Sebuah penelitan terbaru menunjukkan luasan hutan Indonesia yang rusak akibat kebakaran hutan pada 2019 hampir dua kali lipat daripada yang dilaporkan secara resmi. Temuan tersebut membuat kalangan para aktivis lingkungan makin khawatir dengan transparansi pemerintah mengenai deforestasi.
Indonesia, yang memiliki hutan hujan terbesar di luar Amazon dan Kongo, telah meratakan sebagian besar lahan untuk diubah menjadi industri kelapa sawit, bubur kertas dan kertasnya.
Bank Dunia mengatakan kabut asap dari kebakaran hutan pada 2019 yang menyelimuti Indonesia dan negara tetangga, menyebabkan 900 ribu orang mengidap penyakit pernapasan dan mengakibatkan kerugian senilai $5,2 miliar atau lebih dari Rp74 triliun.
Menurut studi yang diterbitkan dalam jurnal Earth System Science Data pada November, luas lahan hutan yang terbakar pada 2019 mencapai 3,1 juta hektare – lebih luas daripada wilayah negara Belgia. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan data yang dilaporkan Kementerian Kehutanan, yaitu 1,6 juta hektare.
"Kami mengamati area kerusakan yang lebih besar daripada perkiraan resmi karena teknologi terobosan memungkinkan kami mendeteksi lebih banyak kebakaran kecil dan kebakaran yang lebih besar," ujar salah satu penulis studi, David Gaveau, kepada Reuters.
"Kami menggunakan data satelit yang lebih baik, pembelajaran mesin, dan komputer super Google,” tambahnya.
Meski demikian, kata Gaveau, sejalan dengan data resmi, studi tersebut menemukan bahwa laju deforestasi di Indonesia telah menurun selama empat tahun terakhir, walaupun terdapat perbedaan perhitungan.
Ketika Gaveau pertama kali melaporkan temuannya pada Desember 2019, pemerintah mengatakan penelitiannya tidak kredibel karena tidak ditinjau oleh rekan sejawat pada saat itu.
Gaveau mengatakan dia telah mengirimkan temuan yang sudah ditelaah rekan sejawat terbaru ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Seorang pejabat Kementerian Kehutanan yang menangani masalah kebakaran hutan itu tidak segera menanggapi permintaan komentar Reuters.
Kementerian sebelumnya mengatakan berkomitmen untuk mengurangi deforestasi meskipun tidak dapat sepenuhnya menghentikannya karena pembukaan lahan diperlukan untuk pembangunan.
Sebaliknya, Indonesia menargetkan untuk mencapai "penyerapan karbon bersih" dari sektor kehutanan pada 2030. Artinya, sektor tersebut akan menyerap lebih banyak emisi gas rumah kaca daripada yang dikeluarkannya.
Wahyu Perdana, juru kampanye kelompok hak lingkungan WALHI, mendesak pemerintah untuk memastikan transparansi data deforestasi. Jika tidak, akan lebih sulit menggunakan undang-undang untuk menahan deforestasi.
Juru kampanye hutan Greenpeace Indonesia Asep Komarudin juga mengatakan transparansi penting untuk menghindari potensi masalah terkait donor internasional untuk negara-negara yang memiliki hutan di bawah perjanjian iklim global. [ah/ft]