Dalam wawancara dengan stasiun televisi Fox News hari Minggu (17/3), Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu merespons kritik yang semakin keras dari sekutu terdekatnya, Amerika Serikat, atas kepemimpinannya dalam menangani perang Israel-Hamas. Ia mengatakan, tekanan itu tidak akan menghentikan Israel untuk mencapai “kemenangan total.”
Ketua fraksi Demokrat yang mayoritas di Senat AS Chuck Schumer, yang merupakan pejabat Yahudi paling senior di Amerika dan pendukung utama Israel, menyerukan agar Israel menyelenggarakan pemilu baru, karena Netanyahu sudah “tersesat,” ungkapnya. Biden lantas mengungkapkan dukungannya terhadap pernyataan Schumer, yang ia sebut “pidato yang bagus.”
Netanyahu menyerang balik.
“Saya rasa pernyataan (Senator Chuck) Schumer sangat tidak pantas. Saya rasa kami bukan "republik pisang". Rakyat Israel akan memilih sendiri kapan pemilu akan digelar, siapa yang mereka pilih – bukannya disodorkan kepada kami. Mencoba mengganti pemimpin terpilih di negara demokrasi yang merupakan sahabat dan sekutu setia Amerika adalah hal yang keliru untuk dilakukan kapan pun juga, tetapi terutama pada masa perang,” ungkap Netanyahu.
Republik pisang adalah sebutan bernada merendahkan untuk negara dengan kondisi politik dan ekonomi yang tidak stabil.
Pada kesempatan terpisah, berbicara dalam rapat kabinetnya hari Minggu di Yerusalem, Netanyahu mengatakan bahwa seruan internasional agar Israel segera menggelar pemilu baru bertujuan “menghentikan perang dan melumpuhkan negara ini selama setidaknya enam bulan.”
Selama beberapa hari terakhir, pejabat-pejabat tinggi Amerika, yang selama ini memberikan bantuan militer dan diplomatik bagi Israel, telah secara terbuka mengungkapkan rasa frustrasi mereka terhadap Netanyahu dan pemerintahannya.
Selain Schumer yang menyerukan pemilu baru di Israel, Presiden Joe Biden menuduh Netanyahu melemahkan Israel karena besarnya jumlah korban sipil yang berjatuhan di Jalur Gaza.
Partai Republik di AS dan pejabat Israel dengan cepat mengungkapkan kemarahan mereka atas kritik Schumer dan menuduh pemimpin Partai Demokrat itu melanggar aturan tak tertulis untuk tidak mencampuri urusan politik elektoral sekutu dekat.
Sementara itu, ribuan warga Israel turun ke jalan Sabtu (16/3) malam. Mereka menuntut disetujuinya kesepakatan pembebasan sandera yang diculik Hamas, sekaligus digelarnya pemilihan umum.
Polisi Israel menggunakan meriam air untuk membubarkan para pengunjuk rasa yang menuntut pemerintahan Netanyahu mengundurkan diri.
Mereka marah pada cara Netanyahu dan pemerintahannya mengelola perang melawan Hamas, yang kembali pecah setelah kelompok militan Palestina itu melancarkan serangan mendadak ke Israel selatan pada 7 Oktober, menewaskan 1.200 warga Israel. Hamas juga menyandera sekitar 250 orang.
“Kita harus menyetujui perjanjian perdamaian, kita harus memulangkan para sandera dan kita harus mendirikan otoritas pemerintahan yang bisa diandalkan di Gaza agar kita bisa melanjutkan hubungan damai antara kita dan Gaza, dan antara semua negara di sekitar sini. Yang kami benar-benar inginkan adalah perdamaian,” kata Yehuda Halper, salah seorang pengunjuk rasa.
Guy Ginat, pengunjuk rasa lainnya, menuturkan, “Kami ingin pemerintahan ini menganggap kami serius (bahwa mereka harus) mundur. Dan kami ingin agar negara kami menjadi milik rakyat, bukan milik sekelompok kecil diktator yang menganggap diri mereka sebagai pusat dunia, bahwa semuanya milik mereka.”
Sejak 7 Oktober, serangan balasan Israel telah menewaskan lebih dari 31.000 warga Palestina, menurut kementerian kesehatan di Gaza, dan mendorong ratusan ribu lainnya ke ambang kelaparan.
Sekitar 120 sandera telah dibebaskan selama gencatan senjata sementara November lalu, di mana ratusan orang Palestina juga dibebaskan dari penjara-penjara Israel. Tiga sandera Israel lainnya tidak sengaja terbunuh pasukan Israel dalam operasi penyelamatan.
Kini, keluarga para sandera yang masih disekap fokus memperjuangkan pemulangan mereka. Sedikitnya 34 sandera tewas, menurut Israel.
Perundingan gencatan senjata yang terhenti rencananya akan dilanjutkan di Qatar, paling cepat hari Minggu (17/3) menurut dua pejabat Mesir yang berbicara kepada kantor berita Associated Press dengan syarat anonim.
Jika benar demikian, perundingan tidak langsung itu akan menjadi yang pertama kalinya dilakukan oleh pejabat Israel dan pemimpin Hamas sejak bulan Ramadan dimulai pekan lalu.
Hamas telah menyerahkan proposal baru berisi rencana tiga tahap untuk mengakhiri peperangan kepada pihak penengah. Israel sendiri mengirimkan negosiatornya ke Qatar untuk putaran baru perundingan tersebut.
Sebelumnya, pemerintahan Netanyahu menolak seruan gencatan senjata permanen. Ia berkukuh bahwa Israel harus mewujudkan tujuannya “memberangus Hamas” terlebih dahulu.
Kantor Netanyahu pada hari Jumat (15/3) juga mengatakan, ia menyetujui rencana militer untuk menyerang Rafah, kota paling selatan di Jalur Gaza, di mana 1,4 juta orang Palestina mengungsi – separuh dari total populasi Gaza. Banyak warga Palestina yang mengungsi ke kota itu ketika Israel menyerang Gaza. [rd/ka]
Forum