Pemerintah Indonesia diminta bersikap dan menjawab tegas nota protes China terhadap pengeboran minyak dan gas alam di kawasan laut di lepas pantai Natuna Utara, yang merupakan bagian dari wilayah Laut Cina Selatan yang sedang diklaim banyak negara.
Kantor berita Reuters hari Rabu (1/12) melaporkan bahwa China mengirim nota protes itu awal tahun ini dan secara terang-terangan meminta Indonesia menghentikan pengeboran di rig lepas pantai sementara yang merupakan “bagian dari wilayah China.” Secara terpisah China juga mengirim nota protes tentang latihan militer “Garuda Shield,” yang sebagian besar berlangsung di darat.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah kepada VOA mengatakan “tidak dapat mengkonfirmasi isi berita tersebut,” karena “komunikasi diplomatik, termasuk melalui nota diplomatik, bersifat tertutup.” Namun beberapa narasumber yang dihubungi VOA dan tidak bersedia menyebut identitasnya, mengkonfirmasi hal itu.
Diwawancarai secara terpisah hari Kamis (2/12), Dr. Dinna Prapto Raharja, pakar politik dan pendiri Synergy Policies, mengatakan Indonesia harus menanggapi nota protes China itu. “Nota protes China itu tidak berdasar dan menunjukkan bahwa memang tidak ada penghormatan atas kedaulatan wilayah negara-negara tetangga di Asia Tenggara. Nota ini wajib ditanggapi dengan bahasa yang terang dan tidak ditutup-tutupi tentang kekecewaan Indonesia atas komitmen China menghormati kedaulatan negara-negara Asia Tenggara,” ujarnya.
Ditambahkannya, “selama bertahun-tahun China melakukan klaim tidak berdasar yang sama pada negara-negara di ASEAN. Ada mixed messages yang disampaikan China terkait komitmen damai dan penghormatan pada kedaulatan wilayah.”
Nota Protes China Terungkap Setelah Laporan Bakamla
Hal senada disampaikan Muhammad Farhan, anggota Komisi I DPR yang membawahi bidang pertahanan, luar negeri, komunikasi dan informatika, serta intelijen. Farhan mengatakan mengetahui keberadaan nota protes China yang tidak pernah dilaporkan sebelumnya itu, ketika melakukan penelusuran pasca rapat dengar pendapat dengan Badan Keamanan Laut (Bakamla) pada 14 September 2021. Ketika itu Sekretaris Utama Bakamla Laksamana Madya S. Irawan mengungkap keberadaan ribuan kapal milik Vietnam dan China yang memasuki perairan Natuna Utara di dekat Laut Cina Selatan. Ribuan kapal ini tidak terdeteksi radar dan hanya terlihat dengan pantauan mata. Sementara Bakamla hanya memiliki sepluh kapal patroli yang tidak cukup untuk menjaga perbatasan laut.
“Sebelum rapat itu Bakamla melaporkan tentang keberadaan kapal-kapal China di seputar rig lepas pantai dan merasa terancam dengan kehadiran mereka. Setelah itu kami rapat dan lalu mempertanyakan hal itu ke Kementerian Pertahanan, TNI Angkatan Laut dan Kementerian Luar Negeri. Baru diketahui adanya nota protes itu,” papar Farhan.
Lebih jauh Farhan mengatakan Indonesia harus menanggapi nota protes itu. “Nota diplomatik itu merupakan upaya sebuah negara untuk mendapat perhatian dari negara yang dikirimi nota itu. Sebagai sesama negara yang memiliki hubungan diplomatik, kita harus menanggapi. Apalagi karena konsep kedaulatan versi China dan versi Indonesia belum nyambung. Indonesia menggunakan UNCLOS, China tidak bersedia mengakui UNCLOS, tetapi menggunakan konsep sembilan garis putus-putus sebagai traditional fishing grounds-nya.”
Putusan Tegas UNCLOS 1982
Berdasarkan UNCLOS (United Nations Convention for the Law of the Sea) atau Konvensi Hukum Laut PBB tahun 1982, negara kepulauan yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih gugusan kepulauan, dapat menarik garis dasar/pangkal lurus kepulauan yang menghubungkan titik tertular pulau-pulau dan karang terluar kepulauan itu. Ini dapat mencakup Zona Ekonomi Eksklusif, seperti yang terdapat di perairan Natuna Utara.
Klaim historis China bahwa nelayan-nelayannya sejak dulu telah beraktivitas di perairan itu telah dimentahkan dalam putusan pengadilan arbitrase dalam sengketa China melawan Filipina tahun 2016.
Indonesia menolak istilah “relevant waters” yang diklaim China karena tidak dikenal dan tidak sesuai dengan UNCLOS. Indonesia juga tidak mengenal apa yang disebut China sebagai traditional fishing grounds atau perairan perikanan tradisional, karena yang dikenal dalam UNCLOS adalah traditional fishing rights atau hak menangkap ikan secara tradisional.
Hikmahanto : Indonesia Tak Perlu Tanggapi
Melihat terang benderangnya masalah ini, Prof. Dr. Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia mengatakan nota protes itu tidak perlu ditanggapi. “Justru Pemerintah Indonesia melalui Bakamla perlu melakukan pengamanan agar pengeboran di rig lepas pantai tetap terlaksana,” tegasnya.
Ada empat alasan menurutnya yang membuat Indonesia tidak perlu lagi menanggapi nota protes China itu. “Pertama, Indonesia tidak pernah mengakui sembilan garis putus yang diklaim oleh China di Laut China Selatan. Sementara China melakukan protes terhadap Indonesia atas dasar klaim sembilan garis putus ini.”
Hal kedua, ujarnya, adalah karena selama ini China mengklaim sembilan garis putus yang menjorok ke Indonesia terkait sumber daya alam sebagai 'traditional fishing ground'. “Traditional fishing ground merujuk pada sumber daya laut yang berada di kolom laut, seperti ikan. Lalu mengapa China protes terkait aktifitas pengeboran sumber daya alam yang berada dibawah dasar laut? Apakah China dengan sembilan garis putus akan mengklaim sumber daya alam di dasar laut?” tanya Rektor Universias Jendral A. Yani itu.
Lebih jauh Hikmahanto mengatakan dengan mengabaikan protes China berarti Indonesia konsisten tidak mengakui klaim China atas sembilan garis putus. Dan terakhir, ujarnya, “merupakan hal yang tepat bagi Indonesia untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam di dasar laut tanpa menghiraukan protes China” karena Indonesia justru “melaksanakan hak berdaulat atas Landas Kontinen Indonesia di Natuna Utara sesuai ketentuan Konvensi Hukum Laut PBB.”
Peningkatan Eskalasi?
Menghadapi kemungkinan peningkatan eskalasi di kawasan itu, pakar politik Dr. Dinna Prapto Raharja mengatakan itulah sebabnya Indonesia harus menyampaikan pesan yang tegas pada China agar negara itu “batas toleransi pemerintah Indonesia.”
“Pesan kita harus tegas. Kerjasama ekonomi tidak bisa diartikan berkompromi soal kedaulatan wilayah,” tegas Dinna.
Ia juga mendorong cara menjawab nota protes itu secara lebih luas, “bukan hanya bilateral, tetapi juga multilateral. Lewat PBB misalnya. Pastikan semua pihak update dengan tindak-tanduk China supaya sama-sama ada upaya meredakan nafsu China.” [em/lt]