Segepok uang mainan tersebar di halaman kantor KPU DIY, Jumat (10/1). Aktivis anti-korupsi dari Yogyakarta Corruption Watch (YCW) Baharuddin Kamba kemudian menyapu uang kertas mainan yang bertebaran itu. Di bagian punggung dan dadanya, Kamba menempelkan tulisan “Aksi Bersih-Bersih KPU”.
“Ini sebagai bentuk keprihatinan kami dari Yogyakarta Corruption Watch, terhadap salah satu komisioner KPU RI, Wahyu Setiawan, yang terjerat operasi tangkap tangan oleh KPK, beberapa waktu yang lalu,” kata Kamba.
Aksinya menjadi tontonan sejumlah orang. Semakin lama, lembaran uang itu tersapu mendekati kantor pintu kantor KPU. Di sanalah Kamba akan menyerahkan uang mainan, sebagai simbol adanya suap, sekaligus sapunya kepada pihak KPU. Sigit Purwadi, Kabah Hukum Teknis dan Humas KPU DIY, menerima sapu sekaligus segepok uang mainan itu.
“Bersih-bersih di kantor KPU DIY ini sebagai bentuk kritik kami, ternyata ada persoalan di KPU. Selama ini kita berharap bahwa KPU di pusat maupun daerah, itu independen. Dengan kasus tertangkaptangannya salah satu komisioner KPU, ini menjadi bukti bahwa independensi KPU patut dipertanyakan,” tambah Kamba.
Tahun Pilkada Serentak
Aksi ini menjadi penting, tidak hanya bagi KPU DIY, tetapi juga bagi seluruh KPU daerah di Indonesia. Kamba mengingatkan, tahun depan
Indonesia akan menggelar Pilkada serentak. Tertangkapnya komisioner KPU RI, diharapkan tidak mengganggu proses Pilkada.
Bagi KPU daerah, lanjut Kamba, penangkapan ini menjadi pengingat agar bekerja independen di tahun Pilkada serentak ini. Sepanjang beberapa bulan ke depan, kasus Wawan Setiawan akan terus menghiasi pemberitaan di tanah air. Fakta-fakta baru dimungkinkan muncul. Menurut Kamba, yang menarik nanti adalah, apakah ada keterlibatan elit partai politik dalam kasus ini.
Kamba juga menyebut, kasus ini menjadi pukulan keras bagi KPU.
“Pertanyaannya kemudian adalah, KPU itu kolektif kolegial. Komisioner KPU yang lain apakah tidak tahu? Celakanya lagi, mantan anggota Bawaslu RI, itu orang kepercayaan Wahyu Setiawan. Jangan-jangan dengan kasus ini, bobrok di lembaga negara itu akan terbuka semua,” ujar Kamba.
Seperti diberitakan media, komisioner KPU RI Wahyu Setiawan ditangkap KPK dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) di Bandara Soekarto-Hatta, Rabu (8/1) pukul. 12.55. Sekitar 20 menit kemudian, petugas KPK juga mengamankan Agustiani Tio Feidelina di rumahnya di Depok. Agustiani adalah mantan anggota Bawaslu sekaligus orang kepercayaan Wahyu. KPK juga menetapkan Saeful, dari pihak swasta dan Harun Masiku, kader PDI Perjuangan sebagai tersangka.
Kasus ini muncul karena Harun Masiku, ingin masuk sebagai anggota DPR RI melalui skema Pergantian Antar Waktu (PAW). Kebetulan, Nazarudin Kiemas, anggota DPR RI dari PDI P telah meninggal dunia. Undang-Undang menetapkan, anggota DPR RI yang meninggal digantikan oleh Calon Anggota Legislatif (Caleg) satu partai dalam Pemilu sebelumnya, yang memperoleh suara setingkat lebih rendah dari Daerah Pemilihan (Dapil) yang sama. Sesuai aturan itu, KPU RI menetapkan Riezky Aprilia menggantikan Nazarudin. Penetapan inilah yang ingin diubah Harun melalui suap kepada Wawan Setiawan.
OTT Menjadi Pengingat
Dihubungi terpisah, Ketua KPU DIY, Hamdan Kurniawan merespon positif aksi yang dilakukan Kamba dari YCW di kantornya.
