Upaya hukum untuk menyusun Rancangan Naskah Akademik Perlindungan Anak Masa Kebencanaan, dilakukan sejumlah elemen masyarakat dan perguruan tinggi di Jawa Timur serta Nusa Tenggara Barat (NTB) pasca bencana gempa bumi yang melanda Lombok pada 2018 lalu.
Yayasan Alit sebagai bagian dari konsorsium Jarim for Indonesia yang terlibat langsung dalam penanganan saat tanggap darurat dan pasca bencana di Lombok, menemukan banyak kasus terkait dengan anak yang tidak terpenuhi hak-haknya, dan menjadi kelompok rentan yang penanganannya tidak diatur secara khusus oleh peraturan perundangan sebagai dasar melakukan tindakan.
Direktur Eksekutif Yayasan Arek Lintang (Alit), Yuliati Umrah mengungkapkan, berbagai persoalan yang dihadapi anak ketika terjadi bencana sering kali terabaikan akibat tumpang tindihnya aturan, serta tidak ada payung hukum atau aturan khusus penanganan anak saat bencana. Akibatnya banyak anak yang didampingi Alit saat gempa Lombok, tidak mendapatkan hak dan layanan dasar yang dibutuhkan, bahkan ada juga anak yang menjadi korban eksploitasi orang dewasa.
“Kami mencoba meruntut pada Undang-undang Perlindungan Anak, ternyata di Undang-undang Perlindungan Anak, hanya satu pasal itu pun berbunyi penanganan anak di masa bencana merujuk pada hukum humaniter, tidak secara teknis menjelaskan langkahnya bagaimana, upaya pemerintah pusat dan daerah seperti apa, tidak ada pasal itu. Kalau kita merujuk pada Undang-undang di Kebencanaan, itu malah spesifik tidak bicara soal langkah perlindungan khusus pada anak. Jadi, secara konstitusi ini lemah, padahal setiap bencana ini kan korban yang paling besar tentu yang paling lemah, yakni anak-anak,” kata Yuliati Umrah, kepada VOA.
Direktur Eksekutif Surabaya Children Crisis Center (SCCC), Edward Dewaruci mengatakan, pembuatan udang-undang baru akan membutuhkan waktu lama dan kompromi politik yang tidak mudah, sementara penanganan anak masa kebencanaan sangat diperlukan segera. Edward mendorong perubahan peraturan pemerintah yang ada untuk memasukkan hal-hal dasar dan teknis terkait penanganan anak pada masa kebencanaan.
“Mengubah peraturan pemerintah yang ada sekarang, itu untuk lebih detil lagi terhadap kelompok-kelompok rentan yang harus butuh penanganan khusus itu seperti apa, itu bisa sebetulnya, dan itu lebih gampang karena kan kemudian tinggal mengendorseBNPB, atau kita memberikan kajian dan informasi itu kepada pemerintah, Presiden dan bawahannya itu kan lebih gampang, dibanding harus kompromi politik dengan banyak partai, dengan banyak anggota legislatif yang punya persyaratan macam-macam urut-urutan untuk membuat Undang-undang,” terang Edward Dewaruci.
Sudah Saatnya Ada Pedoman Kebijakan Saat Bencana
Pemerhati perempuan dan anak dari FISIP Universitas Airlangga Surabaya, Pinky Saptandari mengatakan, kesadaran pemerintah dan masyarakat mengenai tempat tinggalnya yang rawan bencana harus menjadi dasar pembuatan kebijakan maupun tindakan yang harus diambil saat bencana terjadi. Upaya itu diyakini akan mengurangi resiko korban pada masyarakat, serta meningkatkan ketahanan dalam menghadapi bencana.
“Harus memberikan kesadaran bersama, terutama pada pengambil kebijakan dan juga masyarakat bahwa mereka hidup di atas tanah bencana. Kalau hidup di atas tanah bencana, ya harus aware, harus sadar. Nah kalau sadar, bagaimana pola hidupnya, pola kebijakannya supaya mereka juga siap dalam menghadapi bencana, siap kapan saja. Jangan reaktif tapi preventif, promotif juga supaya semua orang punya kesadaran yang sama tentang bagaimana mencegah bencanan,” papar Pinky Saptandari.
Yuliati Umrah menambahkan, hingga kini belum ada peraturan daerah di Indonesia yang secara khusus mengatur perlindungan dan pemenuhan hak anak pada masa kebencanaan, sehingga rancangan final naskah akademik ini akan menjadi usulan kepada pemerintah untuk segera membuat payung hukum perlindungan dan pemenuhan hak anak saat bencana.
“Perda untuk langkah-langkah perlindungan khusus pada anak di kebencanaan, tidak ada satu pun di Indonesia, ya karena memang Undnag-undang tidak ada pasal menyebutkan itu. Hasil diskusi panel ini akan menjadi draf final, naskah akademik dari perguruan tinggi se-NTB, dan Unair sebagai leading sectornya, dari FISIP Unair, akan membawa draf akademik ini, kita serahkan kepada Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, sebagai bagian dari mendorong supaya pemerintah melihat situasi ini, dan mendorong kepada legislasi yang baru agar ada pasal-pasal yang secara teknis membahas langkah-langkah perlindungan khusus tersebut, dan ini memudahkan perda-perda di masing-masing daerah dibuat,” imbuh Yuliati.
Pada saat bencana gempa di Lombok, ratusan gedung sekolah roboh; antara lain 160 gedung SD, 36 gedung SMP, 180 gedung TK/PAUD, serta madrasah dan fasilitas penunjang pendidikan lainnya. Total terdapat 23.000 siswa SD dan 7.600 siswa SMP yang menjadi kelompok rentan saat bencana gempa terjadi. Pasca gempa pemerintah daerah setempat dan masyarakat mulai membangun kembali kehidupan mereka, dibantu berbagai pihak dari dalam dan luar negeri.
Kepala Dinas Pendidikan, Kepemudaan dan Olahraga Kabupaten Lombok Utara, Fauzan mengungkapkan, hingga kini anak-anak sekolah di Lombok Utara telah kembali beraktivitas seperti biasa, meski dengan fasilitas pendidikan yang sangat terbatas dibandingkan saat sebelum terjadi bencana.
“Tentu saja anak-anak juga memerlukan fasilitas belajar. Hampir sebagian besar kemarin sudah rusak, ya meja kursi mungkin tidak sampai 20 persen yang bisa kita selamatkan sehingga ada juga masyarakat yang secara swadaya membuat meja-meja kayak lesehan itu ya, karena sekolah semi permanen ini tidak punya pondasi. Banyak yang pakai terpal saja di bawah, itu anak-anak duduk pakai meja belajar kecil itu ya. Fasilitas belajar memang masih sangat kita perlukan, karena ada yang hanya membantu (membangun) kelasnya saja,” ungkap Fauzan. [pr/em]