Tautan-tautan Akses

Isu Iklim

Sekjen PBB: Air Laut Naik, Penderitaan Meningkat

Sekretaris Jendral PBB Antonio Guterres menyampaikan pidato dalam sidang tahunan Majelis Umum PBB ke-79 di markas PBB di New York, pada 24 September 2024. (Foto: AP/Julia Demaree Nikhinson)
Sekretaris Jendral PBB Antonio Guterres menyampaikan pidato dalam sidang tahunan Majelis Umum PBB ke-79 di markas PBB di New York, pada 24 September 2024. (Foto: AP/Julia Demaree Nikhinson)

Sekretaris Jendral PBB Antonio Guterres memperingatkan pada Rabu (25/9), bahwa naiknya permukaan air laut menciptakan “gelombang penderitaan yang meningkat,” di saat sebuah koalisi negara-negara pulau kecil menyatakan, bahwa kedaulatan mereka harus dihormati, bahkan jika tanah mereka hilang.

Hampir satu miliar orang di seluruh dunia tinggal di pesisir dataran rendah, yang semakin rentan terhadap gelombang badai, erosi pantai, dan banjir. Sementara pulau-pulau di Pasifik menghadapi ancaman yang semakin besar, terhadap kelangsungan ekonomi dan bahkan eksistensi mereka.

Sejak awal abad ke-20, permukaan air laut global rata-rata telah naik lebih cepat daripada abad sebelumnya selama setidaknya 3.000 tahun terakhir. Ini merupakan dampak langsung dari pemanasan global, yang disebabkan manusia, yang memicu pencairan es di daratan dan pemuaian termal air laut.

“Naiknya permukaan air laut berarti naiknya gelombang penderitaan,” kata Guterres, saat berpidato di KTT yang menempatkan bahasan terkait kenaikan permukaan air laut sebagai topik utama, di Majelis Umum PBB.

Selama seabad terakhir, ketika suhu global meningkat sekitar satu derajat Celsius, permukaan laut naik 160 hingga 210 milimeter, dengan sekitar setengah dari jumlah tersebut terjadi sejak 1993, menurut NASA.

Menurut sebuah studi yang dikutip oleh Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim PBB, lima negara yaitu Maladewa, Tuvalu, Kepulauan Marshall, Nauru, dan Kiribati, mungkin tidak dapat dihuni lagi pada 2100, yang akan menciptakan 600 ribu pengungsi iklim tanpa kewarganegaraan.

Guterres memperingatkan tentang “masyarakat yang terendam banjir, air tawar yang terkontaminasi, tanaman pangan yang hancur, infrastruktur yang rusak, keanekaragaman hayati yang hancur, dan ekonomi yang hancur, dengan sektor-sektor seperti perikanan, pertanian, dan pariwisata yang terpukul”.

Dampak-dampak ini sudah terasa, katanya, merujuk pada ratusan keluarga di sebuah pulau di Panama, yang terpaksa pindah ke daratan utama, dan orang-orang di Saint Louis, Senegal, yang meninggalkan rumah, sekolah, bisnis, dan masjid mereka karena gelombang pasang yang mendekat.

Feleti Teo, perdana menteri Tuvalu, negara kecil di kepulauan Pasifik, menambahkan bahwa naiknya permukaan air laut menimbulkan “ancaman eksistensial bagi ekonomi, budaya, dan warisan mereka, serta bagi tanah yang telah memelihara nenek moyang mereka selama berabad-abad.”

Banjir telah meningkatkan salinitas tanah, mengurangi hasil panen, dan melemahkan pepohonan. Infrastruktur seperti jalan dan kabel listrik telah hanyut. “Tidak ada tanah yang lebih tinggi untuk membangun kembali,” katanya.

Negara-negara di dataran rendah berusaha untuk “menegaskan bahwa status kenegaraan tidak dapat diganggu gugat dalam keadaan apa pun akibat naiknya permukaan air laut,” dan bahwa zona maritim 200 mil laut mereka tetap utuh meskipun daratannya berkurang.

Negara-negara kepulauan juga mendorong perlindungan hukum untuk melindungi hak asasi manusia dari orang-orang yang mengungsi secara paksa, memastikan dukungan finansial untuk upaya adaptasi, dan membangun program yang melestarikan budaya mereka.

“Sejak 1989, kami telah membunyikan peringatan tentang krisis iklim dan kenaikan permukaan laut sambil menghadapi dampaknya yang menghancurkan,” tambah Perdana Menteri Samoa, Fiame Naomi Mata'afa dalam sebuah pernyataan.

“Melalui semua itu, kami tetap teguh, negara, zona maritim, dan hak kami tetap utuh di bawah hukum internasional, tidak peduli naiknya permukaan laut: kami di sini untuk tetap tinggal,” tambahnya.

Guterres mendesak negara-negara untuk berkomitmen pada target iklim baru yang ambisius, untuk menjaga pemanasan global 1,5 derajat Celsius, khususnya negara-negara G20, yang bertanggung jawab atas 80 persen emisi global.

