mendidik Anak
Rasminah, yang sempat beberapa kali kawin cerai sebelum menginjak usia 18 tahun, mengatakan pada VOA, “sudah saatnya perempuan mengambil peran lebih besar ketika mendidik anak-anak,” tidak menyerahkan pada pihak lain.
“Mereka kan anak kita. Kita yang harus ingatkan supaya mereka sekolah yang tinggi, kerja, mandiri, bahagiakan orang tua, baru kawin. Sesusah apapun jangan kawinkan anak kita saat pandemi. Saya merasakan betul bagaimana rasanya ketika dikawinkan saat orang tua saya miskin,” ujar Rasminah yang harus keluar dari desanya di Indramayu untuk mendapatkan sinyal agar bisa diwawancarai VOA akhir pekan lalu.
Julina, putri Rasminah yang kini duduk di bangku Sekolah Menengah Kejuruan dan menemani ibunya ketika diwawancara, mengatakan betapa ia belajar banyak dari ibunya.
“Mama selalu bilang, sudah cukup ia saja yang jadi korban kawin anak. Jadi sekarang saya mau sekolah dulu. Mau dapat pekerjaan bagus,” ujarnya bersemangat.
Putra pertama Rasminah, Taryamin, sudah bekerja. Julina duduk di bangku kelas satu SMK, Wika di kelas enam sekolah dasar, Ade di taman kanak-kanak, sementara putri terakhirnya Anita masih belum sekolah.
Beragam Program Untuk Cegah Kawin Anak
Tiga puluh empat ribu anak di bawah umur yang mengajukan dispensasi untuk menikah selama masa pandemi pada 2020 mungkin tidak dapat bersuara lantang menyampaikan keinginan mereka karena didesak untuk segera menikah dan tidak lagi dapat melanjutkan pendidikan mereka. Namun, Julina dan banyak anak perempuan lain seumurnya yang sudah mendapat pencerahan bisa bicara. Mereka “Memilih untuk Menantang” sedikitnya pilihan yang ada bagi mereka saat ini.
Sambil terus membenahi kebijakan dan celah dalam UU Perkawinan yang memungkinkan terjadinya perkawinan di bawah umur dengan menggunakan dispensasi, Kemen PPPA menjalankan sejumlah program antara lain memberi pelatihan hukum pada warga desa yang dikenal sebagai “Perempuan Champions,” di mana mereka menjadi ujung tombak sosialisasi dan pendamping jika ada kasus perkawinan anak.
Sejauh ini pelatihan “Perempuan Champions” ini baru diberikan di 10 provinsi. Ada pula program Desa Peduli Anak, yaitu desa yang tanpa kekerasan, bebas pornografi, bebas KDRT, anak bebas berhadapan dengan hukum dan desa tanpa perkawinan anak. Semua ini diharapkan dapat membantu mencapai angka perkawinan anak 8,74 persen pada 2024 nanti. [em/jm]