Dalam jumpa pers di kantornya, Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Rudy Suhendar mengatakan berdasarkan hasil pengamatan dan analisis data visual maupun instrumental hingga tanggal 25 Maret 2019, tingkat aktivitas Gunung Anak Krakatau cenderung menurun, walaupun berfluktuasi kecil.
Dibanding ketika terjadinya erupsi pada Desember 2018, potensi erupsi masih ada, namun intensitasnya lebih kecil. Selain itu lanjutnya sebaran material hasil erupsi yang membahayakan hanya tersebar pada radius dua kilometer dari sebelumnya lima kilometer dari kawah aktif Gunung Anak Krakatau.
Pasca periode erupsi intensif sejak Juni 2018 hingga 9 Januari 2019, Gunung Anak Krakatau sesekali mengeluarkan letusan asap putih uap air dengan tinggi kolom asap maksimal mencapai 1.000 meter di atas puncak. Pengamatan tremor, lanjutnya, cenderung menurun walaupun berfluktuatif serta tidak memperlihatkan indikasi deformasi yang signifikan pada tubuh gunung api. Dengan kondisi saat ini, potensi erupsi yang paling memungkinkan adalah letusan abu-uap air atau strombolian.
"Berdasarkan hasil pengamatan, analisis data visual maupun instrumental hingga tanggal 25 Maret 2019, maka tingkat aktivitas Gunung Anak Krakatau diturunkan dari level III (Siaga) menjadi level II (Waspada) terhitung tanggal 25 Maret 2019 pukul 12.00 WIB,” ujar Rudy.
Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Kasbani menjelaskan lembaganya telah memasang dua alat sensor getaran untuk mendeteksi gempa atau seismometer Gunung Anak Krakatau. Alat itu dipasang di Pulang Sertung, sebelah selatan Krakatau, dan satu lagi dipasang di kaki Gunung Anak Krakatau. Alat ini rusak s`aat terjadi longsong yang mengakibatkan tsunami beberapa waktu lalu.
Selain memasang seismometer, tim dari PVMBG juga telah memasang satu alat deformasi di Gunung Anak Krakatau untuk memantau kembang kempis tubuh gunung tersebut. Satu alat lain akan ditambah dalam waktu dekat ini.
Dengan beberapa alat itu, pemantauan Gunung Anak Krakatau kini jauh lebih akurat.
Kasbani meminta masyarakat untuk ikut menjaga fasilitas tersebut agar aktivitas Gunung Anak Krakatau bisa terpatau dengan baik dan mitigasi bencana dilakukan secara optimal sehingga dapat meminimalisir korban jiwa.
“Kita punya seismik kemudian deformasi yang mengetahui kembang kempisnya gunung jadi semua data ini mengindikasikan bahwa gunung ini masih fluktuatif tetapi kencenderung menurun. Dan radius ancamannya tidak lebih dari dua kilo.Di luar dua kilo masih aman, tidak apa-apa. Teman-teman masih bisa mendekati gunung itu untuk wisata di sana tapi tidak boleh masuk, di dataran gunung anak Krakatau”, kata Kasbani.
Erupsi Anak Krakatau terus menerus terjadi pada Juni hingga Desember 2018. Puncaknya saat Anak Krakatau longsor dan memicu tsunami pada 22 Desember yang melanda kawasan Banten dan Lampung. Ratusan orang tewas dan ribuan orang mengungsi. Pada tanggal 27 Desember 2018, status Anak Krakatu dinaikkan dari waspada menjadi siaga.
Gunung Api Anak Krakatau, sejak diketahui ada pada 11 Juni 1927 hingga 2019, telah mengalami erupsi lebih dari 120 kali dengan waktu istirahat berkisar antara 1-6 tahun.
Erupsi selama lima tahun terakhir adalah letusan abu dan aliran lava. Pada Juni-Desember 2018, erupsi menerus terjadi beerapa kali dengan intensitas energi tremor erupsi terkuatnya terjadi pada bulan September. Pada 22 Desember 2018, aktivitas meningkat kembali dengan terekamnya tremor vulkanik terus menerus yang berasosiasi dengan letusan terus menerus. (fw/em)