Ebele Azikiwe tahun lalu siswa kelas enam ketika kemudian bulan Februari tiba dan biasanya setiap tahun bulan itu diperingati sebagai “Black History Month.” Dia sudah mengenali kurikulum pelajarannya, yakni pembahasan tentang riwayat hidup Rosa Parks, Pendeta Martin Luther King, tokoh-tokoh pejuang hak-hak sipil, dan sebuah pembahasan tentang perbudakan. Ini setiap tahun berulang.
Tetapi kemudian terjadi insiden George Floyd dan kematiannya pada Mei. Hal itu mengilhaminya untuk minta pengelola sekolahnya, di Cherry Hill, New Jersey, untuk mengubah kurikulum Black History.
“Kami sudah belajar tentang perbudakan, tetapi apakah kita masuk ke dalam akar permasalahan perbudakan?” kata Ebele, usia 12 tahun dalam sebuah wawancara. “Anda belajar tentang bagaimana nenek moyang kami berlayar melintasi Samudra, tetapi apakah kita belajar tentang bagaimana perasaan mereka ketika mereka diikat di dalam kapal itu?
Suratnya oleh kepala sekolahnya diberikan kepada inspektur sekolah, dan kemudian menjadi kepala berita, sehingga menunculkan janji-janji untuk menyempurnakan kurikulum Black History itu.
Sejak pembunuhan Floyd di Minneapolis itu, pendidik mengatakan, mereka mendengar tuntutan dari para siswa agar pelajaran Black History diperluas. Para legislator dan negara bagian juga mulai menerbitkan produk legislatif yang menyerukan pengajaran yang lebih inklusif.
Kursus versi sebelumnya lebih menfokuskan pada kesadaran budaya. Temuan sekolah-sekolah, menurut Maurice Hall, dekan dari arts and communication school College of New Jersey, para siswa masih memiliki vakum pengetahuan di bidang sosio-ekonomi, budaya, dan hubungan ras.
Mereka dibesarkan dengan pandangan mayoritas, dan berpendapat bahwa pandangan itu adalah “cara yang benar,” kata Hall.
Connecticut memberlakukan sebuah hukum pada Desember, yang mewajibkan SMA menawarkan kursus tentang studi Kulit Hitam dan Latino. New Jersey, di mana standar pembelajaran sudah mengikut sertakan pelajaran pendidikan kebhinekaan, bulan lalu memberlakukan hukum yang mewajibkan sekolah memasukkan subyek keanekragaman dan inklusivitas ke dalam kurikulum mereka.
Beberapa negara bagian lain juga sedang mengolah produk legislatif yang akan membuat perubahan yang sama, termasuk Washington dan Virginia, demikian menurut the National Conference of State Legislatures.
Kematian George Floyd akibat penganiayaan oleh seorang petugas polisi kulit putih secara cepat menyebar ke sekolah-sekolah, kata Michael Conner, inspektur pengawas di Middletown, Connecticut. Protes para siswa menyebabkan isu ras mengemuka dan paling utama dalam agenda pengajaran para pendidik.
Sejarah warga Amerika keturunan Afrika dan non-Eropa lainnya cenderung untuk fokus kepada bagaimana masyarakat ini terpinggirkan, sementara sejarah warga Eropa digambarkan sebagai sebuah budaya yang kompeten, demikian kata Conner, ini sesuatu yang disebutnya sebagai “defisit” dalam konteks, dan bukan “aset” dalam konteks.
Sebagaimana Ebele yang berusia 12 tahun, dia menunjuk pada pembelajaran dari beberapa tokoh Amerika keturunan Afrika yang terkemuka itu.
“Ketika saya kaji pendidikan saya, satu-satunya saat saya belajar tentang Black History di sekolah adalah selama bulan Februari,” katanya. “Saya belajar tentang budaya saya di meja makan di rumah bersama ibu dan nenek saya.”
Distrik yang menambah kebhinekaan ke dalam kurikulum kereka kini harus menentukan bagaimana melakukannya, dan seperti apa modul pelatihannya. [jm/ka]