Terbang melintas sejauh 3.000 kilometer, Kapten John Alcock dan navigator Letnan Arthur Whitten Brown, menyelesaikan penerbangan tanpa henti menyeberangi Atlantik yang pertama di dunia.
Berikut kilas balik penerbangan bersejarah antara Newfoundland di Kanada dan Irlandia pada 14-15 Juni 2019.
Hadiah Uang Tunai
Ketika Alcock dan Brown memasuki kokpit pesawat pengebom Perang Dunia I yang sudah dimodifikasi pada 14 Juni, Atlantik Utara sudah ditaklukkan melalui udara. Tapi belum pernah ada yang melakukan dalam sekali perjalanan.
Beberapa minggu sebelumnya, tiga pesawat jenis Curtiss milik Angkatan Laut Amerika Serikat terbang dari New York melintas Atlantik Utara dengan singgah di Newfoundland, kepulauan Azores, Portugal dan Inggris.
Hanya satu pesawat yang bisa menyelesaikan perjalanan tersebut dengan menjelajah 6.000 kilometer selama tiga minggu.
Koran Inggris Daily Mail mengumumkan kompetisi terbang melintasi Atlantik tanpa henti dengan hadiah uang tunai 10.000 poundsterling atau saat ini setara Rp 180,8 juta, dari Amerika Utara ke Kepulauan Inggris kurang dari tiga hari.
Beberapa minggu sebelum tim Alcock-Brown memulai penerbangan, dua tim lainnya sudah mendahului. Namun mereka tak berhasil. Pesawat tim pertama jatuh ke laut dan diselamatkan, sedangkan pesawat tim kedua mengalami kecelakaan saat lepas landas.
Nyaris Tak Melewati Pucuk Pohon
Alcock yang berusia 26 tahun dan Brown, 32 tahun, lepas landas sore hari dari St. John, salah satu dari titik paling timur di Amerika Utara.
Pesawat Vickers Vimy tampak kepayahan membawa 4.000 liter bahan bakar dan hanya bisa terbang sedikit di atas pucuk pohon-pohon, meluncur dengan hembusan angin.
“Saya beberapa kali harus menahan napas karena ketakutan roda-roda pesawat akan menabrak atap rumah atau pucuk pohon,” kenang Brown dalam buku “Flying the Atlantic in Sixteen Hours” (1920)
Begitu mengudara, para penerbang Angkatan Udara Inggris itu mengarahkan pesawat ke timur menuju Irlandia.
Terbang Buta
Karena kabut tebal, hampir sepanjang perjalanan mereka harus terbang buta.
Pesawat terombang-ambing oleh angin, naik dan menukik, kadang hanya beberapa meter dari permukaan air, Alcock mengenang.
“Saya yakin kami terbang melingkar dan tak sengaja kami terbang dalam putaran dalam. Hal itu sangat mengagetkan. Kami kehilangan arah cakrawala,” kata Alcock kepada koran Daily Mail.
Es dan hujan es mengakibatkan beberapa instrumen penerbangan macet dan mengancam membekukan motor pesawat. Brown bahkan harus mengikis lapisan es dengan pisaunya.
“Kami mengalami perjalanan yang mengerikan. Kami tidak pernah bertemu sebuah kapal dan kami tidak mendapat pesan apapun,” kata Alcock setelah menyelesaikan misinya.
“Kami terbang sepanjang permukaan air dan kami sempat meragukan posisi kami. Meski kami yakin kami di ‘situ atau kira-kira di situ.’ Kami mencari daratan dan berharap bisa menemukannya kapan saja.”
Pendaratan Rawa di Irlandia
Ketika akhirnya tiba-tiba tampak daratan keras pada pagi 15 Juni, “rasanya luar biasa,” kata Alcock, sang pilot.
Dia melihat sebuah lapangan untuk mendarat dekat Clifden di County Galway. Tapi rupanya lapangan itu adalah rawa-rawa.
“Roda-rodanya tenggelam hingga bagian as di lapangan. Pesawat Vimy tumbang pada bagian hidung,” katanya.
Pesawat mereka rusak. Tapi dua penerbang perintis itu selamat tanpa cedera. Penerbangan diselesaikan sedikit melebihi 16 jam.
Pahlawan
Alcock dan Brown disambut sebagai pahlawan di Dublin, Irlandia dan London. Winston Churchill, yang saat itu menjabat sebagai menteri penerbangan Inggris, menyerahkan hadiah dari Daily Mail. Keduanya kemudian diberi gelar kebangsawanan oleh Raja George V.
Namun delapan tahun kemudian, pada 20 Mei 1927, rekor mereka ditumbangkan oleh penerbang Amerika Charles Lindberg. Lindberg terbang solo menyeberangi Atlantik, dari New York ke Paris.
Alcock wafat enam bulan kemudian setelah ekspedisi itu ketika pesawatnya jatuh dekat Rouen, Perancis. Brown meninggal pada 1948. [ft]