Seorang pria Brazil yang dieksekusi karena mengedarkan narkoba, yang didiagnosa dengan skizofrenia dan kelainan bipolar, tidak paham apa yang terjadi dengannya sampai momen-momen terakhirnya, menurut seorang pendeta yang ditugaskan sebagai penasihat spiritualnya kepada radio ABC Australia, Kamis (30/4).
Rodrigo Muxfeldt Gularte ada di antara delapan orang yang didakwa melanggar undang-undang narkoba dari beberapa negara yang dieksekusi Rabu dini hari.
Brazil telah berulangkali membuat permohonan ampun pribadi kepada Indonesia untuk mengubah hukuman atas dasar kemanusiaan, menyebutkan kondisi sakit jiwanya.
Pendeta Charlie Burrows yang menemani Gularte dalam jam-jam terakhir, mengatakan pada ABC ia pikir ia telah menyiapkan pria Brazil itu untuk eksekusi.
"Saya pikir saya telah menyiapkannya, bahwa ia akan dirantai, karena ia tidak suka disentuh... Saya memberitahunya, saya berusia 72 tahun, jika kamu bangun di surga kamu tahu di mana saya akan tinggal, siapkanlah kebun atau apa," ujar Burrows.
Gularte bersikap tenang saat ia diborgol oleh sipir penjara tapi kemudian gelisah saat ia diserahkan pada polisi di luar penjara yang kemudian memasang rantai di kakinya, ujar Burrows.
"Saya pikir ia menerima pesan bahwa ia akan dieksekusi namun.. ketika rantai mulai dipasang, ia mengatakan pada saya, 'Oh bapak, saya akan dieksekusi?'," ujar Burrows.
Burrows, yang menyaksikan eksekusi tahanan Brazil lain pada Januari, mengatakan Gularte terus mendengar suara-suara di kepalanya dalam hari-hari terakhirnya, yang mengatakan semuanya akan baik-baik saja.
"Ia meyakini suara-suara itu lebih dari siapa pun," ujarnya.
Gularte ditangkap saat memasuki Indonesia pada 2004 dengan enam kilogram kokain yang disembunyikan dalam papan selancar, dan dijatuhi hukuman mati pada 2005.
Keluarga pria berusia 42 tahun itu memberikan laporan beberapa dokter pada pihak berwenang di Indonesia untuk membuktikan ia sakit jiwa, dan Presiden Brazil Dilma Rousseff telah membuat permohonan pribadi mewakilinya. Rousseff menarik duta besar Brazil untuk Indonesia setelah eksekusi pertama bulan Januari.
Burrows bergabung dengan para penasihat spiritual dan anggota keluarga lain di sebuah tenda dekat lapangan di Nusakambangan tempat eksekusi berlangsung. Mereka mendengar para pria menyanyi sebelum tembakan-tembakan dilepaskan secara simultan dan mereka sedikit tenang karena tidak ada tembakan susulan yang mengindikasikan bahwa para terpidana harus ditembak di kepala.
Burrows mengatakan ke-8 pria itu menolak ditutup matanya dan diborgol di depan untuk memungkinkan mereka bersalaman dengan sejumlah besar sipir yang berkumpul di luar.
"Mereka mungkin melihat para eksekutor dalam warna yang sangat gelap. Suasana sangat gelap malam itu. Hanya ada senter untuk para terpidana, dan ketika kami akan bertemu mereka kami terjatuh di bebatuan karena sangat gelap," ujarnya.