“Kita tidak bisa membiarkan harapan dan aspirasi miliaran orang mati di air,” kata dia. [ns/uh]

See all News Updates of the Day

Akibat Krisis Iklim, Beruang Kutub Utara Mengurus dan Sulit Berkembang Biak

Seekor beruang kutub jantan sedang memakan sepotong daging di pinggiran Teluk Hudson, Kanada, 23 Agustus 2010. Perubahan iklim mengakibatkan es laut menyusut memaksa beruang kutubmengu bah pola makan, menurut sebuah terbaru 2024. (Foto: The Canadian Press via AP)
Seekor beruang kutub jantan sedang memakan sepotong daging di pinggiran Teluk Hudson, Kanada, 23 Agustus 2010. Perubahan iklim mengakibatkan es laut menyusut memaksa beruang kutubmengu bah pola makan, menurut sebuah terbaru 2024. (Foto: The Canadian Press via AP)

Kadar lemak pada tubuh beruang kutub terdeteksi makin menurun karena es laut mencair lebih cepat, mengurangi pasokan makanan tinggi lemak bagi hewan tersebut.

Mencari beruang kutub di tempat Sungai Churchill bermuara di Teluk Hudson yang luas di Kanada, ahli biologi Geoff York memperhatikan wilayah di mana satwa-satwanya mengalami penurunan kadar lemak dan ketebalan lapisan es berkurang akibat perubahan iklim.

Dan saat ini, jumlah beruang kutub terdeteksi makin berkurang.

Sekarang ada sekitar 600 beruang kutub di Teluk Hudson Barat, salah satu dari 20 lokasi populasi hewan berbulu putih yang paling terancam tersebut.

Menurut York, direktur senior penelitian dan kebijakan di Polar Bears International, jumlah itu sekitar setengah dari jumlah 40 tahun lalu.

Studi terbarunya dengan tim ilmuwan dari berbagai bidang, menunjukkan bahwa jika dunia tidak mengurangi lebih banyak emisi gas yang memerangkap panas, "kita bisa kehilangan populasi ini seluruhnya pada akhir abad ini," katanya.

Bukan hanya sekadar beruang kutub yang terancam di gerbang kutub utara yang mulai berubah ini. Awal tahun ini, air yang lebih hangat mencairkan es laut dan lautan terbuka bertahan lebih lama. Bagi yang tumbuh, hidup, dan terutama makan di wilayah ini, perubahan itu terasa seperti fondasi rumah yang bergeser.

"Seluruh ekosistem laut terikat pada musim lapisan es laut itu," kata ilmuwan es laut Universitas Manitoba Julienne Stroeve.

Para ilmuwan mengatakan ketika lapisan es di atas permukaan laut mencair lebih awal, hal itu akan menghangatkan suhu air secara keseluruhan dan mengubah pertumbuhan alga, yang mengubah plankton yang memakan alga, yang mengubah ikan, hingga ke rantai makanan setingkat paus beluga, anjing laut, dan beruang kutub.

"Yang kita lihat adalah transformasi ekosistem kutub utara menjadi lebih seperti lautan terbuka di selatan," kata York pada Agustus dari tepi perahu Zodiac sepanjang 12 kaki.

"Kita melihat transformasi dari plankton berlemak tinggi yang mengarah ke hal-hal seperti paus beluga dan beruang kutub menjadi plankton berlemak rendah yang berakhir dengan bagian terakhir dari rantai makanan adalah ubur-ubur."

Di sini, lemak itu baik.

“Untuk hidup di Kutub Utara, anda harus gemuk, atau hidup dengan memiliki cadangan lemak, atau keduanya.” kata Kristin Laidre, ilmuwan mamalia laut dari University of Washington yang mengkhususkan diri pada spesies Kutub Utara.

Beruang kutub — simbol perubahan iklim dan wilayah yang memanas empat kali lebih cepat daripada bagian dunia lainnya — adalah raja lemak. Ketika induk beruang kutub menyusui anaknya, seperti yang disaksikan tim Associated Press di bebatuan di luar Churchill, Manitoba, ibu kota beruang kutub di dunia — air susu yang keluar mengandung 30 persen lemak, kata York.

"Jika anda membayangkan krim kocok kental yang paling berat, rasanya seperti meminumnya," kata York. "Itulah sebabnya anak beruang yang lahir seukuran kepalan tangan saya pada bulan Januari dapat tumbuh hingga mencapai berat 20 hingga 25 pon pada Maret."

Seorang pria sedang memperhatikan kemungkinan kemunculan beruang kutub di dekat Teluk Hudson, di Churchill, Manitoba, Kanada, 3 Agustus 2024. (Foto: Joshua A. Bickel/AP Photo)
Seorang pria sedang memperhatikan kemungkinan kemunculan beruang kutub di dekat Teluk Hudson, di Churchill, Manitoba, Kanada, 3 Agustus 2024. (Foto: Joshua A. Bickel/AP Photo)

York mengatakan jumlah anak beruang yang lahir atau bertahan hidup pada tahun pertama semakin sedikit karena induknya tidak cukup gemuk ataupun kuat untuk hamil.

