Terdakwa kasus pemerkosaan terhadap anak, SU (45) divonis bebas oleh Mahkamah Syar’iyah Aceh pada tingkat banding. Putusan itu diambil berdasarkan aturan jarimah (pemerkosaan dan pelecehan seksual) dalam qanun jinayah yang berlaku di Aceh. Perbuatan jarimah diatur dalam Qanun Aceh tentang Hukum Jinayah. Namun, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, Syahrul, menilai penerapan qanun jinayah tidak berpihak kepada korban. Terutama dalam kasus pemerkosaan terhadap anak.
"Qanun jinayah tidak berperspektif perlindungan anak. Artinya qanun jinayah itu hanya berbicara tentang bagaimana menghukum pelaku. Tidak berbicara bagaimana pemulihan korban pascakejadian. Bagaimana pencegahan di awal agar perbuatan itu tidak terjadi," katanya kepada VOA, Senin (11/10).
Menurut Syahrul kasus pemerkosaan, terutama bila anak sebagai korbannya, seharusnya ditangani Undang-Undang (UU) Perlindungan Anak, bukan qanun jinayah.
"Kalau kita bandingkan dengan UU Perlindungan Anak itu bahkan dari sejak bujuk rayu pelaku sudah bisa dihukum. Beda dengan qanun jinayah, harus ada perbuatan dahulu. Artinya, dari sejak pencegahan qanun jinayah sudah kalah," ujarnya.
Lanjut Syahrul, penggunaan qanun jinayah dalam kasus pemerkosaan anak juga kerap merugikan korban. Terlebih saat korban membutuhkan pemulihan usai mengalami tindakan kekerasan seksual.
"Melihat UU Perlindungan Anak maka pemulihan dibebankan terhadap negara. Kalau qanun jinayah maka pemulihan itu harus langsung dari keluarga karena tidak diamanatkan di situ," ucapnya.
Bukan hanya itu, qanun jinayah juga tak mampu melindungi anak usai menjadi korban kekerasan seksual. Kata Syahrul, qanun jinayah tidak bisa menjamin perlindungan bagi korban kekerasan seksual termasuk pemerkosaan. Misalnya, perlindungan terhadap perundungan yang akan dialami korban di tempat tinggalnya.
"Beda dengan UU Perlindungan Anak, jika setelah kejadian maka pemerintah melalui unit yang telah dibentuk oleh negara harus memantau. Jika terjadi hal-hal negatif terhadap anak (korban), dan keluarga maka wajib dievakuasi serta dijamin keberlangsungannya. Agar anak bisa tumbuh dan mendapatkan hak-haknya. Qanun jinayah tidak memerintahkan itu," katanya.
Berdasarkan catatan LBH Banda Aceh, vonis bebas yang diberikan Mahkamah Syar’iyah Aceh terhadap terdakwa kasus pemerkosaan pada tingkat banding bukan yang pertama.
"Ini bukan hal pertama yang keputusannya bebas terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak di Mahkamah Syar’iyah Aceh. Kalau tidak salah ini yang ketiga," pungkasnya.
Sementara itu , Komisioner KPPA (Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak) Aceh, Firdaus Nyak Idin, mengatakan vonis bebas terhadap terdakwa SU telah memperkuat asumsi bahwa ada masalah sistemis pada penerapan qanun jinayah dalam penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak di Aceh.
"Dalam konteks sumber daya manusia terutama hakim. Mahkamah Syar’iyah masih diisi oleh sebagian pengadil yang awalnya merupakan hakim pada Pengadilan Agama. Di mana Pengadilan Agama sejak awal memang tidak dibangun dengan pengetahuan dan keterampilan yang memadai pada isu pidana seperti kekerasan seksual terhadap anak. Melainkan hanya pada masalah-masalah perdata," ujarnya kepada VOA.
Lanjut Firdaus, qanun jinayah memang didesain hanya untuk mengatur pidana tertentu saja. Sehingga sama sekali tidak menyinggung persoalan pemenuhan hak rehabilitasi dan kesejahteraan bagi anak korban kekerasan seksual. Itu sebabnya, menurutnya,qanun jinayah miskin dan kering akan perspektif perlindungan anak perlu segera direvisi.
"Hal ini yang sejak awal mendorong KPPA Aceh dan elemen sipil lainnya konsisten mendukung upaya revisi qanun jinayah. Kami usulkan adalah revisi minor saja yaitu mencabut pasal-pasal terkait anak," ungkapnya.
Firdaus menjelaskan, Pasal 47 terkait pelecehan seksual terhadap anak dan Pasal 50 tentang pemerkosaan anak yang terdapat pada qanun jinayah harus dicabut. Dengan demikian, kasus yang tertera dalam dua pasal itu tidak lagi ditangani dengan menggunakan qanun jinayah melainkan dengan menggunakan UU Perlindungan Anak dan UU Sistem Peradilan Pidana Anak.
"Sehingga peradilannya lebih berpersfektif anak. Putusannya (juga) mengedepankan pemenuhan hak rehabilitasi dan kesejahteraan anak korban," jelasnya.
KPPA Aceh bersama LBH Banda Aceh juga mengkritisi beberapa pasal berisiko tinggi lainnya, seperti Pasal 1 Ayat 40 terkait definisi anak,Pasal 34 terkait zina anak, sertaPasal 63 Ayat 3 dan Pasal 64 Ayat 3 terkait hubungan sesama jenis.
"Pasal-pasal dimaksud berpotensi menggiring anak menjadi pelaku dan dihukum cambuk dengan dalih suka sama suka. Karena menafikan kemungkinan adanya tindak kekerasan di awal kasus," tandasnya.
Dalam kasus pemerkosaan dengan terdakwa SU. Sebenarnya Mahkamah Syar’iyah Jantho telah menjatuhkan hukuman 180 bulan penjara terhadap SU. Vonis itu diperkuat dengan bukti yang didapat hakim berdasarkan keterangan anak, hasil visum, dan bukti petunjuk keterangan saksi dari orang tua korban.
Namun, SU yang merupakan aparatur sipil negara itu tidak menerima vonis tersebut dan mengajukan banding ke Mahkamah Syar’iyah Aceh. Banding yang diajukan SU diterima oleh Mahkamah Syar’iyah Aceh.
Mahkamah Syar’iyah Aceh membatalkan putusan Mahkamah Syar’iyah Jantho serta menyatakan terdakwa SU tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan jarimah pemerkosaan terhadap anak perempuannya yang berinisial K. Hakim di Mahkamah Syar’iyah Aceh beranggapan bahwa keterangan korban tidak bisa dijadikan sebagai bukti karena masih anak di bawah umur dan tak ada saksi lain yang melihat jarimah itu.
Sementara itu, jaksa penuntut umum dari Kejaksaan Negeri Aceh Besar, Shidqi Noer Salsa, yang menangani perkara ini telah mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung terkait putusan banding itu.
"Kami tadi baru mengajukan upaya kasasi. Mungkin dalam dua atau tiga hari ke depan kami akan mengirimkan memori kasasi ke Mahkamah Agung," katanya kepada VOA. [aa/ab]