Tautan-tautan Akses

Singapura Bergulat dengan Kecanduan Ponsel Pintar


Penumpang kereta bawah tanah di Singapura asyik dengan ponsel pintar mereka (30/4). (AFP / Roslan Rahman)
Penumpang kereta bawah tanah di Singapura asyik dengan ponsel pintar mereka (30/4). (AFP / Roslan Rahman)

Warga-warga Singapura rata-rata juga menghabiskan 38 menit per sesi di Facebook, hampir dua kali lebih lama dari orang Amerika.

Para psikiater di Singapura mendorong pihak berwenang di sektor kesehatan untuk secara resmi mengakui kecanduan Internet dan alat digital lainnya sebagai suatu kelainan, bergabung bersama negara-negara lainnya di dunia yang menunjukkan kekhawatiran dengan masalah yang semakin meningkat ini.

Singapura dan Hong Kong ada di daftar teratas di Asia Pasifik sebagai negara-negara yang termasuk memiliki tingkat penetrasi ponsel pintar tertinggi di dunia, menurut laporan 2013 dari perusahaan Nielsen yang mencermati media.

Sekitar 87 persen populasi Singapura yang mencapai 5,4 juta orang memiliki ponsel pintar, atau yang memiliki kamera dan kemampuan mengakses Internet.

Di Amerika Serikat, ada kekhawatiran yang sama mengenai dampak ponsel pintar bagi masyarakat, dengan tingkat penetrasi 65 persen yang mungkin tidak akan masuk daftar lima besar di Asia Pasifik.

Warga-warga Singapura rata-rata juga menghabiskan 38 menit per sesi di Facebook, hampir dua kali lebih lama dari orang Amerika, menurut sebuah studi dari Experian, perusahaan layanan informasi global.

Adrian Wang, seorang psikiater dari rumah sakit kelas atas Gleneagles Medical Centre, mengatakan kecanduan digital seharusnya diklasifikasikan sebagai kelainan jiwa.

"Pasien-pasien datang dengan masalah terkait stress dan kegelisahan, namun mekanisme penyembuhan mereka adalah dengan mengakses Internet, membuka media sosial," ujar Wang.

Ia mengatakan pernah merawat seorang mahasiswa berusia 18 tahun dengan gejala-gejala yang ekstrem.

"Ketika saya melihatnya, ia tidak bercukur, rambutnya panjang, tubuhnya kurus dan ia belum mandi selama beberapa hari, ia terlihat seperti pria tunawisma," ujar Wang.

Pemuda itu bertengkar dengan ayahnya setelah sang ayah mencoba mengambil komputer laptopnya. Setelah sang ayah juga memutuskan akses Internet di rumah, anak muda itu berkeliaran di rumah-rumah tetangga untuk mendapat koneksi nirlaba.

Ia akhirnya diopname, diberi obat anti-depresan dan menerima "banyak" konseling, ujar Wang.

"Kita harus memutus siklus itu. Ia akhirnya membaik, keluar dari rumah sakit dan beberapa kali setelahnya saya bertemu dengannya dan ia baik-baik saja," ujar Wang.

Kecanduan Media Sosial

Tan Hwee Sim, seorang psikiater konsultan di klinik The Resilienz Mind di Singapura, mengatkaan bahwa gejala-gejala yang diperlihatkan para pasien dewasa muda yang dirawatnya telah berubah seiring waktu.

Obsesi dengan permainan daring (online gaming) merupakan hal utama di masa lalu, namun sekarang ini tren yang sedang naik adalah kecanduan media sosial dan pengunduhan video.

Terkait gejala fisik, semakin banyak yang melaporkan sakit leher atau "text neck/iNeck pain" karena sering menundukkan kepala untuk melihat ponsel pintarnya di mana pun, ujar Tan Kian Hian, konsultan departemen anestesiologi di Rumah Sakit Umum Singapura.

Masalah ini bukan hanya ada di Singapura, karena sejumlah negara telah membangun pusat perawatan untuk pecandu-pecandu Internet usia muda, terutama di Asia, di mana Korea Selatan, China dan Taiwan telah bergerak untuk mengatasi isu tersebut.

Di Korea Selatan, sebuah survei pemerintah pada 2013 memperkirakan bahwa hampir 20 persen remaja kecanduan ponsel pintar.

China sudah memiliki sekitar 300 pusat adiksi Internet, menurut laporan laman stasiun televisi negara CCTV pada Februari. Media tersebut juga mengutip survei yang menunjukkan ada lebih dari 24 juta anak muda China yang kecanduan Internet.

Sakaw dan Kegelisahan

Di Singapura, ada dua pusat konseling -- National Addictions Management Services dan Touch Community Services – yang memiliki program untuk kecanduan digital.

Trisha Lin, seorang asisten profesor bidang komunikasi di Nanyang Technological University, mendefinisikan kecanduan digital dengan sejumlah gejala: ketidakmampuan untuk mengontrol keinginan, kegelisahaan jika terpisah dengan ponsel pintar, menurunnya produktivitas dalam belajar atau bekerja, dan kebutuhan untuk terus mengecek telepon.

Lin memperingatkan para orangtua agar seharusnya tidak memberikan anak-anak mereka ponsel pintar atau komputer tablet untuk membuat mereka diam.

"Seperti pengasuh bayi di masa lalu menggunakan TV, namun sekarang ini lebih buruk karena layarnya bisa dibawa ke mana-mana," ujarnya, mengutip kasus seorang siswi SMA di Taiwan yang hanya bisa tidur jika memeluk ponsel pintarnya untuk berjaga-jaga jika ada yang menelponnya.

Sekelompok mahasiswa/i S1 dari Nanyang Technological University di Singapura akhir tahun lalu meluncurkan kampanye untuk mendorong publik meletakkan ponsel pintar dengan posisi layar di bawah ketika sedang bersama orang-orang yang dicintai.

Kampanye itu mendapat sambutan baik dari para mahasiswa/i, dan ada rencana untuk mengembangkannya di sekolah-sekolah.

Kecanduan begitu merasuk di Singapura sampai sebuah program pendidikan "kesehatan dunia maya" untuk anak-anak pra-sekolah dan orangtua mereka akan diluncurkan di paruh kedua 2014.

Chong Ee Jay, seorang asisten manajer di Touch Community Services, yang meluncurkan inisiatif itu, mengatakan: Kami ingin memberi peringatan pada orangtua agar tidak memberikan alat-alat ini begitu dini dan belajar untuk menyimpannya." (AFP/Stefanus Ian)
XS
SM
MD
LG