Beruang kutub mencari makan dengan lahap di musim semi yang tertutup es. Mereka menggunakan bongkahan es laut sebagai pangkalan untuk memburu mangsa favorit mereka, anjing laut berlemak tinggi, terutama anjing laut muda.

Di Teluk Hudson, tidak seperti daerah lain tempat tinggal beruang kutub, es laut secara alami menghilang di musim panas. Jadi beruang kutub kehilangan pasokan makanan mereka. Hal ini selalu terjadi, tetapi sekarang terjadi lebih awal pada setiap tahun dan daerah bebas es bertahan lebih lama, kata York dan Stroeve.

Jadi, sebagian besar beruang kutub kelaparan. Penelitian terkini menunjukkan bahwa mereka berburu di darat dan memangsa rusa kutub atau karibu, burung, bahkan sampah manusia. Hal ini tentunya membutuhkan begitu banyak energi sehingga beruang yang berburu makanan di darat tidak mendapat asupan kalori lebih banyak dibanding beruang yang hanya duduk dan kelaparan.

"Di Teluk Hudson, kami tahu dari penelitian jangka panjang bahwa beruang saat ini menghabiskan waktu hingga satu bulan lebih lama di pantai daripada induk atau kakek nenek mereka. Itu berarti 30 hari lebih lama tanpa akses ke makanan, dan itu rata-rata," kata York.

Beberapa tahun beruang mendekati ambang batas kelaparan selama 180 hari. Beruang kutub dapat berpuasa kurang dari itu dan tetap sehat, terutama karena mereka sangat pandai mengumpulkan dan menyimpan lemak untuk periode sulit ini, kata York. Selama periode sulit itu, para peneliti yang memantau beruang menemukan bahwa 19 dari 20 beruang kehilangan 47 pon atau sekitar 21,3 kilogram hanya dalam tiga minggu. Angka ini berkisar 7 persen dari berat badan mereka.

Es laut di Kutub Utara telah menyusut sekitar 13 persen per dekade, turun dalam bentuk anak tangga dan dataran tinggi sejak 1979, menurut Pusat Data Salju dan Es Nasional. Sementara es laut Kutub Utara mencapai luasan terendah keempat yang pernah tercatat pada akhir Agustus, di Teluk Hudson Barat angin yang tidak biasa menyebabkan es bertahan lebih lama dari biasanya, tetapi ini merupakan jeda sementara dan sangat terbatas.

Sebuah studi yang juga ditinjau oleh beberapa peneliti lainnya pada tahun ini dari Stroeve dan York mengamati tingkat es laut, ambang batas kelaparan 180 hari, dan simulasi iklim berdasarkan berbagai tingkat polusi karbon. Para peneliti menemukan bahwa begitu Bumi menghangat 1,3 atau 1,4 derajat Celsius (2,3 hingga 2,5 derajat Fahrenheit) dari sekarang, beruang kutub kemungkinan akan melewati titik yang tidak dapat kembali itu. Beruang akan menjadi sangat lapar dan populasi ini kemungkinan akan punah.

Sebuah bongkahan es mengambang dekat Pulau Bylot di Kepulauan Arktika Kanada, 24 Juli 2017. (Foto: David Goldman/AP Photo)
Sebuah bongkahan es mengambang dekat Pulau Bylot di Kepulauan Arktika Kanada, 24 Juli 2017. (Foto: David Goldman/AP Photo)

Beberapa penelitian, termasuk yang dilakukan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang mengkaji upaya saat ini untuk mengekang emisi karbon dioksida memproyeksikan pemanasan sekitar 1,5 derajat hingga 1,7 derajat Celsius (2,7 hingga 3,1 derajat Fahrenheit) mulai sekarang pada akhir abad ini.

“Populasi beruang kutub itu pasti tidak akan mampu melaluinya,” kata Stroeve.

Ada sekitar 4.500 beruang kutub di tiga populasi Teluk Hudson dan sekitar 55.000 paus beluga. Secara keseluruhan, itu berarti lebih dari 141 juta pon (64 ribu ton) mamalia besar yang gemuk. Itu tampak besar, tetapi binatang putih itu kalah dalam pertarungan melawan beban yang lebih besar lagi: jumlah karbon dioksida yang memerangkap panas yang dimuntahkan dunia ke udara. Itu berarti 154 juta pon atau sekitar 70 ribu ton karbon dioksida setiap menitnya.

Bukan hanya beruang kutub.

Laidre dari Universitas Washington mengatakan beberapa ilmuwan berpendapat bahwa zooplankton air terkecil yang disebut kopepoda adalah hewan terpenting di Kutub Utara. Mereka punya kadar lemak tinggi dan merupakan makanan pokok bagi paus kepala busur.

Namun kopepoda hidup pada plankton tanaman yang lebih kecil yang mengalami perubahan. Waktu ketika kopepoda dapat berkembang biak berubah dan spesies baru masuk, "dan mereka tidak lagi kaya akan lipid," kata Laidre.

