Tentu kita masih ingat sosok pahlawan R.A Kartini yang mendirikan “sakola istri” di zaman penjajahan untuk mendidik kaum hawa di tengah ketidakadilan yang membelenggu mereka. Hasilnya membuahkan pemikiran bahwa perempuan juga memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan.
Dengan spirit yang sama, Institusi KAPAL Perempuan mendirikan “Sekolah Perempuan” di desa-desa di berbagai pelosok Indonesia.
Direktur Institut KAPAL Perempuan Misiyah mengatakan forum sekolah perempuan hadir dengan metodologi pendidikan kritis yang menyasar kaum perempuan akar rumput di desa-desa di Indonesia. Sekolah ini sebuah modul pendidikan dengan silabus gender, pluralisme, kesehatan reproduksi dan seksualitas, pengorganisasian, dan juga advokasi.
Hal tersebut disampaikannya dalam acara Seminar Nasional Sekolah Perempuan : Model Pendidikan Kader Pembaharu Pembangunan yang Berkeadilan Gender dan Inklusif, di Jakarta, Selasa, (18/12).
Bangun Kesadaran Kritis dan Strategi
Dengan materi tersebut, kata Misiyah, Sekolah Perempuan mengembangkan empat tahapan pendidikan, yaitu tahap pertama, membangun kesadaran kritis, tahap kedua membangun kemampuan analisis sosial, tahap ketiga membangun kemampuan dalam melakukan strategi dan advokasi, kemudian tahap keempat adalah tahap pelatihan.
Diharapkan setelah mengikuti metode pendidikan tersebut, akan ada perubahan pola pikir yang lebih kritis dan lebih peduli dalam menyikapi masalah yang ada dilingkungannya, serta mengetahui akan hak-haknya sebagai perempuan yang harus setara dengan laki-laki dalam hal apapun sehingga diskriminasi, kekerasan, ketidakadilan terhadap kaum perempuan bisa berkurang.
“Ada lima aspek yang kita ukur. Pertama, perubahan kesadaran. Pemikiran kesadarannya berubah gak sih kesadaran kritisnya? Kedua, perubahan budaya, cara hidup, yaitu apakah cara hidupnya setara atau tidak," papar Misiyah.
"Ketiga, perubahan komitmen dari orang yang tidak peduli kepada siapapun menjadi peduli kepada orang lain. Keempat, kesadaran membangun sejarah baru; dan kelima, kemampuan dalam berpartisipasi politik, baik pengambilan keputusan dalam keluarga maupun di ranah publik,” ujar Misiyah.
Misiyah menjelaskan dalam kurun lima tahun terakhir, “Sekolah Perempuan” sudah ada di 79 desa, di enam provinsi, dan 25 kabupaten di seluruh Indonesia.
Lulusan sekolah-sekolah sekolah perempuan itu jadi berani bersuara. Bahkan, tak jarang pendapat mereka didengar dan dipertimbangkan oleh pejabat pemerintah daerah setempat serta membuahkan kebijakan yang adil dan setara. Contoh paling nyata adalah bagaimana kaum perempuan yang dididik ini berani mengkampanyekan bahaya kawin anak di desa-desa di Nusa Tenggara Barat.
Di Poso, Sekolah Perempuan Jadi Agen Perdamaian
Salah seorang sekolah perempuan di Kabupaten Poso, Lian Gogali, mencontohkan fungsi lain sekolah-sekolah perempuan ini sebagai “agen perdamaian” di Poso.
Lina menceritakan bagaimana dalam sekolah ini masing-masing perempuan lintas agama memperoleh pengetahuan tentang agama lainnya, sehingga kesalahapahaman yang menimbulkan konflik tersebut bisa mereda. Mereka, kata Lian, akhirnya mengerti bahwa konflik di Poso itu terjadi karena kepentingan ekonomi politik yang menggunakan agama sebagai motifnya.
“Kalau di Sekolah Perempuan, mereka mendapatkan ruang dimana mereka mendengarkan langsung sebenarnya Islam itu apa? Kristen itu apa? Jadi yang Kristen berkunjung ke masjid, yang Islam berkunjung ke gereja. Pada ruang itu mereka bisa bertanya apa itu jihad, apakah halal dan haram itu, apa itu kristenisasi. Proses klariifikasi itu membangun pemahaman yang tepat untuk melihat agama yang lain,” ujar Lian.
Lian menjelaskan “Sekolah Perempuan” di Kabupaten Poso berdiri sejak 2010 dan sudah menghasilkan empat angkatan. Lulusan sekolah perempuan di Kabupaten Poso, kata Lian kemudian membentuk tim pembaharu desa yang berfungsi mengorganisir masyarakat untuk melakukan perubahan di dalam masyarakat dengan UU Desa. Salah satu contohnya adalah melakukan advokasi terhadap kasus-kasus sosial apapun didalam desa, serta mendorong transparansi penggunaan dana desa.
Pemerintah Berencana Buat Sekolah Serupa
Bito Wikantoso, Direktur Pelayanan Sosial Dasar Kementerian Pembangunan Desa Tertinggal, menyatakan pemerintah menyambut baik adanya Sekolah Perempuan yang tersebar di desa tersebut. Menurutnya, sekolah perempuan ini merupakan salah satu cara untuk mengimplementasikan UU Desa agar semakin banyak perempuan yang berpartisipasi untuk membangun desa yang maju sehingga bisa mengubah wajah Indonesia lebih baik lagi di masa yang akan datang.
Ke depan, pemerintah pun berencana untuk mereplikasi sekolah atau pusat pembelajaran yang diharapkan bakal tersebar di 75 ribu desa di Indonesia yang dimulai pada 2020 nanti. Hal tersebut sejalan dengan perintah Presiden Joko Widodo bahwa anggaran desa akan lebih banyak digunakan untuk perkembangan SDM di desa-desa nantinya.
Menurut Bito, selama empat tahun, penggunaan dana desa sebagian besar akan diprioritaskan untuk infrastruktur. Tahun depan, pembangunan desa akan berfokus pada sumber daya manusia dan ekonomi, sesuai arahan Presiden Jokowi, tambah Bito.
“SDM fokus kami adalah kesehatan, pendidikan, pemberdayaan perempuan dan anak, kelompok difabel, kelompok marjinal dan penanggulangan kemiskinan. Jelas karena isunya itu, maka sejak tahun 2019 nanti, pendekatan kami melakukan konvergensi penggunaan dana desa yang sinergis dengan program lintas kementerian,” papar Bito.
“Nah, untuk 2020 kami siapkan anggaran khusus untuk mendorong yang bagus-bagus ini diseba. Yang kami fasilitasi selain sekolah perempuan ada juga untuk balai pelatihan untuk pekerja, pertanian dan segala macam,” kata Bito menambahkan.
Meski begitu, Misiyah masih menemukan tantangan dan hambatan dalam membangun sekolah perempuan ini, yaitu terkait agama dan adat yang mengakibatkan menguatnya nilai konservatif serta politisasi identitas. [gi/em]