Sektor kehutanan dan tata guna lahan masih menjadi penyumbang gas emisi karbon terbesar di Indonesia.
Sesuai Perjanjian Iklim Paris tahun 2015, 195 negara yang menandatangani perjanjian itu harus menyatakan komitmennya untuk melakukan berbagai cara mengatasi perubahan iklim lewat langkah mitigasi, adaptasi dan perencanaan keuangan. Komitmen itu dituangkan dalam Nationally Determined Contribution NDC periode 2020-2030.
Dalam diskusi bertajuk Pandangan Kebijakan Iklim Indonesia 2023 yang digelar oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) di Jakarta, Kamis (23/2), Direktur Program World Resources Institute (WRI) Indonesia, Arief Wijaya menjelaskan sektor kehutanan dan tata guna lahan masih menjadi penyumbang pengurangan emisi karbon terbesar di Indonesia. Hasil analisis lembaganya menyimpulkan 2-3 tahun mendatang, sektor energi akan menyalip sektor kehutanan dan tata guna lahan, yakni menjadi penyumbang gas emisi karbon terbesar.
Dia menambahkan Indonesia merupakan negara yang mempunyai hutan tropis terbesar ketiga di dunia setelah Brazil dan Kongo. Dalam enam tahun terakhir, deforestasi nasional di Indonesia menurun, dari 900 ribu hektare di 2016 menjadi 100 ribu hektare pada 2021.
Arief menjelaskan dalam dokumen NDC terbaru, sektor kehutanan dan tata guna lahan masih dipandang sebagai sektor yang menyumbang pengurangan emisi terbesar. Sedangkan sektor energi menyumbang minimum 12 persen.
"Di dokumen NDC yang terakhir, dari 31,89 persen target pengurangan gas emisi dengan upaya sendiri (tanpa syarat) ke 43 koma sekian persen, sektor kehutanan itu menyumbang sekitar 17,5 persen hingga 25 persen atau hampir setengah dari total pengurangan emisi di tahun 2030 disumbangkan dari sektor kehutanan," tutur Arief.
Selain itu, lanjutnya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sudah menetapkan target gas emisi karbon dari sektor kehutanan nihil pada 2030, karena deforestasi bisa digantikan oleh rehabilitasi atau reforestasi di lahan-lahan yang saat ini kritis.
Data statistik beberapa tahun terakhir ini menunjukkan sektor kehutanan sudah pada jalur yang tepat untuk mencapai target pengurangan gas emisi karbon. Namun setelah berakhirnya pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) tahun depan, perlu ada perhatian khusus, ujarnya merujuk pada hasil analisa beberapa lembaga riset yang menunjukkan naiknya deforestasi terkait pemenuhan janji politik calon kepala daerah agar terpilih di pilkada.
Menurut pendiri sekaligus Chairman Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) Dino Patti Djalal, komitmen dunia terhadap perubahan iklim tidak berjalan baik. Untuk mencapai target dunia bebas gas emisi karbon, mulai sekarang harus ada pengurangan 6-7 persen gas emisi karbon hingga 2050. Kenyataannya, emisi karbon global justru meningkat satu persen.
Dino mengatakan negara-negara maju butuh berinvetasi US$ 1 triliun per tahun di negara-negara berkembang jika ingin mencapai target nihil gas emisi karbon pada 2050. Menurutnya, jika dunia gagal mencapai target pengurangan gas emisi karbon 2030, maka dunia tidak bisa meraih saaran nihil emisi karbon pada 2050.
Di Indonesia, menurutnya, komitmen politik untuk pengurangan gas emisi karbon meningkat signifikan. Ada banyak reformasi kebijakan dilakukan oleh pemerintah Indonesia, sementara target pengurangan gas emisi karbon pada 2030 naik dari 21-23 persen menjadi 21-29 persen.
