Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian Indonesia melakukan gelar perkara kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan Gubernur Jakarta non aktif, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok secara terbuka dan terbatas Selasa pagi (15/11).
Gelar perkara terbuka terbatas ini dihadiri empat pelapor diantaranya Ketua Umum FPI Habib Rizieq Shihab, terlapor yang diwakili kuasa hukum Ahok dan 18 saksi ahli, di antaranya saksi bidang agama dan bahasa. Komisi Kepolisian Nasional serta Ombudsman yang hadir dalam gelar perkara tersebut hanya menjadi pengawas yang sifatnya netral. Sementara Komisi Hukum DPR yang juga diundang oleh Polri ternyata tidak hadir.
Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Markas Besar Kepolisian Indonesia Irjen Boy Rafli Ammar kepada wartawan, Selasa (11/15) menegaskan lembaganya tidak akan tepengaruh oleh berbagai intervensi dalam proses gelar perkara dugaan penistaan agama oleh Ahok. Hasil kesimpulan final terkait kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan Ahok akan diumumkan pada hari Rabu (16/11).
Malam ini menurut Boy, Kepala Bareksrim Polri Komjen Pol Ari Dono Sumanto akan menyampaikan kesimpulan sementara gelar perkara tersebut (15/11).
Melalui kesimpulan itu lanjut Boy akan diketahui apakah hasil gelar perkara menyatakan ada atau tidaknya tindak pidana penistaan agama. Jika bukti mengarah penistaan, maka status penyelidikan akan dinaikan menjadi penyidikan. Namun, jika tidak, maka penyelidikan dihentikan.
"Insya Allah besok (Rabu 16/11) akan disampaikan hasil rumusan dari tim penyidik berkaitan dengan status perkara ini apakah akan ditingkatkan ke penyidikan atau tidak," papar Boy Rafli.
Pengamat politik dari Universitas Negeri Jakarta Ubaidillah Badrun mengatakan proses hukum harus berjalan independen dan tidak terpengaruh oleh apapun. Diakuinya bahwa dugaan penistaan agama ini telah meningkatkan tensi politik di Indonesia. Namun ditambahkannya, setinggi apapun tensi politik dan sosial, masyarakat harus tetap berfikir rasional.
Kasus dugaan penistaan agama ini lanjutnya dapat dijadikan pelajaran oleh semua pihak khususnya elit politik.
"Bahwa komunikasi di hadapan publik dari seorang elit politik apapun yang disampaikan akan terekam oleh publik maka kalimat-kalimat yang tepat dan harus memahami apa yang disebut dengan sosiologi politik masyarakat kita. Situasi sosial, situasi kultural masyarakat," ulas Ubaidillah.
Akibat kasus dugaan penistaan agama ini, sejumlah komunitas masyarakat sempat menolak kampanye yang dilakukan pasangan calon gubernur DKI Jakarta, Ahok-Djarot. Karena itu menurut Ubaidillah, kasus ini akan sangat mempengaruhi elektabilitas pasangan calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta Ahok-Djarot.
Sebelumnya sejumlah ulama, budayawan, akademisi, advokat dan organisasi kepemudaan yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Cinta Damai (AMDC) DKI Jakarta meminta MUI mencabut pernyataanya terkait kontroversi pernyataan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok di Kepulauan Seribu beberapa waktu lalu yang dinilai telah menistakan surat Al Maidah ayat 51.
Juru bicara Aliansi Masyarakat Cinta Damai, Iman Sumantri mengatakan pernyataan MUI yang menyebut Gubernur DKI Jakarta telah menistakan Al-Quran dapat meningkatkan ketegangan politik dan konflik horizontal di dalam masyarakat.
Menurutnya pemilihan kepala daerah (Pilkada) harus dilakukan secara damai dan bebas SARA.
"Pernyataan MUI ini juga dimanfaatkan oleh sekelompok golongan untuk kepentingan di kancah pilkada khususnya di DKI Jakarta mulai menghangat. Pernyataan itu kalau dikatakan memicu perbedaan kembali itu iya," ujar Iman Sumantri.
Kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan Basuki Tjahaja Purnama berawal dari video pidato Basuki sebagai Gubernur DKI Jakarta di hadapan penduduk Kepulauan Seribu pada akhir September lalu. Dalam video tersebut, Ahok dituduh menistakan agama Islam dalam kalimat yang merujuk pada Al-Quran khususnya surat Al Maidah ayat 51. Sebelas orang melaporkan kasus penistaan ini ke polisi.
Majelis Ulama Indonesia juga telah mengeluarkan keputusan atas kasus ini yang menyatakan bahwa Basuki telah menistakan agama. [fw/em]