Setahun lalu, militan Negara Islam menyerbu tanah Yazidi di Irak, menewaskan ratusan laki-laki dan menjadikan ribuan perempuan mereka sebagai budak.
Pemandangan keluarga-keluarga Yazidi berkumpul di puncak gunung Sinjar tanpa air ataupun makanan mendorong tentara Kurdi untuk mengambil tindakan, pemberian bantuan darurat dilakukan melalui udara dan AS memulai serangan udara terhadap militan Negara Islam (ISIS).
Warga Yazidi yang selamat dari pembantaian itu kini tersebar di berbagai wilayah. Sekitar dua jam perjalanan dengan kendaraan ke arah utara Irbil di Kurdistan, di antara bukit-bukit berbatu yang penuh debu terletak Lalish, di mana berdiri sebuah kuil suci Yazidi. Sehari sebelum peringatan setahun pembantaian, keluarga-keluarga Yazidi mendatangi kuil ini di tengah panas terik 50 derajat Celcius untuk bertemu, berdoa dan membasuh diri dengan air suci di kuil Lalish.
'Tidak ada makanan, tidak ada air'
Moorad Aloo adalah salah seorang di antara mereka. Mengenakan pakaian serba hitam, ia berjalan mengelilingi pekarangan kuil, berhenti di kios yang menjual air dan es krim.
Apa yang terjadi 12 bulan lalu masih segar dalam benaknya. Hari itu, kata Aloo, suara tembakan mulai terdengar sekitar pukul 10 pagi hari. Ketika warga Yazidi menyadari militan ISIS datang menyerang mereka, ribuan di antara mereka melarikan diri ke gunung Sinjar.
"Saya tidak akan melupakan apa yang terjadi. Saya melihat laki-laki dan perempuan dibantai, bahkan perempuan hamil."
Aloo mengeluarkan ponselnya untuk menunjukkan foto kakaknya. Aloo mengatakan kakaknya memutuskan untuk berjuang membela tanah Yazidi. Itu adalah saat terakhir kali ia melihat sang kakak.
Aloo mulai meneteskan air mata.
"Kami hanya punya segenggam air bagi dua anak. Tidak ada makanan, tidak ada air. Banyak yang meninggal karena haus dan lapar saat kami terdampar di gunung."
Populasi yang menyusut
Di sekitar kuil, perempuan dan anak-anak berjalan tanpa alas kaki, mencuci kaki mereka dengan air suci. Sebagian orang mengisi botol plastik dengan air dari sebuah pipa.
Mereka ini adalah sebagian dari yang beruntung. Tidak semuanya berasal dari Sinjar, tapi pembantaian itu menghantui mereka yang lolos dari pembantaian. Ekstremis ISIS menganggap Yazidi sebagai pemuja setan, mengeksekusi para laki-laki, memerkosa anak-anak perempuan dan menangkap para perempuan untuk dijual sebagai budak.
Warga Yazidi adalah kaum minoritas di Irak, dan kelompok agama dengan jumlah pemeluk kurang dari satu juta orang di seluruh dunia.
Sheikh Ismail Murad Qasim, yang juga selamat dari pembantaian, meratapi nasib komunitasnya.
"Ini adalah akhir bagi orang-orang kami. Mereka telah membantai ribuan di antara kami, memerkosa anak-anak perempuan kami yang berumur 8-9 tahun. Dan mereka semuanya sudah tidak ada bersama kami."
Para pemimpin komunitas yang menyusut ini mencoba meyakinkan warganya untuk tidak meninggalkan Irak. Tapi mereka menyadari tantangannya.
"Kami seorang diri. Kami tidak dapat berpaling pada seorang pun. Dan kami berdoa, berdoa bagi Tuhan untuk membawa keharmonisan bagi semua agama," ujar Baba Sheikh, pemimpin spiritual Yazidi kepada VOA.
Tidak ada 'masa depan bagi saya'
Trauma dari pembantaian tahun lalu masih melekat kuat pada Aloo.
"Lebih baik mati daripada menyaksikan apa yang saya lihat. Saya tidak merasa ada masa depan bagi saya, hati saya perih."