Tautan-tautan Akses

Siapa Yang Akan Membayar Meningkatnya Biaya Akibat Bencana?


Para anggota delegasi berfoto di depan sebuah pulau di COP 23 Fiji Konferensi Perubahan Iklim di Bonn, Jerman, 6 November 2017.
Para anggota delegasi berfoto di depan sebuah pulau di COP 23 Fiji Konferensi Perubahan Iklim di Bonn, Jerman, 6 November 2017.

Seiring dengan meningkatnya kerugian finansial dari badai, banjir dan bencana lainnya yang disebabkan perubahan iklim, pertanyaan yang paling penting adalah bagaimana membayar semua kerugian itu?. Hal ini menjadi pertanyaan penting dalam pembicaraan iklim PBB di Bonn pekan ini.

Para peneliti mengatakan kerugian akibat kekeringan, naiknya permukaan laut dan bencana lainnya akibat perubahan iklim bisa mencapai ratusan miliar dolar setiap tahun pada 2030 bila emisi yang memanaskan bumi tetap berlanjut tanpa henti.

Amerika diperkirakan akan membutuhkan puluhan miliar dolar hanya untuk memperbaiki kerusakan akibat Topan Harvey, Irma dan Maria yang melanda Texas, Florida, Puerto Rico dan Kepulauan Virgini tahun ini.

Upaya-upaya untuk membatasi emisi pemanas bumi tidak membuahkan hasil. Upaya untuk membantu komunitas-komunitas dan negara-negara untuk beradaptasi dengan perubahan juga sedikit sekali mengalami kemajuan.

'Tidak ada Dana'

Pertanyaan tentang siapa yang akan membayar kerugian yang begitu besar akibat bencana-bencana menjadi pembicaraan kontroversial.

Negara-negara maju sebagai penghasil emisi gas rumah kaca terbesar enggan membahas mengenai kerugian karena takut diminta pertanggungjawaban.

"Saat ini tidak ada dana yang disiapkan untuk menutup kerugian dan kerusakan. Itu lah tantangannya dan kita lihat apa yangterjadi," kata Harjeet Singh, yang memimpin upaya perubahan iklim global untuk ActionAid Internasional.

Rencana untuk menangani kerugian dan kerusakan dalam proses PBB tertuang dalam Mekanisme Internasional Warsawa untuk Kerugian dan Kerusakan yang dibuat pada 2013.

Mekanisme ini dibuat ditengah penolakan dari Amerika dan beberapa negara industri yang kuatir pakta ini bisa digunakan untuk memaksa mereka membayar kerugian akibat kerusakan iklim.

Selama empat tahun, mekanisme yang masih baru ini tidak banyak mendapatkan dukungan keuangan maupun sumber daya. Para pakar sedang bersiap membuat makalah teknis mengenai sumber-sumber pembiayaan yang memungkinkan pada 2019 yang "mengisyaratkan tidak banyak yang akan terjadi dalam dua tahun kedepan," kata Singh. "Kami tidak tahu darimana uangnya."

Negara-negara berkembang mencari cara untuk menangani kerugian yang semakin meningkat,bagaimanapun mereka mengatakan saatnya sekarang prosestersebut mulai berjalan.

Duta Besar Fiji untuk Perubahan Iklim, Nazhat Shameem Khan, mengatakan kepada Reuters: "Setelah bernegosiasi dengah susah-payah, penting bagi kami untuk membuat (Mekanisme Internasional Warsawa) berlaku efektif."

Negara-negara maju telah mempelajari asuransi sebagai salah satu cara untuk mengurangi risiko akibat cuaca ekstrim di negara-negara yang lebih miskin dan membagikan dana pemulihan dengan cepat setelah bencana terjadi.

Ingrid-Gabriela Hoven, direktur jenderal yang bertanggung jawab untuk isu-isu global di Kementerian Federal untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan Jerman, mengatakan skema-skema asuransi risiko iklim memiliki keunggulan yaitu membayar dana secara cepat dan hal itu bisa memberikan sebagian perlindungan bagi masyarakat.

"Asuransi tidak membayar seluruh kerugian, namun memberikan negara perlindungan sampai seluruh upaya rekonstruksi bisa dimulai," kata dia di sela pembicaran.

"Pencairan dana relatif cepat dan tidak bergantung donor," kata dia. Namun asuransi bukanlah peluru ajaib, kata lembaga-lembaga bantuan. Kelompok masyarakat termiskin yang membutuhkannya tidak bisa membayar premi asuransi kecuali mendapatkan subsidi dan asuransi tidak bisa membayar seluruh kerugian karena kehilangan sesuatu, misalnya foto keluarga atau tradisi budaya yang tidak memilik nilai ekonomi.

Asuransi juga tidak bisa menangani dengan yang disebut sebagai bencana "yang lambat dimulai" seperti misalnya yang terjadi akibat kekekeringan selama bertahun-tahun, kata Timmons Roberts, yang meneliti cara-cara untuk membiayai kerugian dan kerusakan sebagai seorang profesor di Lab Iklim dan Pembangunan di Universitas Brown.

Serangkaian ide-ide inovatif lainnya untuk membayar kerugian akibat iklim juga sedang dijajaki, termasuk pajak untuk produsen bahan bakar fosil, maskapai penerbangan dan perusahaan perkapalan. Opsi lainnya adalah pajak karbon global dan pajak transaksi keuangan.

"Spekulasi saya adalah kerugian dan kerusakan akan punya daya penarik ketika tuntutan hukum mulai mengancam perusahaan-perusahaan dan negara-negara," kata Robert.

Dengan 1.200 hukum perubahan iklim yang berlaku secara global, jumlah kasus persidangan meningkat. Setidaknya 10 kasus baru diajukan setiap tahun sejak 2015, menurut Graham Institute on Climate Change and Environment yang bermarkas di London.

"Ancaman tuntutan hukum akan mendorong negara-negara untuk menegosiasikan pengaturan tertentu dengan imbalan perlindungan terhadap tuntuan hukum," kata Robert. [fw/as]

XS
SM
MD
LG