Presiden Joko Widodo telah mendapatkan kembali persetujuan dari mayoritas rakyat Indonesia, menurut sebuah jajak pendapat yang menandai setahun ia menjabat, hari Selasa (20/10), bukti bahwa perombakan yang ia lakukan di negara ini mulai terlihat hasilnya.
Terhuyung-huyung akibat salah langkah dalam politik selama berbulan-bulan dan perlambatan ekonomi terburuk dalam enam tahun, Presiden Jokowi meluncurkan sebuah inisiatif Agustus lalu untuk mendapatkan kembali kepercayaan pemilih, termasuk perombakan kabinet dan paket stimulus besar.
Tingkat popularitas Presiden naik menjadi 52 persen bulan ini dari 41 persen bulan Juni, menurut survei terhadap 1.220 warga Indonesia oleh Saiful Mujani Research and Consulting.
Angka itu masih jauh di bawah puncak popularitas 72 persen setelah dipilih menjadi Presiden.
"Rakyat Indonesia masih memberi Jokowi kesempatan setelah tahun pertamanya," ujar direktur eksekutif grup itu, Djayadi Hanan.
"Orang-orang melihat bahwa presiden telah mengkonsolidasi kekuatan politiknya dalam parlemen dan di pemerintahan."
Jokowi, presiden pertama Indonesia yang datang dari luar elit politik dan militer, menandai tahun pertamanya sebagai presiden dengan mengakui kesulitannya dalam bekerja.
Kebingungan kebijakan, konflik internal dan kepentingan-kepentingan terselubung telah menghambat reformasi Presiden. Ia juga mendapat tekanan diplomatik atas kegagalannya untuk memadamkan kebakarah hutan yang menyebabkan kabut asap tebal ke negara-negara tetangga.
"Langkah pertama seringkali yang tersulit, tapi juga yang terpenting. Tahun pertama meletakkan pondasi," tulisnya di Twitter, Senin (19/10).
Para investor mengatakan Presiden Jokowi, yang akan berkunjung ke Amerika Serikat untuk pertama kalinya sebagai presiden minggu depan, mulai melakukan langkah tepat.
Mereka mengacu pada langkah baru-baru ini untuk menawarkan lebih banyak kepastian atas peningkatan upah minimum tahunan dan kemungkinan dimudahkannya aturan-aturan investasi asing.
Rupiah telah meningkat kembali 7 persen sejak anjlok ke nilai terendah selama 17 tahun terakhir akhir September, sementara bursa saham melonjak 12 persen dari angka terendah dalam dua tahun terakhir.
Namun kendala masih banyak, dengan perkiraan kenaikan suku bunga oleh Bank Sentral AS, perlambatan di China, dan lemahnya konsumsi domestik yang mengancam upaya-upaya Presiden yang baru diluncurkan.
"Tahun pertama seharusnya dilihat sebagai pengalaman belajar dan kita harap pada akhir 2015 sudah lebih banyak harapan dibandingkan bulan-bulan terakhir 2014," tulis tajuk rencana harian The Jakarta Post.
"Saatnya untuk bekerja lebih baik sekarang, Pak Presiden." [hd]