“Sebagai bentuk kepedulian dan kecintaan pada KPU supaya tetap berintegritas,” ujar Hamdan.
Hamdan juga mengatakan, kasus yang menimpa Wawan sebagai sebuah peringatan penting terutama bagi penyelenggara Pemilu di DIY. Sebentar lagi, ujar Hamdan, KPU daerah akan melaksanakan Pilkada. Seperti juga sebelumnya, akan ada rekrutmen penyelenggara Pilkada hingga. Kasus dugaan suap yang terjadi harus menjadi perhatian bersama.
“Ini tentu menjadi pembelajaran bagi kami di KPU, agar nanti tetap menjaga integritas, menjaga nama baik dan menjaga reputasi KPU, agar bisa melaksanakan tugas sesuai undang-undang,” tambah Hamdan yang sedang mengadakan pertemuan tingkat kabupaten, sebagai persiapan Pilkada serentak tahun ini.
Kasus ini Merusak Demokrasi
Zaenur Rohman, Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada (UGM) menyebut, kongkalikong komisioner KPU dan elit partai ini merusak demokrasi.
“United Nation Convention Against Corruption menjelaskan, bahwa salah satu dampak korupsi adalah merusak demokrasi. Bahwa pemilihan umum, sebagai sarana untuk memilih jabatan publik, itu kemudian rusak karena adanya korupsi dalam hal ini adalah suap,” kata Rohman.
Daya rusak kasus suap ini, tambah Rohman, jauh lebih besar dibandingkan jumlah angka suapnya yang hanya ratusan juga rupiah. Angka ratusan juga itu, punya dampak sangat besar, karena dapat merusak kepercayaan publik terhadap demokrasi. Kepercayaan juga anjlok bagi institusi demokrasi seperti partai politik, DPR atau parlemen dan lembaga penyelenggara pemilu, dalam hal ini KPU.
Karena ada dugaan kasus ini melibatkan elit politik yang lain, selain yang sudah tertangkap, Rohman berharap KPK bisa menunjukkan kinerjanya. Caranya adalah dengan menindak semua pihak yang terlibat.
“Kasus ini menurut saya adalah ujian pertama bagi KPK periode 2019-2023. Kenapa ini menjadi ujian, karena ini korupsi yang berdimensi politik, melibatkan banyak aktor politik dan juga di sini ada kendala,” ujarnya.
Salah satu kendala sudah terlihat oleh publik, kata Rohman, ketika KPK terhambat melakukan penggeledahan di lokasi-lokasi yang diduga terkait dengan tindak pidana korupsi. Hambatan muncul karena staf KPK belum memiliki ijin dari Dewan Pengawas. Kesempatan itu membuka kemungkinan perpindahan atau hilangnya alat bukti yang dibutuhkan. Ini adalah salah satu bukti, bahwa UU 19 tahun 2019, menghambat penindakan perkara korupsi.
Di internal KPU, Rohman menyarankan adanya upaya lebih besar dalam pencegahan korupsi. Salah satunya, adalah aturan yang membatasi interaksi antara penyelenggaran Pemilu dengan peserta Pemilu. Wawan Setiawan sendiri dalam banyak kesempatan bersuara keras menentang praktik korupsi. Bahwa justru dia melakukan itu, tambah Rohman, adalah bukti bahwa moral saja tidak cukup tetapi dibutuhkan sistem manajemen anti suap yang lebih kuat.
“Ini memberi gambaran bahwa ternyata di KPU juga ada kelemahan sistem yang masih membuka ruang terjadinya tindak pidana suap. Jadi, ini juga menjadi evaluasi bagi KPU sendiri,” tambah Rohman.
Pukat UGM juga meminta KPK secara terbuka, transparan dan akuntabel memproses perkara suap ini. Rohman melihat, masyarakat masih memiliki banyak pertanyaan terkait kasus Wawan Setiawan. Di sisi lain, tidak dapat dipungkiri masih ada sebagian masyarakat juga yang memiliki pandangan skeptis terhadap KPK di bawah kepemimpinan komisioner saat ini.
“Menjadi salah satu pembuktian, apakah KPK bisa bekerja secara independen ataukah KPK benar-benar terbelenggu dengan diberlakukannya UU 19 tahun 2019,” pungkas Rohman. (ns/lt)