"Bukan berarti tidak ada kehidupan di luar sana," kata York sambil memandang Teluk. "Makhluk-makhluk yang hidup di Utara berubah dan tampak lebih mirip dengan Selatan."

Apa yang terjadi di Teluk Hudson merupakan sebuah pratinjau dari apa yang akan terjadi di wilayah utara, kata Stroeve.

Seorang ilmuwan es, Stroeve mengatakan ada sesuatu tentang beruang kutub yang begitu istimewa.

"Melihat mereka, melihat hewan hidup di lingkungan yang keras membuat saya sangat senang," kata Stroeve. "Dan entah bagaimana mereka bisa bertahan hidup. Dan apakah kita akan membuat mereka tidak bisa lagi bertahan hidup? Itu membuat saya sedih.'' [rz/ft]

Dari Karimunjawa Hingga Uganda, Aktivis Lingkungan Bertaruh Nyawa

Aktivis lingkungan Indonesia, Daniel Frits Maurits Tangkilisan, berbicara selama wawancara dengan AFP di Jakarta, 2 September 2024 lalu.
Aktivis lingkungan Indonesia, Daniel Frits Maurits Tangkilisan, berbicara selama wawancara dengan AFP di Jakarta, 2 September 2024 lalu.

Hampir 200 aktivis lingkungan terbunuh tahun lalu, dengan korban terbanyak ada di Amerika Selatan, menurut kelompok HAM, Global Witness.

Ini adalah kisah tiga pengkampanye lingkungan yang menghadapi kekerasan dan represi, menghentikan tambang emas liar di Ekuador, budidaya udang ilegal di Karimunjawa, dan proyek minyak kontroversial di Uganda.

Daniel Frits Maurits Tangkilisan pernah diserang, ditangkap dan dituntut di pengadilan karena aktivitasnya untuk melindungi taman nasional. Namun dia tidak pernah mau tunduk.

“Leher dan pundak saya enggak enak selama beberapa hari. Tapi syukurlah tidak lebih dari itu, intimidasi terhadap saya juga ada lewat Whatsapp atau media sosial, tapi enggak sampai nyawa. Yang dapat ancaman nyawa itu teman-teman saya,” kata Daniel.

“Kenapa harus takut? Kenapa harus menyerah? Rumahmu harus dipertahankan,” kata pria berumur 51 tahun itu ketika ditemui di Jakarta. Dia sedang menunggu putusan pengadilan terbaru untuk kasus terhadapnya.

Lahir dan dibesarkan di ibu kota, Daniel “jatuh cinta pada pandangan pertama” dengan Karimunjawa, pulau terpencil di Laut Jawa yang masuk sebagai Taman Nasional. Dia datang pertama kali pada 2011 dan kemudian menetap di sana.

Aktivis Greenpeace menulis Coral not Coal di lambung tongkang batubara di Karimunjawa. (Foto: Greenpeace Indonesia)
Aktivis Greenpeace menulis Coral not Coal di lambung tongkang batubara di Karimunjawa. (Foto: Greenpeace Indonesia)

Karimunjawa ada di sebelah utara wilayah Jawa Tengah, tidak jauh dari kota Jepara.

Daniel mulai mengamati meningkatnya dampak buruk tambak udang ilegal, yang mulai marak sekitar 2017.

Air limbah dari tambak ini membunuh rumput laut dan memaksa kehidupan air untuk berpindah menjauh dari pantai, yang berdampak lanjutan terhadap penghidupan komunitas nelayan, kata dia.

Pada 2022, Daniel mendukung dimulainya gerakan #SaveKarimunjawa, yang mendorong aturan tata ruang daerah melarang tambak udang.

Namun, aktivismenya membuat Daniel menjadi target, dia diancam, diserang dan bahkan dicekik, dan teman-temannya sesama aktivis lingkungan menerima ancaman pembunuhan.

“Perasaan saya ya enggak enak. Siapa yang suka diintimidasi. Tapi saya sadar ini bagian dari perjuangan. Ini salah satu harga yang harus dibayar. Kalau mundur, itu artinya, kamu tinggal say goodbye kepada masa depanmu,” kata Daniel.

Dia ditangkap pada Desember 2023 atas dakwaan ujaran kebencian dari sebuah unggahan di Facebook yang mengkritik tambak udang ilegal.

Kawasan terumbu karang di Taman Nasional Karimunjawa (Foto: Greenpeace Indonesia)
Kawasan terumbu karang di Taman Nasional Karimunjawa (Foto: Greenpeace Indonesia)

Pengadilan Negeri memvonisnya pada April lalu dengan hukuman penjara tujuh bulan.

Keputusan itu dibatalkan dalam proses banding di Pengadilan Tinggi, tetapi jakwa membawa kasus itu melalui banding ke Mahkamah Agung. Jaksa bersikukuh bahwa Daniel tidak seharusnya disebut sebagai aktivis lingkungan.

