Seorang siswa kelas 4 sebuah sekolah dasar di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, menjadi korban bullying dari sembilan temannya, akhir bulan Juli lalu. Sembilan anak itu tergabung dalam sebuah kelompok kecil siswa perempuan dengan dipimpin anak berinisial F. Dalam pemeriksaan lebih lanjut, diketahui bahwa korban mengalami kekerasan dengan ditindih kursi, dipukul, dan ditusuk di bagian kemaluannya menggunakan penggaris. Penyebabnya, korban tidak mau menuruti perintah dari F selaku ketua geng anak-anak itu.
Seluruh pelaku dan korban kini berada dalam penanganan Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA) Kudus. Baik korban maupun pelaku utama dalam kejadian ini telah pindah sekolah. Lembaga ini memberikan konsultasi kepada kedua belah pihak, agar penanganan kasus ini dilakukan dari sudut pandang kepentingan anak-anak. Noor Haniah, Ketua JPPA Kudus kepada VOA menyatakan secara pribadi sangat terkejut dengan bentuk kenakalan anak yang menurutnya luar biasa. Namun, dia berprinsip baik korban maupun pelaku harus diselamatkan masa depannya.
“Memang kasus ini perlu penanganan yang serius. Ini pelakunya, F ini kan sudah dipindah sekolahnya, kalau dia belum diberikan terapi, nanti bisa jadi dia membuat kelompok lain, yang kita takutkan seperti itu. Terus teman-temannya satu kelompok yang ditinggalkan F, juga akan berani melakukan, artinya akan timbul banyak F yang lain. Maka kita harus perhatikan, bahkan mereka ini juga bisa menjadi korban. Begitu pula dengan korban, karena dendam bahkan dia berpotensi melakukan bully juga kelak,” ujar Noor Haniah.
JPPA Kudus setiap tahun menangani sekitar 60 kasus kekerasan menyangkut perempuan dan anak. Untuk kasus kekerasan di sekolah, kata Noor Haniah, kasusnya kadang tidak terungkap karena ditutupi oleh pihak-pihak terkait, dengan alasan menjaga keharmonisan dan tidak mengumbar aib. Penyadaran terus menerus dilakukan, untuk meyakinkan masyarakat, bahwa pembiaran terhadap perundungan akan melahirkan aksi kekerasan lanjutan.
“Semua tetap mengacu pada UU Perlindungan Anak dan UU Peradilan Anak. Tugas kami adalah pendampingan, untuk menjamin hak-hak anak. Yang jelas rantai kekerasan ini harus diputus. Kita kan dengar sendiri di daerah lain bahkan ada yang sampai korbannya meninggal, itu yang sangat kita takutkan kalau tidak ada penanganan serius,” ujar Noor Haniah.
Psikolog sekaligus aktivis gerakan antibullying, Riana Cahyani di Yogyakarta melihat, secara nasional Indonesia sudah menaruh perhatian terhadap tindakan semacam ini. Ada kurikulum antibully, ada gerakan nasional, dan bahkan penerapan kebijakan kota atau daerah yang ramah anak di seluruh tanah air. Tantangannya saat ini adalah menerapkan semua itu dalam kehidupan sehari-hari di sekolah. Guru-guru terutama harus dilatih untuk memahami apa itu bully, bentuk-bentuk dan cara pencegahan serta penanganannya. Daerah juga harus mempersiapkan bantuan psikolog di tingkat kecamatan, untuk memberikan konsultasi ke sekolah.
"Dalam sebuah kurikulum antibully ada tiga sasaran yang menjadi targetnya, yaitu korban, pelaku dan juga saksi matanya. Targetnya adalah agar korban tidak menjadi korban lagi, pelaku sadar bahwa perilakunya keliru, dan agar saksi mata punya kesadaran untuk menghentikan. Jadi tidak membiarkan aksi bully itu terjadi,” ujar Riana Cahyani.
Riana juga menulis buku Pencegahan dan Penanganan Bullying di Sekolah. Buku ini disusun berdasar pengalaman pengelolaan sekolah yang menerapkan kebijakan antibullying, setidaknya dalam 10 tahun terakhir.
Riana menambahkan, orang tua juga memiliki tanggung jawab untuk penghapusan bully melalui komite sekolah. Jika memang sekolah tidak melakukan gerakan yang cukup, orang tua dapat mendorong melalui pelatihan yang diinisiasi oleh para orang tua. Selain guru, para siswa juga harus dilibatkan langsung dalam pelatihan-pelatihan semacam ini.
“Memang bolanya sudah bergulir, tetapi belum begitu besar, belum menyentuh semua orang. Sekolah dan orang tua memang dituntut proaktif. Bisa mencari bantuan ke pihak-pihak yang selama ini mengampanyekan gerakan antibullying. Riset juga banyak, tetapi belum diformulasikan agar langsung bisa digunakan guru di sekolah. Nah, ini juga tantangan untuk kita semua,” kata Riana.
Pengamat pendidikan Universitas Negeri Jakarta, Jimmy Paat melihat, bully bukan kasus baru di Indonesia. Sejak duduk di bangku sekolah, Jimmy mengaku sudah melihat sendiri bagaimana aksi bully itu dilakukan. Misalnya ketika ada paksaan meminta uang dari satu siswa ke siswa lain, atau perintah untuk melakukan sesuatu dengan disertai ancaman. Sekolah-sekolah di Indonesia akrab dengan isu bully, dan tidak berhenti mencegahnya. Persoalannya, kini tantangannya lebih berat. Dulu guru bisa mendidik siswa dengan keras. Sekarang, banyak orang tua tidak bisa menerima ajaran kedisiplinan model lama seperti itu. Jadi, kata Jimmy Paat, yang harus dilakukan adalah menciptakan kondisi sekolah yang nyaman.
Tugas sekolah itu menciptakan zero kekerasan, itu yang disebut sebagai sekolah yang nyaman. Dan itu tidak mudah, saya yakin benar itu tidak mudah, dan itu bukan tugas satu guru saja, misalnya hanya guru konseling saja. Itu tugas semua guru. Saya masih di sekolah, saya bekerja di sekolah, saya yakin saya masih percaya bahwa sekolah pasti bisa. Kalau tidak, di dunia ini sudah tidak ada sekolah dan kita memang harus memberi kepercayaan kepada sekolah memang,” ujar Jimmy Paat.
Pada 2013, data Plan Indonesia dan International Center for Research on Women (ICRW) menunjukkan 84 persen anak di Indonesia mengalami kekerasan di sekolah, di tingkat Asia angkanya adalah 70 persen. Sementara itu, data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada 2012 menunjukkan 87,6 persen siswa mengaku pernah mengalami kekerasan di sekolah. Dari angka itu, 30 persen kekerasan dilakukan guru, 42 persen dilakukan teman sekelas dan 28 persen dilakukan oleh teman berbeda kelas. [ns/uh]