Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara mengatakan tidak ada undang-undang yang membenarkan seseorang dapat dihukum atau didiskriminasi karena orientasi seksualnya. Hal ini disampaikan Beka menyusul pemecatan belasan anggota TNI-Polri karena disangka berperilaku homoseksual.
Karena itu, Beka mengusulkan TNI-Polri membuat aturan yang lebih jelas sehingga tidak terjadi multitafsir aturan yang digunakan untuk pemecatan personel TNI-Polri berdasarkan orientasi seksualnya. Namun, ia mengingatkan aturan tersebut tidak boleh melanggar hak asasi manusia (HAM).
"Supaya tidak ada multitafsir. Dan kedua tidak memberi peluang terjadinya kesewenang-wenangan karena jabatan dalam penghukuman atau sanksi tidak berdasarkan suka atau tidak," jelas Beka Ulung Hapsara kepada VOA, Senin (30/12/2020).
Beka menjelaskan telah berkoordinasi dengan Polri terkait kebijakan yang dinilai diskriminatif terhadap personel yang berperilaku homoseksual. Menurutnya, Polri menyanggupi akan menyusun aturan yang rinci dan tidak diskriminatif.
Komnas HAM Kirim Amicus Curiae ke PTUN Semarang
Komnas HAM, tambah Beka, juga telah mengirimkan amicus curiae atau sahabat peradilan ke PTUN Semarang, untuk kasus TT, personel polisi yang bertugas di Kepolisian Jawa Tengah yang dipecat karena orientasi seksualnya. TT kini sedang mengajukan gugatan ke PTUN Semarang untuk kedua kalinya terkait pemecatan tersebut.
VOA sudah berusaha menghubungi juru bicara TNI dan Polri terkait seruan dari Komisioner Komnas HAM. Namun, belum ada tanggapan dari juru bicara kedua instansi tersebut.
Amnesty International Indonesia: 15 Personil TNI Dipecat karena Orientasi Seksualnya
Sementara peneliti dari Amnesty International Indonesia Ari Pramuditya mengatakan lembaganya mencatat setidaknya ada 15 kasus anggota TNI yang dipecat atas dasar seksualitas sepanjang 2019-2020. Padahal, kata Ari, tidak ada pasal yang melarang warga negara dengan orientasi seksual selain heteroseksual masuk ke dalam dua institusi tersebut.
"Alasan pemecatan TNI karena LGBTI dilakukan karena klaim mereka “orientasi seksual seperti itu termasuk perbuatan tercela dan tabiat yang dapat merugikan disiplin prajurit". Hal ini merupakan stigma negatif dan merupakan bentuk kebencian terhadap kelompok Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT)," jelas Ari kepada VOA, Senin (30/12/2020).
Ari menambahkan sejumlah negara maju telah membolehkan kelompok gay atau lesbian masuk militer. Antara lain Amerika Serikat, Kanada, Brazil, Australia, Belanda, dan Swiss. Kata dia, hal tersebut dikarenakan orientasi seksual tidak memiliki kaitan langsung dengan kemampuan fisik seseorang dan tidak bisa dijadikan dasar penilaian. "Selain itu, dalam sebuah studi di Kanada menyebutkan tidak ada penurunan kinerja militer ketika kaum gay atau lesbian masuk militer," tambah Ari.
Orientasi Seksual Dinilai Pengaruhi Tugas Pokok Prajurit
Namun anggota Komisi I DPR RI Mayjen TNI (purn) TB Hasanuddin yang menilai perilaku homoseksual dapat mengganggu tugas pokok prajurit TNI. Hal tersebut menurutnya berdasarkan pengalamannya selama 33 tahun memimpin prajurit TNI. Ditambah lagi, kata dia, prajurit harus melakukan kerja khusus yang terkadang dilakukan dalam waktu lama dan ruang yang sempit.
"Jadi Komnas HAM jangan sebatas itu saja. Mungkin itu bersifat umum dan di tempat umum, iya. Tapi kalau itu prajurit-prajurit yang melaksanakan tugas secara khusus, extraordinary, itu akan mengganggu tugas pokoknya," jelas TB Hasanuddin kepada VOA, Selasa (1/12/2020).
TB Hasanuddin mengatakan aturan Undang-undang dan aturan TNI sudah jelas karena hanya mengatur dua jenis kelamin yaitu laki-laki. Ia juga tidak sependapat jika aturan terkait ini harus meniru seperti negara-negara lainnya.
Menurutnya, kasus perilaku homoseksual juga ditemui saat ia menjadi anggota TNI. Namun, ia mengklaim anggota TNI yang terbukti kala itu sebagian besar mundur dari militer secara sukarela. [sm/em]