Aktivitasnya telah menuai hasil, di mana pemerintah dalam beberapa waktu terakhir melakukan inspeksi dan mengharuskan penutupan sejumlah tambak udang ilegal.

“Kita punya tanggung jawab untuk anak-anak, cucu dan generasi mendatang,” ujar dia.

“Saya mengajak orang-orang untuk bermimpi tentang Karimunjawa yang jauh lebih baik, suatu ekosistem hidup, di ruang hidup, rumah hidup ini, yang alamnya menyokong kehidupan disana, menyokong budaya, dan masyarakatnya punya pendidikan dan budaya yang bagus, untuk menyokong alamnya,” tandas Daniel.

Neraka di Dunia

Abdulaziz Bweete tumbuh di Kawempe, sebuah kota kumuh di ibu kota Uganda, Kampala, dan melihat langsung dampak buruk perubahan lingkungan pada masyarakat miskin.

“Saya tumbuh besar dengan melihat banjir di sekitar, tetapi saya tidak tertarik dengan apa yang menyebabkan banjir," katanya kepada AFP.

Butuh dua hal untuk membangkitkan semangat pria berusia 26 tahun itu: kuliah, dan melihat respons pemerintah Uganda terhadap protes perubahan iklim.

Bweete merupakan bagian dari sekelompok aktivis mahasiswa yang menggelar aksi di parlemen pada Juli, dengan petisi yang menentang proyek minyak bernilai miliaran dolar yang menurut para aktivis, akan berdampak buruk pada lingkungan yang rapuh.

Aktivis Uganda Abdulaziz Bweete, 26 tahun, mahasiswa tahun pertama jurusan Pengembangan Komunitas dan Keadilan Sosial di Universitas Kyambogo.
Aktivis Uganda Abdulaziz Bweete, 26 tahun, mahasiswa tahun pertama jurusan Pengembangan Komunitas dan Keadilan Sosial di Universitas Kyambogo.

Dia dan beberapa aktivis muda lainnya ditangkap, didakwa dengan penyelenggaraan aksi ilegal, dan ditahan di penjara keamanan maksimum Luzira di Kampala hingga Agustus.

Dia mengatakan kepada AFP bahwa dia dan sesama pengunjuk rasa dipukuli oleh polisi.

Para aktivis tersebut sebelumnya dipenjara dan ditangkap setelah unjuk rasa di ibu kota.

“Tentu saja kami menghadapi banyak tantangan. Saya pernah masuk penjara, saya pernah beradu mulut, atau kami pernah berselisih paham dengan universitas ini, dengan kepala keamanan, karena kami telah membuat beberapa kegiatan di kampus, di mana kami telah melakukan sosialisasi untuk meningkatkan kesadaran, dan memobilisasi mahasiswa untuk menjadi bagian dari seruan ini,” kata Bweete.

“Yang bisa saya katakan, penjara adalah neraka di bumi,” katanya.

“Kami tidak memiliki kebebasan berunjuk rasa di negara ini,” kata Bweete lagi, sambil melihat sekeliling dengan gugup di lingkungan kampus Universitas Kyambogo yang asri.

Demonstrasi di Uganda, negara yang dipimpin dengan tangan besi oleh Presiden Yoweri Museveni selama empat dekade, sering kali ditanggapi dengan tindakan keras oleh polisi.

Bweete mengatakan politik dan perubahan iklim berjalan beriringan.

“Jika kita memiliki pemimpin yang baik, kita dapat memiliki kebijakan iklim yang baik. Ini adalah perjuangan yang panjang, tetapi kami bertekad untuk menang,” tegasnya.

Dari Karimunjawa Hingga Uganda, Aktivis Lingkungan Bertaruh Nyawa
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:05:17 0:00

Mempertahankan Kehidupan

Alex Lucitante, seorang tokoh masyarakat pribumi Cofan, di perbatasan antara Ekuador dan Kolombia, menciptakan kemenangan hukum bersejarah pada 2018, atas perusahaan pertambangan di Amazon. Dia berhasil menggagalkan 52 konsesi tambang emas.

Aktivitas itu membantunya memenangkan penghargaan lingkungan Goldman, yang sering disebut sebagai Nobel bagi pembela lingkungan, dua tahun lalu.

“Ancaman terus bertambah setiap hari. Ancaman dari kegiatan ekstraktif terus bertambah, dalam hal ini pertambangan, dan juga dari kepentingan pemerintah untuk menggandakan eksploitasi minyak. Kami sebagai masyarakat adat hidup dari wilayah ini,” kata dia.

Meskipun telah menyiapkan sistem patroli dan bahkan pengawasan pesawat nirawak, hal itu tidak menghentikan para penambang emas untuk melanggar wilayah adat mereka.

Alex Lucitante, dari kelompok etnis asli Cofan, berpose untuk difoto di desa Avie, di Lago Agrio, Provinsi Sucumbíos, wilayah Amazon, Ekuador (foto: dok).
Alex Lucitante, dari kelompok etnis asli Cofan, berpose untuk difoto di desa Avie, di Lago Agrio, Provinsi Sucumbíos, wilayah Amazon, Ekuador (foto: dok).