"Satu hal yang menarik untuk dicatat adalah prosesnya masih dari atas ke bawah. Kebijakan perubahan iklim Indonesia adalah dari atas ke bawah. Artinya hanya ketika presiden mengunjungi berbagai tempat dan menunjukkan ini (pengurangan gas emisi karbon) adalah bagian sangat penting dari pembangunan internasional dan Indonesia harus menjadi bagian dari program tersebut, kementerian dan lembaga, termasuk KLHK dan lainnya, sejalan dengan pernyataan itu, termasuk komunitas bisnis," kata Dino.
Namun Dino menekankan tidak ada jaminan kebijakan perubahan iklim Indonesia akan berkelanjutan. Dia tidak dapat memastikan apakah pasangan calon presiden dan wakil presiden yang akan bertarung dalam Pemilihan Umum 2024 akan menjadikan isu pengurangan gas emisi karbon sebagai salah satu agenda pemerintahannya jika terpiih.
Mantan Duta Besar Indonesia Untuk Amerika Serikat ini menegaskan kunci dari target pengurangan gas emisi karbon itu adalah eksekusi berbagai kebijakan pemerintah. Salah satu kemajuan luar biasa yang dicapai, menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan kehutanan, deforestasi dalam 12 tahun terakhir berkurang 85 persen.
Dalam diskusi tersebut, Anggota Komisi VII sekaligus Ketua Kaukus Energi Hijau DPR Mercy Chriesty Barends menjelaskan dalam dua tahun terakhir Komisi VII mendorong Rancangan Undang-undang (RUU) Energi Baru dan Energi Terbarukan dan sedang dalam proses pembahasan.
Dia menambahkan perlu dukungan yang lebih kuat lagi agar pemerintah mampu memenuhi target pengurangan gas emisi karbon dalam berbagai kebijakan. Ditambahkannya, Presiden Joko Widodo sudah mengeluarkan kebijakan mengenai nilai ekonomi karbon. Sementara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral juga sudah menerbitkan kebijakan tentang implementasi nilai ekonomi karbon; dan Kementerian Keuangan sudah mengubah Undang-undang Perpajakan yang memasukkan soal perdagangan karbon dengan besaran US$30 ribu per ton CO2.
Menurut Mercy, kemarin sudah terjadi lompatan sangat besar di mana Kementerian ESDM telah menyepakati perdagangan karbon dengan 42 perusahaan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara dengan kapasitas 100 megawatt atau lebih.
"Ini akan memberikan implikasi yang amat sangat besar. Ini pertama kali terjadi di dalam sejarah. Saya percaya apa yang kita nantikan sejak tahun kemarin, dengan Ibu Menkeu meluncurkan mekanisme transisi energi dengan melibatkan seluruh pihak terkait di dalamnya. Mekanisme transisi energi akan bertumpu di atas kebijakan penganggaran secara domestik juga bagaimana kita bisa mengkapitalisasi anggaran-anggaran yang berasal dari masyarakat, sektor swasta, termasuk international pt finance," ujar Mercy.
Langkah yang cukup maju, lanjutnya, adalah setelah pelaksanaan KTT G20 November tahun lalu di mana pemerintah meluncurkan percepatan pengelolaan dana US$20 miliar atau sekitar Rp 310 triliun. Negosiasi sudah dilakukan dengan Amerika, Jepang, dan mitra terkait lainnya.
Pemerintah mengharapkan titik tumpu dari dana Rp 310 triliun itu pada tiga hal, yakni percepatan penutupan PLTU batu bara, percepatan peralihan kapasitas dari energi baru ke energi terbarukan, serta meningkatkan kapasitas energi terbarukan yang sudah ada – seperti industri turunan dari energi baru dan terbarukan – yang terwujud dalam kendaraan listrik dan lain-lain
Mercy mengharapkan tahun ini pembahasan RUU Energi Baru dan Energi terbarukan bergulir, percepatan perdagangan karbon di bidang kelistrikan, mendorong impelentasi dari kendaraan listrik lebih maju dan cepat beserta industri turunannya.[fw/em]
Forum