Ribuan truk lalu lalang dan juga ribuan wisatawan menikmati bentang alam Merapi setiap hari. Masyarakat bertani, berdagang, dan bekerja dalam profesi masing-masing, begitupun anak-anak di sekolah mereka. Kehidupan warga lereng Merapi berjalan normal sampai hari ini, yang tidak normal adalah status gunung itu. Sejak 21 Mei 2018, pemerintah menetapkan status waspada karena kenaikan aktivitas.
Kehidupan yang normal itu, didukung oleh pemahaman masyarakat yang sudah jauh lebih baik mengenai salah satu gunung paling aktif di dunia itu. Setidaknya, itulah yang disampaikan Kepala Desa Glagaharjo, Cangkringan, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta, Suroto.
“Masyarakat kesiap-siagaannya bagus. Sudah disiapkan sebelum kejadian. Beda dengan sebelum tahun 2010 lalu. Ketika itu harus dipaksa untuk mengungsi. Kalau sekarang sudah disiapkan,” ujar Suroto.
Masyarakat Siaga Bencana
Puluhan warga dan pihak terkait, Selasa (21/5) petang berkumpul di kantor Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG). Balai ini adalah lembaga yang mengawasi aktivitas Gunung Merapi selama ini. Mereka berkumpul, selain untuk mengingat satu tahun status "Waspada Merapi" juga mengasah kembali kepekaan terhadap aktivitas gunung itu.
Pasca letusan besar 2010, pemerintah sudah menetapkan bahwa ada Kawasan Rawan Bencana (KRB) yang sama sekali tidak boleh dihuni. Namun, di desa paling dekat Merapi, yaitu Glagaharjo masih ada tiga kampung yang warganya tidak mau pindah ke kawasan lebih aman. Menurut catatan desa, sekurangnya ada 400 keluarga di sana.
Gunung Sinabung di Sumatera Utara dan Gunung Agung di Bali, terus menunjukkan aktivitas tinggi sampai saat ini. Berbeda dengan Merapi yang justru terlihat tenang. Guguran material kerap terjadi. Bisa sekali dalam beberapa hari, namun kadang-kadang terjadi berkali-kali dalam satu hari. Jarak luncurnya masih kurang dari 2.000 meter, karena itu kawasan yang tidak boleh dijamah ditetapkan tiga kilometer dari puncak.
Meski relatif tenang, pemerintah daerah terus membangun kesadaran masyarakat akan bencana dan menjaga kewaspadaan mereka. Joko Supriyanto, Pelaksana Tugas Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPPD), Kabupaten Sleman mengatakan, ada banyak kegiatan mereka lakukan.
“Desa-desa di lereng Merapi semua sudah kita bentuk sebagai Desa Tangguh Bencana. Sekolah-sekolah di daerah rawan bencana sudah kita bentuk Sekolah Siaga Bencana. Kita sudah bentuk 47 Desa Tangguh Bencana dan 63 Sekolah Siaga Bencana. Mereka sudah tahu bagaimana cara atau menyikapi apabila ada erupsi Merapi,” ujar Joko.
Selain itu, pemerintah lokal juga telah memasang 17 alat Early Warning System (EWS), menetapkan titik kumpul masing-masing dusun dan jalur evakuasi. Joko memastikan masyarakat lereng Merapi paham ke mana harus berlari jika bencana terjadi. Bagi penduduk yang tinggal di kawasan terlarang huni, ada konsep kehidupan harmonis dan prosedur standar tersendiri yang diterapkan.
Desa-desa rawan bencana juga dilatih untuk membentuk skema Persaudaraan Desa dan Persaudaraan Sekolah. Jika pengungsian harus dilakukan, warga telah memahami mereka harus mengungsi ke desa mana. Di desa tujuan, warga setempat juga sudah dilatih untuk menerima pengungsi. Begitupun sekolah-sekolah di kawasan aman telah memiliki sekolah saudara dari Merapi, dan siap menampung siswa yang terpaksa ikut mengungsi. “Mengungsi tidak harus ke barak, karena justru barak pengungsian kita siapkan untuk penyimpanan logistik bagi pengungsi,” tambah Joko.
Aktivitas Lambat, Status Waspada Panjang Banyak pertanyaan muncul, mengapa Status Waspada ini begitu panjang diterapkan sehingga membuat sejumlah aktivitas masyarakat terbatasi. Hanik Humaida, Kepala BPPTKG Yogyakarta menyebut, penyebabnya adalah karena laju magma menuju ke permukaan berjalan sangat pelan. Saat ini, dalam satu hari hanya 3000 meter kubik material yang naik ke kawah. Padahal rata-rata kemampuan Merapi mengangkat material adalah 20 ribu meter kubik per hari.
“Ini masih terus terjadi. Kegempaan masih ada. Ini mengindikasikan masih ada suplai magma, tetapi masih kecil. Indikasi lain, tidak menunjukkan sesuatu yang signifikan. Ini akan terus terjadi, tetapi tetap sangat lambat. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” kata Hanik.
Saat ini volume kubah Merapi 450 ribu meter kubik. Dengan jumlah itu, seandainya terjadi lontaran, material hanya akan menjangkau jarak 3,2 km. Namun skenario buruk itu sangat kecil kemungkinannya terjadi.
Karena itulah, BPPTKG merekomendasikan masyarakat lereng Merapi beraktivitas seperti biasa. Begitu pula dengan sektor pariwisata, yang justru bisa menyajikan daya tarik tambahan berupa guguran material. Ketika gelap, akan tampak lelehan berwarna merah turun dari puncak. Ketika siang hari, asap tebal menarik perhatian.
Hanik yakin masyarakat lokal sangat memahami dan dapat hidup berdampingan dengan Merapi. Salah satu tantangan yang saat ini masih harus diatasi adalah kesadaran wisatawan yang setiap hari datang ke kawasan ini.
“Kadang-kadang yang heboh itu wisatawan dari luar. Karena masyarakat setempat sudah sangat tahu Merapi itu seperti apa. Tetapi, bagaimana dengan wisatawan yang tidak tahu Merapi seperti apa, dan kemudian panik. Kuncinya ada di pelaku pariwisata,” tambahnya. [ns/lt]