Lebih dari 450.000 warga Palestina terpaksa meninggalkan Rafah, kota di bagian selatan Gaza yang selama ini menjadi tempat mereka berlindung setelah serangkaian serangan darat dan udara Israel tujuh bulan terakhir ini. Badan PBB yang mengurus pengungsi Palestina, UNRWA, mengatakan tidak ada makanan dan bantuan kemanusiaan lain yang masuk setelah Israel memulai operasi militer di Rafah pada 6 Mei lalu dan menutup dua pintu perbatasan utama di bagian selatan. Sekitar 1,1 juta warga Palestina di wilayah itu ini mengalami kelaparan akut.
Memburuknya situasi di Rafah membuat MER-C, yang kini masih memiliki 12 staf di sana, berencana memindahkan markas yang sekaligus menjadi lokasi tempat tinggal dan penginapan para relawannya. Hal ini disampaikan Ketua EMT (Tim Medis Darurat MER-C Arif Rachman, dalam jumpa pers di Jakarta, hari Rabu (15/5).
"Kami mempertimbangkan untuk memindahkan posisi penginapan relawan (MER-C) berada di lokasi yang "lebih aman" karena saat ini penginapan berada agak dekat ke Rafah timur, daerah yang pertama kali diinvasi oleh pasukan Israel. Kami berpikir untuk sesuai anjuran WHO dan Kementerian kesheatan (di Gaza) untuk bergabung di daerah yang disebut sebagai Kamp Mawasi," katanya.
Tim MER-C gelombang ketiga saat ini menempati sebuah rumah sewa di Rafah, dan bertugas di tiga tempat yaitu RS Yusuf an-Najjar, RS Emirat dan klinik Tal Sultan. Mengingat dua rumah sakit berada di zona perang, tim relawan MER-C hanya dapat bertugas di klinik Tal Sultan.
Jika terpaksa pindah karena pertimbangan keamanan, maka tim ini akan bergabung dengan tim dari negara lain yang tinggal di tenda-tenda dekat rumah sakit dan klinik.
Ada pertimbangan untuk pindah ke arah lebih utara yaitu ke Deir al-Balah di Gaza tengah, tambah Arief, namun wilayah ini juga tidak aman dan justru sering menjadi sasaran serangan udara Israel.
Bersama WHO, MER-C Kirim Tim Relawan ke Gaza secara Bergantian
Bekerjasama dengan Badan Kesehatan Dunia (WHO), MER-C sudah tiga kali mengirim tim relawan medis ke Jalur Gaza. Namun tim gelombang ketiga yang harusnya bergantian dengan tim keempat, belum bisa meninggalkan Gaza karena memburuknya situasi pasca operasi militer Israel ke kota itu. Sembilan relawan medis dan tiga relawan non-medis yang ada dalam tim etape ketiga bersama seluruh tim EMT dari berbagai negara hingga kini masih bertahan di sana. Tim EMT MER-C Indonesia etape ketiga itu terdiri dari satu dokter spesialis bedah plastik, satu dokter spesialis bedah ortopedi, satu dokter spesialis kedokteran keluarga, satu dokter umum, empat perawat dan tiga staf non-medis.
Arief mengatakan tim EMT MER-C gelombang keempat saat ini berada di Ibu Kota Kairo, Mesir, menunggu membaiknya situasi di perbatasan Rafah. Tim keempat terdiri dari satu dokter spesialis kandungan, satu dokter spesialis bedah, satu dkter spesialis anestesi, satu dokter umum, satu dokter gigi, dan dua perawat.
Dalam jumpa pers di Jakarta, penghubung EMT MER-C dengan WHO Marissa Noriti mengatakan jika situasi perlintasan Rafah belum aman, maka ada wacana agar tim EMT medis ini masuk dan keluar dari Gaza melalui perlintasan Karim Abu Salim atau Nitzana. Sejauh ini mereka terus menerus melakukan koordinasi untuk memastikan tim medis gelombang ketiga dapat keluar, dan tim gelombang keempat dapat menyebrang masuk ke Gaza denga naman.
Pengamat Kritisi Sikap Negara Arab yang Normalisasi Hubungan dengan Israel
Pengamat Timur Tengah di Universitas Indonesia Yon Machmudi mengatakan negara-negara anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI) harus bersatu membela Palestina secara optimal.
"Respons untuk dapat menghentikan peperangan tidak bisa kompak. Mereka mencoba untuk melakukan pendekatan ke negara-negara lain agar bisa memberikan tekanan kepada Israel, tapi tidak berhasil. Usulan Iran agar menggunakan sumberdaya minyak yang dimiliki anggota OKI guna menekan Israel juga tidak diakomodasi," ujar Yon
OKI sedianya kembali pada pertemuan terakhir yang memberi mandat kepada enam negara untuk dapat berupaya menghentikan agresi Israel ke Gaza, tambahnya. Mandat itu harus dievaluasi untuk menentukan langkah selanjutnya saat menghadapi rencana Israel menginvasi Rafah.
Kebijakan beberapa negara Arab yang telah menormalisasi hubungan dengan Israel memang memperumit komitmen mereka pada visi dan tujuan pendirian OKI, yang salah satu diantaranya adalah memperjuangkan kemerdekaan Palestina. Namun, tegas Yon, inilah saatnya untuk mengukuhkan kembali komitmen itu. Khusus bagi negara-negara Arab anggota OKI yang sudah menjalin hubungan diplomatik dengan Israel, mereka dapat mengancam untuk mengevaluasi hubungan baru itu, tambah Yon.
“Jika mereka memilih mempertahankan hubungan (dengan Israel), maka negara-negara OKI yang bersangkutan harus membuktikan pula upaya mewujudkan kemerdekaan Palestina secara serius. Hal ini penting agar mereka tidak dianggap berkhianat terhadap rakyat Palestina,” tegasnya.
Ironisnya, menurut Yon, negara-negara tersebut saat ini lebih mengutamakan kepentingan nasional mereka – dalam konteks kerja sama ekonomi dan pertahanan – dengan Israel.
Lebih 35.000 Warga Palestina Tewas
Perang Israel-Hamas di Gaza berawal dari serangan kelompok militant Hamas yang belum pernah terjadi sebelumnya ke selatan Israel pada tanggal 7 Oktober, yang menewaskan 1.200 warga Israel. Hamas juga menculik sekitar 250 orang, yang sebagian besar telah dibebaskan sebagai bagian dari kesepakatan gencatan senjata pertama November lalu.
Israel melancarkan serangkaian serangan balasan lewat darat dan udara ke Gaza, wilayah yang dikelola Hamas. Kementerian Kesehatan Palestina di Gaza mengatakan hingga hari Rabu (16/5) lebih dari 35.000 warga tewas, di mana 52% diantaranya adalah perempuan dan anak-anak. Sementara lebih dari 75.000 lainnya luka-luka. [fw/em]
Forum