“Kerusakan masih terjadi di seluruh tanah kami, dan ancamannya semakin kuat,” katanya kepada AFP, menceritakan tentang penambangan ilegal, penggundulan hutan, dan ancaman dari kelompok bersenjata.

“Saat ini, situasinya sangat kritis di wilayah kami,” tambah dia.

Dia juga mengatakan, bahwa semua aktivitas merusak alam ini terjadi di depan mata dan dengan sepengetahuan pihak berwenang, yang terkadang, tambah Lucitante, terkait dengan pelaku ilegal yang beroperasi di wilayah tersebut.

Aktivis lingkungan itu telah mendesak para pemimpin global untuk mendengarkan “suara masyarakat Pribumi” dan mendengar permohonan mereka untuk “mempertahankan kehidupan”. [ns/jm]

California Gugat Exxon Atas Polusi Plastik Global 

Jaksa Agung California Rob Bonta mengumumkan gugatan hukum terhadap ExxonMobil terkait dugaan keterlibatan perusahaan tersebut dalam menyebabkan polusi sampah plastik dunia, dalam konferensi pers di Kota New York, pada 23 September 2024. (Foto: Reuters/Shannon Stapleton)
Jaksa Agung California Rob Bonta mengumumkan gugatan hukum terhadap ExxonMobil terkait dugaan keterlibatan perusahaan tersebut dalam menyebabkan polusi sampah plastik dunia, dalam konferensi pers di Kota New York, pada 23 September 2024. (Foto: Reuters/Shannon Stapleton)

California dan beberapa kelompok lingkungan hidup, pada Senin (23/9), menggugat Exxon Mobil dan menuduh raksasa minyak tersebut terlibat dalam kegiatan selama puluhan tahun yang membantu memicu polusi sampah plastik global.

Berbicara pada acara Climate Week di New York City, Jaksa Agung California Rob Bonta mengatakan negara bagian tersebut menggugat Exxon setelah menyelesaikan penyelidikan selama hampir dua tahun yang menurutnya menunjukkan bahwa Exxon sengaja menyesatkan masyarakat tentang batasan daur ulang.

"Gugatan hari ini menunjukkan gambaran lengkap penipuan ExxonMobil selama puluhan tahun, dan kami meminta pengadilan untuk meminta pertanggungjawaban ExxonMobil sepenuhnya atas perannya dalam secara aktif menciptakan dan memperburuk krisis polusi plastik melalui kampanye penipuannya," kata Bonta dalam sebuah pernyataan.

Investigasi tersebut menyerupai penyelidikan California sebelumnya terhadap dugaan upaya industri minyak untuk menyesatkan masyarakat tentang perubahan iklim, yang juga digugat oleh negara bagian tersebut. Penyelidikan itu meneruskan permusuhan yang telah lama berlangsung antara negara bagian California dengan perusahaan besar minyak.

California, yang pernah menjadi pemasok minyak mentah utama, terus mengalami penurunan produksi minyak selama hampir empat dekade, dan perusahaan-perusahaan mengatakan bahwa kondisi peraturan di negara bagian tersebut menjadikan California tempat yang sulit untuk berinvestasi.

Saingan Exxon, Chevron Corp., yang merupakan pengecam keras kebijakan California, mengatakan tahun ini pihaknya berencana memindahkan kantor pusatnya dari negara bagian tempat perusahaan itu didirikan ke Texas yang ramah minyak.

Sebuah koalisi kelompok lingkungan hidup termasuk Sierra Club juga ikut bergabung dalam pertarungan hukum di California. Mereka mengajukan gugatan terkait di pengadilan negara bagian yang sama di San Francisco, meningkatkan tuduhan serupa terhadap Exxon.

Bonta, seorang Demokrat, mengatakan kantornya secara khusus telah mencari informasi tentang promosi Exxon mengenai teknologi "daur ulang canggih", yang menggunakan proses yang disebut pirolisis untuk mengubah plastik yang sulit didaur ulang menjadi bahan bakar.

Dia mengatakan lambatnya kemajuan teknologi tersebut merupakan tanda berlanjutnya penipuan Exxon. Dia mengatakan dia ingin mendapatkan dana pengurangan dan hukuman perdata atas kerugian yang ditimbulkan oleh polusi plastik di California.

Fasilitas pengilangan minyak Exxon di yang terletak di Torrance, California, dalam foto yang diambil pada 30 Januari 2012. (Foto: AP/Reed Saxon)
Fasilitas pengilangan minyak Exxon di yang terletak di Torrance, California, dalam foto yang diambil pada 30 Januari 2012. (Foto: AP/Reed Saxon)

Exxon menolak tuduhan jaksa agung tersebut, dengan alasan bahwa solusi seperti daur ulang tingkat lanjut berhasil.

