Tautan-tautan Akses

Ruqyah Terhadap LGBT, Bisakah Dibenarkan?


Para aktivis hak-hak LGBT berdemonstasi menentang rencana revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana di luar kompleks DPR/MPR di Jakarta, 12 Februari 2018. (Foto: AP)
Para aktivis hak-hak LGBT berdemonstasi menentang rencana revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana di luar kompleks DPR/MPR di Jakarta, 12 Februari 2018. (Foto: AP)

Beberapa waktu lalu, media-media di Indonesia dan luar negeri banyak menyoroti praktik ruqyah terhadap kelompok LGBT yang digelar pemerintah daerah kota Padang, Sumatera Barat. Pemerintah berkeyakinan, praktik membaca zikir atau doa yang diyakini bisa mengusir jin atau roh jahat ini bisa “menyembuhkan” orang-orang LGBT. Kontroversi pun bermunculan. Pujian dan kecaman datang silih berganti. Para aktivis HAM mengatakan, ruqyah merupakan bukti lain penindasan terhadap LGBT.

Salah satu kecaman paling keras dilontarkan Lini Zurlia, mantan aktivis Arus Pelangi, organisasi LGBT Indonesia, yang kini menjadi petugas advokasi di ASEAN Sogie Caucus, jaringan aktivis HAM Asia Tenggara. “Diperlakukan secara medis atau melalui pendekatan agama, seperti ruqyah, adalah salah satu bentuk penyiksaan terhadap kelompok LGBT,” jelasnya.

Meski menerima kecaman di dalam dan luar negeri, pemerintah kota Padang terus menggelar kegiatan ini. Apalagi sejumlah ustaz di kota itu mengklaim berhasil “menyembuhkan perilaku menyimpang” sejumlah anggota kelompok LGBT. Seorang ustad bernama Aris Fathoni dari Asosiasi Ruqyah Syar'iyyah Indonesia, sebagaimana diungkap banyak media setempat, mengaku telah me-ruqyah belasan pria yang mengaku homoseksual dan usahanya tersebut berhasil.

Dalam satu bulan, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Padang pernah menangkap 18 pasangan gay untuk diberi pendampingan psikologis dan rehabilitasi oleh dinas sosial setempat, dan tentu saja, menjalani ruqyah.

Lini, yang mengaku telah memberi pendampingan terhadap puluhan gay dan lesbian membantah bahwa ruqyah bisa mengubah orientasi seksual. Menurutnya, tak satupun, anggota kelompok LGBT yang didampinginya menjadi individu sis-gender (orientasi seksual sesuai jenis kelamin).

“Terapi konversi seperti ruqyah itu menyisakan trauma. Dan semua orang yang saya kenal yang pernah menjalani ruqiah, memiliki pengalaman traumatis dan mereka tidak menjadi sis-gender dan heteroseksual,” jelas Lini.

Menurut Devie Rahmawati, pengamat sosial dari Universitas Indonesia, jangan tergesa menilai ruqyah sebagai tindakan keliru. “Kalau saya tidak melihat ini (ruqyah) sebagai sesuatu yang harus disetujui atau tidak. Karena masyarakat Indonesia secara umum, ketika menghadapi sebuah fenomena dan belum memiliki jawaban rasional, maka yang muncul adalah pendekatan-pendekatan yang sangat lokal. Misalnya, yang erat dengan tradisi spiritualitas seperti ruqyah,” kata Devie Rahmawati.

Apalagi, menurut Devie, studi-studi menunjukkan, seseorang menjadi gay atau lesbian bisa karena faktor biologi dan, atau, faktor sosiologi. Ini artinya, secara teori, kelompok LGBT mungkin saa “disembuhkan”.

“Kalau ada kelompok yang secara sosiologis menjadi LGBT, berarti kan ada peluang mereka bisa kembali (disembuhkan). Ini berbeda dengan kelompok yang menjadi LGBT karena faktor biologis, kita mau tidak mau memang harus menerima,” lanjutnya.

Terlepas dari benar tidaknya ruqyah bisa menyembuhkan, menurut Direktur Jenderal HAM Mualimin Abdi, pemerintah tidak pernah menindas kelompok LGBT. Jika selama ini muncul laporan mengenai kekerasan terhadap kelompok LGBT, menurut Mualimin, ini semata karena tindak pidana yang dilakukan sejumlah anggota kelompok itu, seperti menggelar pesta seks. “Seolah-olah kita (pemerintah) mengkriminalisasi LGBT. LGBT dari dulu sudah ada, yang dilarangkan tindak pidananya,” kata Mualimin.

Aktivis gay Indonesia berunjuk rasa menuntut kesetaraan bagi LGBT (Lesbian, gay, biseksual dan transgender) di Jakarta, 21 Mei 2011. (Foto: dok).
Aktivis gay Indonesia berunjuk rasa menuntut kesetaraan bagi LGBT (Lesbian, gay, biseksual dan transgender) di Jakarta, 21 Mei 2011. (Foto: dok).

Bagaimana dengan RUU Ketahanan Keluarga yang kini pembahasannya tertunda di DPR? Jika disahkan, menurut Lini, undang-undang bisa mengkategorikan LGBT sebagai orang-orang yang mengalami penyimpangan seksual sehingga pemerintah bisa memaksakan rehabilitasi untuk tujuan penyembuhan. Mualimin menegaskan, itu baru sebatas wacana dan belum tentu terealisasi.

Lini Zurlia menegaskan, “Tujuannya sudah diskriminatif, tujuannya mengucilkan kelompok-kelompok tertentu atas nama ketahanan keluarga, maka undang-undang itu perlu dilawan.”

Ruqyah Terhadap LGBT, Bisakah Dibenarkan
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:02:48 0:00

Pasal 86 RUU Ketahanan Keluarga menyebutkan, keluarga yang mengalami krisis karena penyimpangan seksual wajib melaporkan anggota keluarganya ke badan yang menangani ketahanan keluarga atau lembaga rehabilitasi. Pasal 87 RUU tu mengatakan, setiap orang dewasa yang mengalami penyimpangan seksual wajib melaporkan diri ke badan yang menangani ketahanan keluarga atau lembaga rehabilitasi. [ab/uh]

Recommended

XS
SM
MD
LG