Suasana riuh masih menyelimuti kondisi politik Indonesia sehabis Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada hari Selasa (9/5) pekan ini menjatuhkan vonis terhadap Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Majelis hakim menyatakan terdakwa kasus dugaan penodaan agama Islam itu terbukti bersalah melanggar pasal 156a KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).
Majelis hakim menetapkan vonis dua tahun penjara bagi Ahok dan harus segera ditahan.
Namun, putusan ini mendapat penolakan dari para pendukung Ahok. Setelah dari sidang Ahok, mereka berunjuk rasa hingga pukul sepuluh malam di depan Rumah Tahanan Cipinang, Jakarta Timur, menuntut Ahok dibebaskan. Dengan alasan keamanan, malam itu juga polisi memindahkan Ahok ke tahanan Mako Brimob.
Kasus penodaan agama memang bukan hal baru di Indonesia. Dalam jumpa pers di kantor Setara Institute, Kamis (11/5), Halili Hasan, peneliti di Setara Institute sekaligus dosen Universitas Negeri Yogyakarta, menjelaskan dari hasil riset dilakukan Setara Institute, sepanjang 1965-2017 terdapat 97 kasus penistaan agama.
Yang menarik, dia menambahkan, kasus dugaan penistaan agama ini makin banyak sejak rezim Orde Baru tumbang. Dia menyebutkan sebelum reformasi hanya ada sembilan perkara penistaan agama, namun sehabis reformasi jumlah kasusnya membengkak menjadi 88 kasus .
Lebih lanjut Halili mengungkapkan dari 97 kasus penodaan agama tersebut, 76 perkara diselesaikan melalui jalur persidangan dan sisanya di luar persidangan atau non-yustisia. Sementara, dilihat ada tidaknya tekanan massa lanjut Halili, dari 97 kasus yang dicatat oleh Setara Institute, 35 di antaranya tidak melibatkan tekanan massa, sedangkan 62 lainnya melibatkan tekanan massa.
Dalam kasus-kasus penodaan agama tambahnya, Islam menjadi agama yang paling banyak dinodai yaitu 88 kasus. Sedangkan agama Kristen 4 kasus,Katolik 3 kasus dan Hindu 2 kasus.
"Sebenarnya pasal penodaan agama berpotensi untuk menutup keran pemahaman keagamaan, pencarian pemahaman-pemahaman baru. Kemudian interpretasi atas doktrin-doktrin keagamaan dan seterusnya. Jadi penodaan agama tidak melulu soal bagaimana orang menistakan agama. Ternyata konteksnya itu lebih banyak soal orang berusaha untuk menginterpretasi, menemukan pemahaman baru dari agama sedang diyakininya, kemudian dianggap menistakan," jelas Halili.
Halili menambahkan pasal penodaan agama ini sesungguhnya ancaman bagi demokrasi karena menutup perbedaan interpretasi atas ajaran agama. Selain itu, pasal ini bisa dipakai buat mendiskriminasi gerakan-gerakan keagamaan baru yang merupakan minoritas.
Sementara itu, Ismail Hasani, Direktur Riset Setara Institute dan pengajar Hukum Tata negara di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, menjelaskan wajah penegakan hukum dalam kasus penistaan agama adalah sebuah proses bias. Dia juga menilai institusi-institusi peradilan sangat lemah dalam kasus penodaan agama.
"Kasus-kasusnya sebagian besar sepele dan semuanya dilatarbelakangi ada konteks konflik atau polemik. Karena itu, dia sesungguhnya tidak steril sebagai sebuah peristiwa hukum yang betul-betul bisa diverifikasi sebagai yang melanggar. Sekali lagi bukan cuma soal isu agama, tapi yang paling penting adalah ancaman kebebasan berekspresi, berpendapat," papar Ismail.
Ismail menekankan delik penodaan agama telah efektif menjadi alat untuk menundukkan bagi pihak-pihak berkonflik, baik dalam konteks ketegangan politik atau konflik personal. Dia mengatakan agama kini telah menjadi senjata dalam politik.
Terkait kasus Ahok, dia menilai vonis hakim adalah putusan imajiner. Dia menilai majelis hakim berimajinasi seolah Ahok melakukan kesalahan sangat serius dalam penodaan agama meski fakta persidangan tidak menunjukkan itu dan tidak sesuai tuntutan jaksa. Karena itu, dia meminta semua institusi penegak hukum berbenah diri dalam menangani kasus dugaan penistaan agama.
Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos mengatakan pasal penodaan agama di banyak negara menjadi kontroversi dan mendapat kritikan keras dari para pegiat hak asasi manusia. Padahal kalau mengacu pada pandangan umum Perserikatan Bangsa-Bangsa nomor 34 tahun 2011, pasal penistaan agama sudah tidak sesuai dengan Kovenan Hak Sipil dan Politik. Sebab itu, menjadi kewajiban anggota PBB untuk menghapus delik penodaan agama dari hukum nasional.
Menurut Bonar, Mahkamah Konstitusi sebenarnya sudah menyatakan delik penodaan agama itu tiidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman.
"Problem utama dalam yudikatif adalah karena ada surat edaran Mahkamah Agung Nomor 11 tahun 1964 yang menyatakan agama sangat sensitif. Karena itu, kasus-kasus yang berkaitan dengan penodaan agama harus dihukum seberat-beratnya. Itu selalu menjadi acuan bagi hakim," ujar Bonar.
Bonar menyarankan langkah paling baik adalah Mahkamah Agung mengeluarkan surat edaran baru yang menginstruksikan para hakim menolak mengadili kasus-kasus dugaan penistaan agama. Atau perkara tersebut diadili menggunakan pasal ujaran kebencian sebagai alternatif.
Menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin menyatakan aturan tentang penodaan agama masih diperlukan agar tidak ada agama manapun yang dinodai sehingga bisa mencegah kerawanan sosial.
"Saya menangkapnya bukan menghilangkan tetapi bagaimana didudukkan secara semestinya. Lalu, bukan digunakan untuk menghukum orang dengan dalih menista atau menoda, tetapi harus dimaknai bahwa aturan itu sebenarnya bagaimana agar masing-masing ajaran agama khususnya yang terkait dengan pokok-pokok atau isi dari ajaran agama lalu tidak kemudian tidak disimpangi oleh siapapun juga sehingga malah menimbulkan kerawanan sosial yang tidak semestinya. Harus dilihat dari sisi preventif," kata Lukman. [fw/jm]