"Menuntut sejumlah pihak dapat menjadi berita utama namun tidak menyelesaikan masalah sampah plastik. Daur ulang tingkat lanjut adalah solusi yang sebenarnya," kata juru bicara ExxonMobil, seraya menambahkan bahwa California "tidak melakukan apa pun untuk 'memajukan' daur ulang."

Profesor Bruce Huber dari Fakultas Hukum Universitas Notre Dame, yang khusus memperlajari hukum lingkungan, mengatakan California mungkin akan menghadapi "perjuangan berat" dengan gugatannya.

"Klaim utama negara bagian itu berkaitan dengan gangguan publik, bidang hukum yang terkenal tidak jelas. Mungkin sulit bagi pengadilan untuk memberikan bantuan bagi California di sini tanpa membuka kotak pandora untuk klaim serupa lainnya," katanya.

Exxon adalah produsen resin terbesar di dunia yang digunakan untuk plastik sekali pakai, menurut laporan yang diterbitkan tahun lalu oleh Minderoo Foundation, bekerja sama dengan konsultan Wood Mackenzie dan Carbon Trust.

Kantor berita Reuters telah melaporkan hambatan besar yang dihadapi daur ulang canggih yang digembar-gemborkan industri plastik sebagai penyelamat lingkungan.

Gugatan California itu diajukan menjelang putaran final perundingan perjanjian plastik global yang akan berlangsung di Busan, Korea Selatan, pada akhir tahun ini.

Dalam perundingan tersebut, negara-negara terpecah mengenai apakah perjanjian itu harus meminta pembatasan produksi plastik, sebuah sikap yang ditentang oleh Exxon dan industri petrokimia global.

Amerika Serikat bulan lalu menyatakan mendukung perjanjian yang dirancang untuk mengurangi produksi plastik global.

Di sisi lain, kelompok lingkungan hidup memuji gugatan tersebut.

Christy Leavitt, direktur kampanye plastik Oceana, mengatakan gugatan California itu akan "meminta pertanggungjawaban industri dan menghilangkan narasi daur ulang plastik yang menghambat kita dalam memberikan solusi nyata." [my/lt]

Supaya Ngemil Tanpa Rasa Bersalah, Petani Inggris Buat Keripik Kentang dalam Kemasan Ramah Lingkungan

Piring berisi roti lapis dan keripik kentang di Miami, 7 Februari 2012. (Foto: AP/Wilfredo Lee, J Pat Carter)
Piring berisi roti lapis dan keripik kentang di Miami, 7 Februari 2012. (Foto: AP/Wilfredo Lee, J Pat Carter)

Pernahkah muncul rasa bersalah saat ngemil keripik kentang dalam kemasan plastik kecil? Miliaran bungkus keripik kentang dikonsumsi setiap tahun, sebagian besar kemasan tak dapat didaur ulang. Untuk mengurangi perasaan bersalah itu, para petani di Inggris kini memproduksi kemasan ramah lingkungan.

Keripik kentang adalah salah satu makanan ringan paling disukai di seluruh dunia. Menurut konsultan riset IMARC Group, pada 2023 lalu saja secara global, pasar keripik kentang bernilai $34,3 miliar.

Ironisnya kemasan untuk camilan yang ada di mana-mana ini secara tradisional dibuat dengan menggunakan plastik yang tidak dapat didaur ulang, yang membutuhkan waktu sekitar 80 tahun untuk terurai.

Namun, produsen keripik asal Inggris, Sean Mason, kini punya solusinya. Ia membuat kantong kemasan yang dapat menjadi kompos dalam waktu 26 minggu.

“Ini adalah film selulosa 100%. Ini adalah satu-satunya kemasan keripik yang dapat dikomposkan sepenuhnya. Kami membutuhkan waktu empat tahun untuk mengembangkan teknologi ini, dan sekarang telah memasuki generasi ketiga. Kami sedang mencoba generasi keempat sambil mencoba memperpanjang masa simpannya. Apa pun yang Anda lakukan dengan kemasan ini, kemasan ini akan terurai, ia akan larut kembali menjadi air, karbon dioksida, dan biomassa," papar Mason, yang juga salah seorang pendiri “Two Farmers”.

"Broquet" Ruffles yang hampir seluruhnya terbuat dari keripik kentang Ruffles dipajang di New York. (Foto: Diane Bondareff/Invision for Ruffles/AP Images)
"Broquet" Ruffles yang hampir seluruhnya terbuat dari keripik kentang Ruffles dipajang di New York. (Foto: Diane Bondareff/Invision for Ruffles/AP Images)

Perjalanan Keripik Kentang dari Hulu ke Hilir di Satu Lokasi Pertanian

Paket keripik yang dapat dikomposkan sepenuhnya ini adalah salah satu dari beberapa langkah yang diambil oleh pertanian untuk mengadopsi pendekatan produksi pangan yang sangat berkelanjutan. Untuk mencapai hal tersebut, perjalanan keripik kentang dimulai dan berakhir di pertanian tempat kentang ditanam, disimpan, dimasak, dan dikemas. Dengan demikian petani yang memiliki kendali penuh atas setiap tahap dalam prosesnya.

