Konvensi mengenai Hak-hak Anak (CRC) adalah kesepakatan internasional yang diadopsi dunia pada 20 November 1989 dan menjadi landasan perlindungan hak anak pada tingkat nasional.
Ke-54 pasal dalam konvensi secara rinci menjabarkan hak dan perlindungan anak, serta kewajiban pemerintah nasional untuk memastikan anak-anak dunia tumbuh menjadi generasi yang lebih baik.
Pasal 16 dan 17 CRC menjelaskan perlindungan hak privasi anak dan hak anak untuk memperoleh informasi yang benar dari internet, radio, televisi, koran, buku dan sumber lain. Orang dewasa harus memastikan informasi yang mereka peroleh tidak membahayakan. Pasal 17 juga menyebut pemerintah harus mendorong media agar berbagi informasi dari berbagai sumber dan bahasa yang dipahami anak-anak.
Para pakar anak mengatakan meskipun Indonesia telah memiliki UU Perlindungan Anak sejak 2002, penerapan pasal-pasal konvensi tersebut mengalami tantangan besar selama pandemi. Penggunaan internet oleh anak-anak tanpa pengawasan dan kebebasan menjelajah dunia maya yang minim sensor, berdampak negatif pada perkembangan mental, psikologis dan pendidikan, orientasi, bahkan prilaku seksual anak.
Data survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) terbaru telah mendapati penurunan usia anak petualang siber dari usia 10 tahun. Data tersebut juga menyajikan fakta bahwa hanya sebagian kecil waktu yang dicurahkan anak di dunia maya digunakan untuk tugas sekolah. Sebagian besar porsi penggunaan internet selama pandemi justru untuk berinteraksi di jejaring sosial.
Dr. Sri Wahyuni, psikiater anak dan dokter pada RSU Sanglah, mengatakan. "Mereka yang punya gadget dengan alasan tugas-tugas sekolah, akhirnya beberapa kasus terjadi kekerasan seksual online, kemudian penipuan-penipuan terjadi yang menimpa anak-anak ini, yang mengirim gambar atau mengirim foto yang diminta kepada pelaku kekerasan online ini," jelasnya.
Perkembangan ini membuat para orang tua dan pemerhati anak prihatin, terlebih setelah mendapati prostitusi, kekerasan, kejahatan, dan penggiringan orientasi seksual terhadap anak juga meningkat tajam secara online.
"Umur 12 tahun mereka sudah menyatakan homoseksual, orang tuanya jadi mau pingsan membawa konsul karena mereka menonton tayangan yang memang animasi tetapi animasi yang homoseksual dan webnya itu mereka bisa cari sendiri dan orang tua tidak tahu, dan pihak Kominfo pun kalah cepat dengan para pelaku perusakan mental masyarakat, khususnya anak," kata dr. Sri Wahyuni.
Yang lebih mencemaskan, pelaku eksploitasi kini bahkan meluas melibatkan anak-anak sendiri dan teman sebaya.
Luh Putu Anggraini adalah pengacara LBH Apik Bali yang kliennya sebagian besar adalah anak-anak korban kekerasan seksual di Bali dan NTB. Ia mengatakan, "Banyak anak-anak remaja terjebak dijual menjadi prostitusi anak lewat online, terus ada anak yang terjebak oleh mantan pacar ketika putus ternyata kemudian dijual, jadi dibilang cewek BO, ternyata ada ratusan orang yang ngechat minta dilayani, minta janjian."
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemeneg PPPA), dalam beberapa tahun terakhir telah gencar menggiatkan perlindungan hak anak. Bersama lembaga perempuan, HAM dan Kominfo, pemerintah berupaya melakukan langkah-langkah yang terpadu.
Meskipun ada upaya-upaya tersebut, para pakar anak Indonesia mengakui kejahatan siber terhadap anak terus meningkat dan akan menjadi tantangan lebih jauh bagi aparat pemerintah, penegak hukum, orang tua untuk menyelamatkan anak-anak Indonesia.
"Maukah pemerintah bersama orang tua bersama-sama belajar mengikhtiarkan pandemi ini bukan menjadi alasan anak kita diabaikan sehingga mereka melayang-layang di dunia maya ini?," tanya Dr. Sri Wahyuni.
Pemerhati anak juga mengingatkan upaya akan lebih efektif jika upaya pencegahan apapun secara aktif melibatkan pendampingan keluarga dan anak-anak sendiri, sehingga perlindungan dan hak anak bisa dipenuhi sebagaimana tercantum dalam Konvensi mengenai Hak Anak. [my/ka]