Organisasi Save the Children Indonesia bersama dengan Koalisi Penghapusan Kekerasan pada Anak di Indonesia (IJF EVAC) mendorong pemerintah untuk segera mengambil langkah nyata terhadap penyelesaian kasus kekerasan seksual yang terjadi pada tiga anak di Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan.
Kasus tersebut, yang menyita perhatian sejak dilaporkan oleh media Project Multatuli pada pekan lalu, telah mengundang kemarahan publik atas perlakuan aparat berwenang yang dianggap tidak berpihak pada korban dalam menangani kasus itu.
Dalam pernyataannya, koalisi tersebut mengungkapkan bahwa pemerintah harus menerapkan manajemen kasus dalam menangani kasu Luwu Timur. Kualitas sumber daya manusia (SDM) yang bertanggung jawab dalam menangani kasus serupa juga menjadi sorotan dari koalisi yang menyatakan pentingnya peningkatan kapasitas SDM yang berurusan dalam penanganan kasus seperti yang terjadi di Luwu Timur.
“Kerahasiaan adalah salah satu prinsip utama dalam menangani kasus kekerasan terhadap anak. Seluruh pihak wajib untuk merahasiakan identitas anak baik anak sebagai pelaku tindak pidana, korban maupun saksi dalam pemberitaan di media cetak maupun elektronik sebagaimana diatur pada pasal 19 UU nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan juga pada Peraturan Dewan Pers Nomor 1 tahun 2019 tentang Pedoman Pemberitaan Ramah Anak,” kata Dewi Sri Sumanah, Manajer Media Save the Children Indonesia, saat dihubungi VOA, Rabu (13/10).
Seperti diketahui sebelumnya, ketika berita tersebut dirilis, pihak Polres Luwu Timur dan beberapa akun anonim di media sosial segera membantah isi berita dan menyebarkan identitas para korban.
Selain jaminan akan kerahasiaan, Dewi juga menekankan bahwa setiap kasus kekerasan pada anak hendaknya ditangani secara komprehensif, dengan tidak hanya memperhatikan aspek hukum yang berlaku tetapi juga aspek lainnya seperti fisik, psikologis dan psikososial dari sang anak yang perlu menjadi prioritas dalam penanganan.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar dan LBH Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) Sulsel, selaku Tim Kuasa Hukum Korban di Luwu Timur menilai bahwa penghentian penyelidikan yang dilakukan penyidik Polres Luwu Timur adalah prematur serta menyebutkan terdapat sejumlah pelanggaran prosedur dalam proses penanganan kasus tersebut.
Pelanggaran yang dimaksud diantaranya adalah proses pengambilan keterangan terhadap para korban, di mana sang ibu dilarang untuk mendampingi anak-anaknya.
Tim Kuasa Hukum korban mendesak agar Kapolri membuka kembali serta dan mengambil alih proses penyelidikan kasus tersebut dengan secara penuh dan melibatkan tim kuasa hukum, pelapor sebagai ibu para anak korban, serta pendampingan sosial terhadap para korban.
Mabes Polri Kirim Tim Supervisi dan Asistensi ke Luwu Timur
Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Rusdi Hartono dalam konferensi pers, Selasa (12/10) malam menjelaskan Tim Supervisi dan Asistensi Mabes Polri telah diturunkan sejak 10 Oktober 2021 untuk melakukan audit terhadap langkah-langkah kepolisian di Polres Luwu Timur, Sulawesi Selatan terhadap penanganan kasus dugaan pencabulan terhadap anak di bawah umur. Tim tersebut telah menemukan sejumlah fakta-fakta awal.
“Beberapa fakta-fakta yang ditemukan yang pertama adalah penyidik menerima surat pengaduan dari saudari RS pada tanggal 9 Oktober 2019. Isi surat pengaduan ini yang bersangkutan melaporkan bahwa diduga telah terjadi peristiwa pidana yaitu perbuatan cabul jadi bukan perbuatan tindak pidana perkosaan seperti yang viral di media sosial dan juga menjadi perbincangan di publik” jelas Rusdi.
Ia mengungkapkan berdasarkan hasil Visum et Repertum Puskesmas Malili pada 19 Oktober 2021 menemukan tidak ada kelainan pada alat kelamin dan dubur korban. Begitu pula dengan hasil visum di Rumah Sakit Bhayangkara Makassar pada 15 November 2019.
“Hasilnya adalah yang pertama tidak ada kelainan pada alat kelamin dan dubur, yang kedua perlukaan pada tubuh lain tidak diketemukan” kata Rusdi.
Ia menambahkan, tim supervisi telah menindaklanjuti saran dari dokter spesialis anak Rumah Sakit Vale Soroako untuk melakukan pemeriksaan lanjutan di dokter spesialis kandungan sekaligus untuk mengetahui ada tidaknya tindak pidana perbuatan cabul terhadap ketiga anak dengan didampingi ibu dan kuasa hukum.
“Tetapi pada tanggal 12 Oktober 2021, sekarang ini, kesepakatan itu dibatalkan oleh ibu korban dan juga pengacaranya dengan alasan anaknya takut, trauma," jelas Rusdi.
Menurutnya, tim supervisi masih bekerja untuk penanganan kasus di Luwu Timur tersebut. Pihaknya juga akan mendalami perihal bocornya identitas pelapor di media sosial. (yl/rs)