Berbicara di New Delhi, India, beberapa saat menjelang dibukanya KTT G20 hari Minggu 10/9), Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres memperingatkan “semakin meningkatnya perpecahan dan ketegangan, yang berkelindan dengan semakin terkikisnya kepercayaan, secara bersama-sama akan meningkatkan fragmentasi, konfrontasi dan krisis.”
Guterres menambahkan, “Dunia berada dalam momen transisi dan sulit” dan bahwa “masa depan bersifat multipolar, sementara lembaga-lembaga multilateral mencerminkan masa lalu.” Itu lah sebabnya, tegas Guterres, mengapa ia datang ke New Delhi. “Karena kita tidak bisa terus menerus seperti ini,” ujarya.
Guterres seakan mengulangi pernyataan serupa yang disampaikannya dalam KTT ASEAN-PBB di Jakarta pada Kamis (7/9). Konflik Myanmar, krisis di Laut China Selatan hingga krisis iklim, menjadi sorotan utamanya. Ia menyambut baik pendekatan berkelanjutan ASEAN, terutama dalam menerapkan lima poin konsensus.
“Saya menyambut baik pendekatan ASEAN terhadap lima poin konsensus, dan saya mendesak semua negara untuk tetap mencari strategi terbaik untuk membantu Myanmar,” katanya.
Guterres juga mengapresiasi upaya Indonesia saat menjadi Ketua ASEAN dan juga ASEAN itu sendiri untuk melibatkan semua pihak dalam menyelesaikan permasalahan ini dengan tetap mengedepankan ruang dialog politik. Pihaknya juga mendesak otoritas militer di Myanmar untuk mendengarkan aspirasi dari berbagai pihak dan membebaskan tahanan politik. Ia juga berharap negara itu kembali kepada pemerintahan yang demokratis.
Sementara terkait krisis iklim, Guterres mengatakan PBB telah menyerukan “pakta solidaritas iklim” yang melibatkan negara-negara penghasil emisi terbesar untuk melakukan upaya ekstra dalam mengurangi emisi gas rumah kaca, dan memobilisasi dari sisi keuangan dan teknis untuk mendukung negara-negara berkembang.
ASEAN Tetap Galang Kerja Sama Ekonomi
Pakar ASEAN dari LIPI Adriana Elisabeth mengatakan sejak ASEAN berdiri, isu politik keamanan memang selalu menonjol. Apalagi ASEAN selalu dibayangi oleh tarik menarik pengaruh dan kekuatan dua negara besar, yakni Amerika Serikat dan China. Meski begitu, ASEAN tetap berupaya meningkatkan kerja sama ekonomi di antara sesama negara anggota ASEAN dan negara mitra demi terciptanya kemakmuran di kawasan.
“Faktanya memang ekonominya berjalan, isu politik belum selesai. Jadi ASEAN akan terus seperti itu, tetapi sekali lagi walaupun kelihatannya banyak kesepakatan, tapi melihat ASEAN selama ini relatively akan seperti itu lagi, ya ekonominya yang saya khawatir agak susah terealisasi. Apalagi kita lihat sepertinya konflik negara besar cukup berdampak di ASEAN," ungkap Adriana.
"Misalnya kemudian terjadi ledakan besar persoalan Amerika dengan China, itu pasti akan berdampak ke ASEAN. Jadi itu yang saya bayangkan ke depannya bahwa ASEAN posisinya penting, tapi semakin challenging,” imbuhnya.
Terkait konflik Myanmar, ia memprediksi bahwa masalah ini tidak akan selesai di tangan keketuaan ASEAN selanjutnya, yaitu Laos. Dalam mengatasi konflik ini, menurut Adriana, ASEAN harus mengubah beberapa definisi yang selama ini menjadi pedoman ASEAN.
“Kalau misalnya ASEAN sudah cukup confident untuk meredifinisi beberapa hal yang selama ini menjadi kendala untuk internal ASEAN menurut saya lebih maju langkahnya. Tapi kalau seperti ini, hasilnya ya besok-besok akan sama saja," katanya.
"Apalagi kalau kepentingan masing-masing negara itu juga memang untuk mengembangkan ekonomi, investasi dan perdagangan yang punya kepentingan dekat dengan China seperti Myanmar dan Laos, menurut saya tidak akan mengintervensi. Selama ekonomi mereka aman tidak akan singgung soal politik keamanan,” tandas Adriana.
Greenpeace Indonesia: Seruan Saja Tidak Cukup!
Sementara itu Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Didit Haryo Wicaksono mengatakan semua pihak harus serius dalam mengatasi krisis iklim ini sehingga imbauan atau seruan saja tidak cukup. Menurutnya, hal ini harus menjadi sebuah kewajiban.
“Kami merasa ini seharusnya bukan lagi sebagai seruan, tapi sebaiknya menjadi kewajiban bagi negara penghasil emisi besar untuk bisa bertanggung jawab lebih besar dalam upaya mengurangi emisi, baik itu pendanaan maupun dukungan teknis,” kata Didit.
Didit menuturkan, harus terciptanya mekanisme pendanaan yang adil, yang bukan merupakan utang. Ia mencontohkan komitmen pendanaan transisi energi yang berasal dari komitmen negara-negara maju, seperti salah satunya Amerika Serikat, senilai $20 miliar dalam Just Energy Transition Partnership (JETP).
“Kalau kita lihat mekanisme JETP yang sudah berjalan di Afrika Selatan. Kurang dari empat persen dana tersebut yang bersifat hibah, selebihnya menggunakan skema utang,” tuturnya.
Jika pola pendanaan ini terus diterapkan, katanya, maka tanggung jawab mengurangi krisis ikilm hanya akan dibebankan kepada masyarakat dunia ketiga, dan bukan kepada negara yang justru berkontrobusi banyak dalam menghasilkan emisi.
“Mekanisme yang adil tentu harus mengedepankan kepentingan publik, di mana beban penanggulangan dampak krisis iklim ini seharusnya ditanggung oleh penghasil polusi (polluters) dan hal ini bisa dihitung dari besaran polusi yang mereka hasilkan dari bisnisnya,” tandasnya.
“Tapi bukan berarti mekanisme ini menjadi pembenaran perusahaan yang menghasilkan polusi tersebut beroperasi seperti biasa (tetap menghasilkan polusi), mereka juga harus bertransformasi dan melakukan transisi energi,” pungkasnya. [gi/em]
Forum