DPR dan pemerintah berniat merampungkan beberapa rancangan undang-undang yang menjadi skala prioritas, pada akhir masa persidangan III DPR tahun sidang 2017-2018 ini; salah satu di antaranya adalah revisi KUHPidana. Namun anggota Dewan Pers Jimmy Silalahi kepada VOA mengatakan sebagian pasal dalam revisi KUHPidana itu berpotensi memberangus kebebasan berpendapat dan pers.
Menurutnya ada 16 ancaman pidana yang berpotensi memangkas kebebasan berekspresi, termasuk kebebasan pers. Di antaranya tentang ancaman pidana kepada pembuat berita atau penyebar informasi yang kemudian dinilai tidak sesuai dengan fakta. Jimmy mengatakan bisa saja media atau wartawan melakukan kesalahan dalam menjalankan tugasnya, tetapi sangat tidak benar jika dikenakan pidana berdasarkan KUHPidana itu, karena saat ini sudah ada Undang-undang Pers yang bisa dijadikan landasan. Undang-undang Pers secara tegas merujuk Dewan Pers untuk menilai sebuah produk jurnalistik adalah pelanggaran pidana atau kode etik.
Jika niat DPR ingin meminta pertanggungjawaban pengguna media sosial yang menyebarkan berita bohong atau menyebarkan ujaran kebencian maka Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) bisa digunakan.
Pemberitaan terhadap proses persidangan lanjutnya juga rentan ancaman penjara jika menafsirkan pasal 306 huruf d di revisi KUHP sebagai gangguan pada pengambilan vonis oleh hakim. Menurutnya ancaman lainnya dalam revisi tersebut adalah soal pemberangusan sistem kritik terhadap presiden, wakil presiden dan pemerintah. Produk jurnalistik bisa dikategorikan penghinaan terhadap pemimpin negara atau pemerintah tanpa adanya tolak ukur yang jelas.
Jimmy menjelaskan, "Akhirnya susah antara melakukan jurnalisme investigasi dengan kritik, hate speech atau penghinaan akhirnya menjadi beda-beda sedikit dengan adanya R-KUHP tersebut. Asumsi hukumnya akan dianggap sama. Jadi susah misalnya ketika anda melakukan kritik terhadap presiden kemudian menuangkan dalam sebuah redaksional, itu sebenarnya sah-sah saja dalam era demokrasi seperti sekarang apalagi kita bukan negara otoriter tapi kan lucu masa negara demokrasi R-KUHP seperti negara otoritarian."
Jimmy Silalahi mengatakan lembaganya dalam waktu dekat akan menyampaikan masukan tertulis kepada Panitia Kerja Revisi KUHP DPR. Menurutnya aturan tersebut tidak boleh menabrak kebebasan pers.
Apabila pemerintah dan DPR tetap memasukan pasal-pasal yang mengancam kebebasan pers dalam revisi KUHP maka hal ini dinilai sangat berbahaya bagi pers di Indonesia.
Dewan pers tambahnya akan mengambil langkah hukum dengan mengajukan peninjauan kembali terhadap undang-undang tersebut ke Mahkamah Konstitusi.
"Kalau check and balances benar-benar timpang karena adanya ancaman seperti ini dan nanti semua pekerja pers akan takut-takut dalam berekspresi, dalam menghasilkan produk jurnalistik yang berkualitas. Tentu saja ini akan menimbulkan pergolakan, perlawanan akhirnya kita kayak sepeti zaman orde baru," tambah Jimmy.
Panitia kerja revisi KUHP DPR batal mengajukan rancangan beleid tersebut untuk disahkan dalam rapat paripurna 12 Februari lalu. Ketua DPR Bambang Soesatyo mengatakan sesuai rapat di Badan Musyawarah, parlemen akan melanjutkan pembahasan draft revisi KUHP pada masa sidang selanjutnya.
Ditemui secara terpisah, Anggota Panja R-KUHP Arsul Sani menegaskan tidak ada niat DPR untuk membungkam kebebasan pers. DPR tambahnya tetap mempersilahkan pers mengkritik parlemen dan pemerintah sepanjang sesuai dengan kaidah jurnalistik.
"Ajukan saja menurut saya ke komisi III RDPU tetapi ketika datang jangan dalam bentuk perspektif atau wacana dan jangan memposisikan diri kami tidak mau ada pasal ini jangan seperti itu. Yang dipergunakan adalah pak kalau pasalnya seperti itu kami terancam oleh karena itu kami usulkan alternatif seperti ini, gitu. Kami terima," ujarnya.
Ketua Federasi Serikat Pekerja Media Independen Sasmito mengatakan akan mengirim surat permintaan audiensi pada awal Maret, dan menyerukan pers untuk memantau aktif pasal-pasal yang berpotensi menghalangi kerja jurnalistik. Pasal-pasal yang dikhawatirkan itu antara lain mengenai penyebaran berita bohong dan berita tidak pasti, beleid mengenai gangguan dan penyesatan proses pengadilan serta membuat, mengumpulkan, menyimpan, membuka rahasia negara dan pembocoran rahasia negara.
Sasmito mencotohkan bagaimana seseorang dapat divonis penjara hingga lima tahun bila mempublikasikan segala sesuatu yang menimbulkan hal yang mempengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan. [fw/em]