Laporan baru mendapati sanksi yang dijatuhkan pada Korea Utara gagal memajukan prospek denuklirisasi di Semenanjung Korea, sementara menyebabkan penderitaan luar biasa bagi penduduk sipil. Panel internasional yang terdiri dari para pakar independen berbagai bidang menyusun laporan tersebut. Laporan tersebut adalah penilaian komprehensif pertama tentang dampak sanksi manusia terhadap Korea Utara.
PBB memperkuat sanksi ekonomi terhadap Korea Utara pada tahun 2016 dengan tujuan membawa Pyongyang ke meja perundingan nuklir dengan Washington. Namun taktik ini tidak berhasil. Pembicaraan tetap menemui jalan buntu.
Sementara sanksi yang ditargetkan terhadap elit Korea Utara tidak efektif, para penulis laporan mengatakan bukti menunjukkan sanksi berdampak menghancurkan pada populasi umum, terutama perempuan dan anak-anak. Mereka mengatakan sanksi itu berdampak buruk pada bantuan kemanusiaan dan pembangunan ekonomi di negara itu.
Mereka mengutip badan-badan PBB yang melaporkan 40 persen populasi Korea Utara mengalami kelaparan dan membutuhkan bantuan, enam dari 10 orang tidak memiliki akses pada air minum yang bersih dan kekurangan gizi di kalangan anak-anak meningkat.
Christine Ahn adalah pendiri Women Cross DMZ, sebuah gerakan global perempuan untuk mengakhiri Perang Korea. Ia mengatakan sanksi-sanksi itu melarang impor barang-barang penting, termasuk peralatan medis, bahan pertanian penting untuk produksi makanan, dan komponen untuk program air dan sanitasi.
Ia mengatakan penulis laporan memperingatkan kurangnya barang-barang ini mengancam kehidupan orang yang paling rentan di Korea Utara.
"Mereka mengkaji bahwa hampir 4.000 orang meninggal pada tahun 2018 akibat penundaan yang disebabkan karena sanksi terhadap bahan-bahan dan bantuan yang masuk ke Korea Utara, serta kekurangan dana."
Tahun lalu, badan-badan PBB hanya mampu mengumpulkan 21 persen dari $ 111 juta yang mereka butuhkan untuk program-program kemanusiaan yang mendesak, menyebabkan kekurangan pendanaan sebesar $ 87 juta.
Belum ada kemajuan dalam negosiasi nuklir sejak Presiden AS Donald Trump dan pemimpin Korea Utara Kim Jong Un mengadakan pertemuan langsung pertama yang bersejarah di Singapura tahun lalu dan menandatangani deklarasi yang menjanjikan transformasi hubungan mereka. Ahn mengatakan kepada VOA bahwa AS bisa mencapai tujuan ini dengan mencabut sebagian sanksi yang merugikan penduduk sipil.
Trump dan Kim bertemu untuk kedua kalinya awal tahun ini di Hanoi, Vietnam. Namun, pembicaraan itu berakhir tanpa kesepakatan. (my/jm)