Varietas kentang Lady Claire, Lady Rosetta, dan Taurus ditanam di lahan milik Mason, yang dapat menghasilkan 500 ton kentang. Setelah dipanen, kentang dimuat ke trailer yang mengangkutnya ke fasilitas pemrosesan kentang di lokasi pertanian.

Mark Green, yang ikut mendirikan keripik merek “Two Farmers” bersama Sean Mason, adalah petani generasi kedua yang ingin memproduksi keripik dari kentang yang ia tanam.

"Kami menanam banyak tanaman di pertanian kami. Kentang, sereal, bit, dan tanaman energi. Yang kami coba lakukan adalah menanam semua tanaman ini secara intensif dan pada saat bersamaan memulai teknologi pertanian yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Jadi, sejak awal tahun 2000-an kami telah memperhatikan tanah dan tanaman kami dan bagaimana dapat menyatukan keduanya untuk menciptakan pertanian berkelanjutan dengan tanaman kentang intensif seperti yang ada di sini," jelasnya.

Setelah kentang diangkut kembali ke pertanian, mesin dan pasukan kecil operasi menghilangkan bebatuan puing yang mungkin ada di dalamnya. Kentang kemudian dicuci dan disimpan di fasilitas penyimpanan berpendingin besar yang siap digunakan.

Di tempat lain di peternakan itu terdapat suatu bangun berbentuk kubah raksasa, yang disebut pabrik pencernaan anaerobik, atau disebut “mechanical cow.” Proses ini mengambil produk limbah dari tempat lain di pertanian untuk dijadikan pupuk bagi tanaman dan listrik yang menjalankan operasi pertanian.

"Setiap limbah yang kami hasilkan di peternakan, akan sampai ke sini. Akan tiba sisa jagung, limbah buah, rumput, sisa keripik dan limbah kentang dari pertanian. Semua akan dikumpulkan di pengumpan, lalu diarahkan ke tangki raksasa yang akan menjadi semacam pencerna anaerobik. Tangki ini akan menghasilkan materi padat dan cair yang sama-sama dapat digunakan sebagai pupuk tanaman di pertanian," kata Green.

Gas Metana yang Dihasilkan Pasok Listrik ke Pertanian

Selain itu, tambah Green, ada pula gas metana yang kemudian dialirkan ke mesin untuk menghasilkan listrik yang ikut memasok jaringan listrik di pertanian ini. Apa-apa yang tidak digunakan akan disalurkan ke jaringan listrik nasional. Pemanfaatan limbah seperti ini memungkinkan pertanian mengimbangi karbon dengan secara aktif menggunakan metana yang dihasilkan.

Campuran camilan asin dan keripik terlihat di atas meja di Market Square, Pittsburgh, 7 Februari 2012. (Foto: AP)
Campuran camilan asin dan keripik terlihat di atas meja di Market Square, Pittsburgh, 7 Februari 2012. (Foto: AP)

Fasilitas produksi makanan di perkebunan ini menjadi tempat masak keripik kentang, dan sepenuhnya dijalankan oleh listrik yang dihasilkan oleh pabrik pencerna anaerobic tadi. Kentang diiris, kemudian dimasukkan ke dalam salah satu dari dua mesin penggorengan berukuran industri, sebelum diarahkan ke ban berjalan untuk dibumbui dan dikemas. Kentang-kentang tersebut kemudian dipajang di rak-rak toko di seluruh Inggris, dan di seluruh Eropa. Sebungkus keripik “Two Farmers” dijual seharga £1.

Masih Perlu Komitmen Kuat

Louis Bedwell mengelola jaringan bisnis terbesar di Inggris yang fokus pada kerja sama dengan berbagai merek yang menerapkan strategi iklim. Ia mengatakan meskipun ambisi perusahaan seperti “Two Farmers” menawarkan optimisme baru bagi masa depan produksi pangan berkelanjutan di Inggris, masih diperlukan komitmen yang lebih luas dan sistemik atas praktik-praktik seperti ini.

“Industri makanan telah mengalami masa-masa sulit selama empat tahun terakhir. Kita telah mengalami pandemi, perang di Ukraina, inflasi yang sangat besar dalam biaya bahan baku, dan banyak lainnya. Saya pikir biaya adalah faktor yang sangat besar untuk mendorong bisnis ini bertransformasi dan bergerak menuju sesuatu yang ramah pada iklim. Saya pikir dalam beberapa tahun ke depan kita akan melihat keberlanjutan bisnis ini seiring dengan stabilnya pendapatan dan margin bisnis; tetapi untuk saat ini, perlu komitmen besar untuk tetap memprioritaskan teknologi seperti ini di tahun-tahun mendatang," ujarnya.

Kedua petani tersebut mengatakan mereka berada di jalur yang tepat untuk menjadi operasi yang sepenuhnya netral karbon pada 2025, seiring dengan misi mereka untuk produksi pangan yang berkelanjutan. [em/jm]

Tunjukkan lebih banyak

XS
SM
MD
LG