Pemerintahan Biden hari Selasa (3/3) mengumumkan sanksi terhadap beberapa pejabat senior pemerintah Rusia karena meracuni pemimpin oposisi Alexey Navalny dan menegaskan tuntutan agar Navalny segera dibebaskan dari penjara. Meskipun demikian, sanksi-sanksi ini tidak secara khusus menarget Presiden Vladimir Putin dan lingkaran dalamnya.
Sudah hampir satu bulan kritikus Kremlin yang terkenal blak-blakan Alexey Navalny dipenjara di IK-2 Correctional Colony di Pokrov, yang terletak sekitar 100 kilometer di timur Moskow. Penjara ini dikenal karena aturannya yang sangat tegas dan hukuman yang kejam. Navalny ditangkap, diadili dan dipindahkan ke penjara ini setibanya dari Berlin di mana ia memulihkan diri pasca serangan racun agen syaraf pada Agustus 2020 lalu.
Pemerintah Amerika Selasa lalu (2/3) mendeklasifikasi laporan intelijen yang menunjukkan bahwa Rusia merekayasa serangan racun itu dan mengumumkan sanksi terhadap 14 entitas dan tujuh anggota senior pemerintah Rusia.
Juru bicara Gedung Putih Jen Psaki mengatakan, “Perluasan sanksi di bawah UU Pengendalian Senjata Kimia dan Biologis serta Penghapusan Peperangan, pembatasan ekspor baru atas barang-barang yang dapat digunakan untuk produksi agen biologis dan kimia, dan pembatasan visa.”
Psaki mengulangi tuntutan Amerika bagi pembebasan Navalny.
Penahanan pemimpin oposisi berusia 45 tahun itu memicu demonstrasi luas di jalan-jalan di Rusia bulan lalu. Navalny mengatakan pemenjaraannya bermotif politik.
Sanksi-sanksi Amerika itu dikoordinasikan dengan mitra-mitra Amerika di Eropa dan Inggris, tetapi tidak secara khusus menarget Presiden Vladimir Putin atau oligarki lingkaran dalamnya.
Pakar ekonomi Rusia di Universitas Chicago Harris School of Public Policy Prof. Konstantin Sonin mengatakan, “Rusia adalah negara yang sangat besar. Negara ini memiliki banyak cara untuk mempengaruhi peristiwa-peristiwa di banyak bagian dunia. Jadi saya memahami bahwa satu-satunya yang dapat dilakukan pemerintahan Biden adalah mengirim sinyal. Ini sinyal yang kuat, tetapi hanya sinyal. Ini bukan sesuatu yang berdampak nyata.”
Gedung Putih menyangkal jika sanksi ini hanya bersifat simbolis semata. Menanggapi pertanyaan VOA, Psaki mengakui bahwa merupakan hal penting untuk mempertahankan hubungan dengan Rusia dalam banyak isu, termasuk perundingan nuklir Iran.
“Rusia adalah mitra P5+1. Posisi Rusia sama seperti ketika kami berupaya mencapai JCPOA (Joint Comprehensive Plan of Action atau dikenal sebagai perjanjian nuklir Iran dengan lima negara adidaya dan Uni Eropa pada Juli 2015.red) di bawah pemerintahan Obama-Biden. Jadi tentu saja Rusia akan menjadi mitra utama jika proses diplomatik ini ingin melangkah maju lagi. Pointnya adalah ada bidang yang kita tidak setuju, ada bidang yang merupakan tantangan signifikan, ada juga bidang di mana kita harus bekerjasama dengan Rusia sebagaimana dengan mitra-mitra utama kita di dunia ketika perlu mengambil langkah-langkah yang merupakan kepentingan Amerika,” tambah Psaki.
Bulan lalu Presiden Joe Biden mengatakan tidak seperti pendahulunya, ia telah menegaskan pada Putin bahwa Amerika tidak lagi dapat mentolerir tindakan-tindakan agresif Rusia, termasuk intervensi pada pemilu, serangan dunia maya dan serangan racun terhadap warganya sendiri.
Tetapi analis mengatakan kebijakan Biden terhadap Rusia harus memberikan ruang bagi keterlibatan di bidang-bidang yang menjadi kepentingan bersama.
Pakar Eropa, Rusia dan Eurasia di CSIS Cyrus Newlin mengatakan, “Ini mencakup pengendalian senjata, agenda ekonomi lingkungan hidup yang positif di Kutub Utara, hingga – dalam beberapa hal – perubahan iklim, dan beberapa lokasi di kawasan di mana Amerika dan Rusia menempatkan tentaranya, termasuk di Suriah. Jadi perlu ada kerjasama dengan Rusia untuk serangkaian isu tertentu. Saya kira pemerintah Biden akan mengupayakan kerjasama dan sekaligus membangun kembali batasan yang jelas tentang apa yang mereka anggap sebagai norma perilaku internasional yang sesuai.”
Sementara itu Rusia sudah bertekad akan melakukan tindakan balasan terhadap sanksi-sanksi itu. [em/jm]