Toha, seorang pria berumur 60 tahun, meninggal dunia Selasa (27/12) lalu. Kepergiannya meninggalkan duka mendalam dan kekecewaan bagi keluarga.
Semua bermula ketika Toha dirawat di Rumah Sakit Daerah dr Soewondo, di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah mulai 12 Desember lalu. Seminggu di rawat, kondisinya membaik tetapi belum sepenuhnya sembuh dari penyakit liver yang dideritanya.
Pendamping keluarga Toha, Ahmad Yusuf kepada VOA mengatakan, pada 20 Desember selang infus Toha dilepas dan keluarga diijinkan membawanya pulang. Ketika itu, pihak rumah sakit beralasan, kondisi Toha sudah membaik dan sebagai pemegang Kartu Indonesia Sehat (KIS), Toha hanya bisa dirawat selama tujuh hari.
Dokter bahkan secara khusus menyarankan Toha diobati dengan Temulawak, sejenis minuman jamu tradisional. Hanya sehari di rumah, tanpa asupan makanan, kondisi pria itu memburuk. Seminggu kemudian dia meninggal dunia.
“Keluarga Pak Toha tidak meminta pasien untuk dipulangkan. Tetapi pihak rumah sakit bahasanya mengijinkan untuk pulang. Katanya pihak rumah sakit, karena kondisi sudah membaik. Padahal Pak Toha itu kan sudah kronis, asupannya tidak normal seperti orang sehat. Di rumah sakit dalam tujuh hari kondisi lumayan sehat, sehatnya orang sakit ya, karena ada asupan. Tetapi ketika pulang tidak ada asupan dari infus, ya langsung menurun kondisinya," kata Ahmad Yusuf.
Ketika kondisi semakin memburuk, keluarga sempat ingin membawanya kembali ke Rumah Sakit dr Soewondo. Namun, karena trauma dengan perlakuan yang diterima, rencana itu tidak dilaksanakan.
“Ada inisiatif dari keluarga mau dibawa ke rumah sakit swasta, bayar tidak apa-apa, mau cari utangan atau jual apa keluarga untuk mencari biayanya. Karena trauma dengan layanan selama tujuh hari sebelumnya di Rumah Sakit Daerah. Tetapi belum sempat dilaksanakan, Pak Toha sudah meninggal,”
Pemakaman Toha pada 27 Desember lalu, mengundang kemarahan masyarakat Kendal. Sehari setelah itu, perwakilan keluarga dan masyarakat meminta penjelasan ke pihak rumah sakit. Kepada warga, dr. Mashuri, wakil direktur administrasi dan umum di RS Soewondo menyatakan pihaknya turut menyesali kejadian ini.
“Terkait kasus yang menimpa Pak Toha , mungkin ada mis komunikasi antara pasien dan pihak rumah sakit, karena kami tidak pernah membedakan pelayanan kepada masyarakat, baik itu menggunakan KIS, BPJS, UMUM bahkan SKTM sekalipun,” kata dr Mashuri seperti dikutip media-media lokal.
Dalam penjelasannya, terkait saran dokter untuk perawatan menggunakan minuman jamu tradisional temulawak, pihak rumah sakit menyatakan penyakit liver Toha sudah sulit disembuhkan. Meski begitu, rumah sakit menilai, dokter telah melakukan semua upaya yang diperlukan dalam melakukan perawatan.
Ketua Asosiasi Rumah Sakit Daerah seluruh Indonesia, dr Heru Ariadi ketika dihubungi VOA mengatakan, dalam skema pembiayaan kesehatan, disepakati adanya sistem paket. Untuk jenis penyakit tertentu, telah ditetapkan biaya yang dibutuhkan.
Ada pasien yang bisa sembuh sebelum menyentuh batas pembiayaan itu, namun ada pula yang melebihi. Pada titik inilah, manajemen rumah sakit diharuskan mencari jalan keluar.
“Idealnya, di dalam pelayanan yang sudah masuk paket prospectif payment tadi, itu menurut statistik sudah ada angka rata-rata. Tetap kalau terpaksa melebihi hari yang sudah ditentukan dan masih belum sembuh, ya pasien tetap tidak boleh dipulangkan. Nah, disinilah sebetulnya harus ada perjanjian berbagi resiko, antara rumah sakit dan penjamin biaya perawatan," kata Heru Ariadi.
"Solusi berikutnya, barangkali Pemda yang harus bisa mengambil inisiatif, bahwa defisit yang terjadi rumah sakit daerah, yang bukan karena kesalahan pengelolaan itu akan mendapat subsidi dari pemerintah daerah,” lanjutnya.
Heru Ariadi mengatakan di Indonesia ada lebih dari 600 rumah sakit daerah. Rata-rata menghadapi masalah pengelolaan keuangan, meskipun telah diberi keleluasaan karena dapat memanfaatkan pendapatan untuk perbaikan kualitas secara mandiri.
Penerapan sistem jaminan pembiayaan yang baru beberapa tahun, belum diikuti dengan perubahan mendasar, baik bagi pasien maupun rumah sakit.
“Dulu, pelayanan itu berdasar pada pasien. Mereka membutuhkan layanan apa saja, rumah sakit bisa sediakan, minta obat apa saja bisa diberikan. Sekarang tidak bisa. Harus ada perubahan pola pikir, karena penerapan paket perawatan semacam itu. Pertanyaannya adalah, apakah tarif yang ditetapkan itu sudah memenuhi nilai keenomian, jika kita bicara soal mutu pelayanan,” lanjutnya.
Ketua Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc. Ph.D. menilai, dalam kasus semacam itu, pertimbangan medik harus menjadi nomor satu. Kepada VOA, dia mengatakan, mutu pelayanan klinis tidak boleh diturunkan oleh batasan keuangan.
“Dalam model pembayaran INA-CBG, perhitungan oleh rumah sakit bukan berdasarkan satu kasus, tapi banyak kasus selama periode tertentu. Kerugian di satu kasus mungkin dapat dikompensasi dengan kelebihan pembayaran di kasus lain,” ujarnya.
INA-CBG adalah Indonesia Case Base Groups, sebuah aplikasi yang digunakan rumah sakit untuk mengajukan klaim pada pemerintah. INA-CBG merupakan sistem pembayaran dengan sistem paket, berdasarkan penyakit yang diderita pasien. Ditambahkan Laksono, rumah sakit dalam model pembayaran INA-CBG mau tidak mau harus berfikir soal biaya. Dengan demikian ada pengendalian biaya, namun mutu tetap harus ditekankan.
RS Soewondo akan melakukan audit medik dalam kasus ini untuk mengungkap persoalan sebenarnya. Keluarga Toha sendiri tidak menutup kemungkinan akan menempuh jalur hukum, jika ditemukan unsur melawan hukum dalam kasus tersebut. [ns/ii]