Tautan-tautan Akses

Situasi Memanas, WNI di Ethiopia Diminta Tak Bepergian ke Tigray


Anggota pasukan khusus "Amhara" kembali ke pangkalan militer setelah bertempur melawan pasukan Front Pembebasan Rakyat Tigray (TPLF) di perbatasan Amhara-Tigray, Ethiopia (9/11).
Anggota pasukan khusus "Amhara" kembali ke pangkalan militer setelah bertempur melawan pasukan Front Pembebasan Rakyat Tigray (TPLF) di perbatasan Amhara-Tigray, Ethiopia (9/11).

Warga negara Indonesia yang bekerja dan bermukim di Addis Ababa dan Hawassa, dua kota di Ethiopia yang umumnya menjadi tempat tinggal warga Indonesia, diminta tidak bepergian ke Tigray dan meningkatkan kewaspadaan, serta membatasi perjalanan yang tidak terlalu penting.

Hal ini disampaikan oleh Duta Besar Indonesia untuk Ethiopia, Djibouti dan Uni Afrika, Al Busyra Basnur, ketika dihubungi VOA Rabu pagi (18/11).

Al Busyra Basnur, Dubes RI untuk Ethiopia, Djibouti dan Uni Afrika (foto: courtesy).
Al Busyra Basnur, Dubes RI untuk Ethiopia, Djibouti dan Uni Afrika (foto: courtesy).

“WNI di Ethiopia berjumlah sekitar 110 orang, berada dalam keadaan baik dan aman. Mereka umumnya bermukim di kota Addis Ababa dan Hawassa, jauh dari Tigray. Tidak ada yang bermukim dan bekerja di negara bagian Tigray,” ujar Al Busyra. Tetapi kembali ditegaskannya seruan agar WNI tidak bepergian ke Tigray dan senantiasa meningkatkan kewaspadaan.

Situasi di Tigray, kawasan di ujung utara Ethiopia, memanas seiring memuncaknya ketegangan politik antara pemerintah kawasan itu dan pemerintah federal, yang berujung dengan saling serang. Pasukan Front Pembebasan Rakyat Tigray (TPLF) pada 4 November lalu menyerang markas Pasukan Pertahanan Nasional Ethiopia ENDF yang terletak sekitar 950 kilometer ibu kota Addis Ababa. Pemerintah Ethiopia menanggapi hal itu dengan serangan lain dan hari Selasa (17/11) Perdana Menteri Abiy Ahmed mengatakan akan melancarkan “operasi militer yang final dan krusial dalam beberapa hari mendatang” untuk menghadapi para pemberontak di Tigray.

Wakil Perdana Menteri yang merangkap Menteri Luar Negeri Ethiopia Demeke Mekonnen Hassen mengatakan langkah-langkah yang diambil pemerintah sudah sesuai dengan konstitusi, tetapi situasi ini membuat lebih dari 25.000 warga Tigray terpaksa meninggalkan rumah mereka ke tempat yang lebih aman. Sebagian besar juga menyebrang ke negara tetangga, Sudan.

Tigray pun terputus dari dunia karena seluruh jalan dan bandara telah ditutup, sementara pasokan makanan, bensin dan peralatan medis kini sangat sedikit.

PBB telah memperingatkan potensi terjadinya krisis kemanusiaan seiring mulai banyak warga yang melarikan diri dari Tigray kini mengalami kelangkaan pangan dan kelaparan.

UNHCR mengatakan ada sekitar empat ribu orang yang tiba di perbatasan Sudan setiap hari.

KBRI di Addis Ababa, dalam pernyataan tertulis, menyatakan pemerintah Ethiopia akan terus memberikan bantuan kemanusiaan pada penduduk di daerah-daerah yang tidak dikuasai TPLF. Ditambahkan, pemerintah Ethiopia juga “akan mengutamakan keselamatan staf dan petugas bantuan kemanusiaan internasional di bawah PBB dan pengungsi internasional di Tigray.”

Negara-negara tetangga Ethiopia, antara lain Uganda dan Kenya, telah menyerukan resolusi damai. Namun, pemerintahan Perdana Menteri Abiy Ahmed tetap menilai pemerintah regional Tigray ilegal setelah menggelar pemilu lokal September lalu. Pemerintah regional Tigray menentang penangguhan pemilu nasional hingga tahun depan karena pandemi Covid-19 dan menilai justru pemerintahan federal pimpinan Abiy Ahmed ilegal dengan mengatakan mandatnya telah berakhir. [em/pp]

Recommended

XS
SM
MD
LG