Skandal rasisme dalam iklam perusahaan pakaian terkenal “H&M” merupakan indikasi terbaru masalah manajemen dalam perusahaan Swedia yang pernah menjadi favorit tetapi kini berjuang keras untuk beralih ke e-commerce.
Kelompok perusahaan fesyen ini adalah salah satu merek ekspor terbesar dan pemain utama dalam industri di Swedia; bersama Ikea, Spotify, Electrolux dan Volvo.
“H&M” yang dimiliki dinasti keluarga Persson, telah terdaftar di bursa saham Stockholm sejak tahun 1974.
Perusahaan ini telah berkolaborasi dengan bintang papan atas dunia seperti Beyonce dan Madonna; juga dengan rumah mode bergengsi seperti Sonia Rykiel, Lanvin dan Kenzo untuk merancang koleksi eksklusif bagi kelompok perusahaan “H&M” itu.
“H&M” adalah salah satu merk paling terkenal di dunia, dimana perusahaan konsultan merk dunia “Interbrand” mendudukkan “H&M” di peringkat 23 perusahaan yang paling terkenal di seluruh dunia, di atas Ikea dan pabrik barang fesyen bermerk Hermes.
Tetapi akhir-akhir ini “H&M” berjuang keras menarik pembeli ke 4.553 toko yang tersebar di seluruh dunia, dan terlabat mengembangkan bisnis daring atau online-nya.
Joakim Bornold, seorang ekonom di bank investasi Nordnet, mengatakan kepada kantor berita Perancis AFP, “Tahun 2017 merupakan salah satu tahun terberat bagi H&M,” dan ia juga mencatat bahwa nilai saham perusahan itu telah anjlok 35% sejak Januari 2017.
Pada Desember lalu, kelompok itu mengumumkan penurunan penjualan kuartal keempat hingga 4% dibanding tahun sebelumnya, menjadi 50,4 miliar kronor atau sekitar 6.22 miliar dolar.
Angka penjualan itu tidak saja turun, tetapi anjlok lebih besar dibanding yang diperkirakan para analis.
Desember lalu “H&M” yang juga memiliki merk-merk lain seperti COS, Monki, Weekday, Cheap Monday, Arket dan H&M Home mengatakan akan menutup toko-tokonya, tetapi tidak merinci berapa banyak atau dimana saja toko yang akan ditutup.
Perusahaan itu akan mempublikasikan laporan pendapatan setahun penuh pada 31 Januari nanti.
“Mereka gagal dalam menggambarkan visi mereka untuk bisnis e-commerce dan bagaimana bersaing dengan perusahaan digital,” ujar Bornold. “Hal itu dan ditambah dengan buruknya angka penjualan dibanding perkiraan, telah mempengaruhi kepercayaan investor terhadap perusahaan tersebut,” tambahnya.
CEO “H&M” Karl-Johan Persson menolak analisis tersebut. “Strategi digital kami sangat jelas. E-commerce bagi seluruh merk perusahaan kami jelas merupakan bagian dari perusahaan ini, dan akan berjalan baik dan menguntungkan,” tegas Persson, yang mewarisi perusahaan yang didirikan oleh kakeknya – Erling.
Karl-Johan Persson yang berusia 42 tahun, telah mengepalai perusahaan itu selama delapan tahun. Sejumlah pengamat telah mempertanyakan apakah kelak ia akan segera mengundurkan diri, meskipun ayahnya Stefan Persson yang mengepalai dewan perusahaan itu telah menampik kemungkinan langkah tersebut.
Ketika pendapatan perusahaan itu mengalami masalah, “H&M” pekan lalu menjadi bulan-bulanan media sosial, yang menuduh perusahaan itu rasis. Ini dikarenakan salah satu katalog iklan di internet menunjukkan seorang anak laki-laki berkulit hitam mengenakan jaket dengan penutup kepala – atau dikenal dengan sebutan “hoodie” – bertuliskan “monyet paling kerena di hutan.”
Menurut pakar pemasaran di Universitas Gothenburg Prof. Eva Ossiansson, isu itu menunjukkan bahwa “H&M” telah kehilangan sentuhan keberuntungannya. “Ini menunjukkan bahwa perusahaan itu memiliki masalah untuk menangani perkembangan bisnis terkait e-commerce, digitalisasi dalam masyarakat kita, dan juga dalan komunikasi,” ujar Ossiansson.
Perusahaan itu minta maaf dan menarik iklan – dan juga jenis pakaian yang dijual. Tetapi kerugian akibat masalah ini sudah terjadi.
Bintang NBA LeBron James menunjukkan kemarahannya di Instagram pada 9 Januari lalu, beberapa jam setelah “H&M” mencabut iklan itu, disertai foto iklan yang sama dengan mahkota di kepala anak laki-laki tersebut, dan teks lain di jaket yang dikenakannya.
Musisi R&B Kanada The Weeknd yang pernah berkolaborasi dengan “H&M” dalam iklan koleksi musim semi dan musim gugur lalu, memutuskan kontraknya dengan perusahaan itu.
“Dalam beberapa kasus, untuk menciptakan lonjakan pendapatan, perusahaan suka melakukan komunikasi dan memasang iklan di luar kebiasaan yang ada,” ujar Ossiansson, tetapi “hal ini beresiko.”
Lisa Magnusson, editor di suratkabar Swedia Dagens Nyheter, meremehkan skandal itu dengan mengatakan orang-orang seharusnya lebih marah melihat kondisi kerja para buruh di Asia yang membuat pakaian “H&M” dengan upah sangat rendah. Ia mengatakan bahwa jika setiap pakaian dijual dengan hanya tiga kronor atau sekitar 37 sen ($0.37), maka gaji pekerja itu bisa dilipatgandakan. [em/al]